Oleh Eusebius Purwadi
Pengetahuan tentang prinsip-prinsip logis sebuah
penalaran sering tidak memadai terlihat orang memaksakan pinsip-prinsip
tersebut untuk menarik tidak relevan atau mempergunakan kata-kata yang memiliki
makna satu. Oleh karenanya, kita perlu mempelajari dan memahami adanya
kemungkinan sesat pikir yang sering muncul dalam proses berpikir kita.
Apa sebenamya yang dimaksudkan dengan sesat pikir
itu? Sesat pikir adalah penalaran atau argumentasi yang sebenarnya tidak logis,
salah arah, dan menyesatkan, suatu gejala berpikir yang salah yang disebabkan
oleh pemaksaan prinsip-prinsip logika tanpa memperhatikan relevansinya.
Walaupun proses berpikir semacam ini menyesatkan, tetap juga hal ini sering
kita lakukan. Atas dasar inilah maka kita memandang perlu untuk mengetahui
lebih lanjut jenis-jenis dan latar belakang terjadinya proses sesat pikir
tersebut.
Term "kepalsuan" dapat dipergunakan dalam
berbagai kemungkinan. Yang paling lazim, term tersebut dipergunakan untuk
menggambarkan gagasan yang keliru atau keyakinan yang salah. Dalam Logika, term
tersebut dipergunakan dalam arti yang lebih sempit, yaitu palsu berarti keliru
dalam menalar atau dalam berargumen.
Motivasi pokok seseorang menyusun sebuah argumen
adalah untuk: membuktikan bahwa kesimpulan yang ia peroleh dalam menalar adalah
benar. Sebuah argumen ada kemungkinan gagal dalam memenuhi tujuan tersebut.
Ada
dua kemungkinan kegagalan argumen
Kegagalan dapat terjadi karena suatu argumen memuat
premis yang terbentuk dari proposisi yang keliru. Jika sebuah argumen memuat
satu premis yang keliru maka argumen tersebut akan gagal dalam menetapkan
kebenaran kesimpulannya.
Contoh
Premis 1: ABRI harus menjalankan dwifungsi sipil-militer
Premis 2: Tentara bayaran tidak memperhatikan fungsi sipil
Kesimpulan: Jadi, ABRI tanpa dwifungsi akan sama dengan tentara bayaran.
Kegagalan dapat terjadi karena suatu agumen
ternyata memuat premis-premisnya yang tidak berhubungan dengan kesimpulan yang
akan dicari Di sini Logika berperanan penting. Sebuah argumen yang
premis-premisnya tidak berhubungan dengan kesimipulannya merupakan argumen yang
“sesat" sekalipun semua premisnya itu mungkin benar. Di dalam jenis
kegagaian yang kedua inilah terdapat apa yang disebut sesat pikir.
Contoh
Premis 1: Sifat Tuhan adalah kekal abadi
Premis 2: Pancasila memuat nilai-nilai yang kekal abadi.
Kesimpulan: Tuhan dan Pancasila adalah identik.
Ada banyak jenis kekeliruan yang dilakukan orang
dalam melaksanakan penalaran atau dalam berargumen. Setiap kekeliruan dalam
menalar itu merupakan argumen yang salah. Ada dua macam argumen yang salah, yakni
sebagai berikut.
Pertama, argumen yang sebenarnya keliru namun tetap
diterima umum karena banyak orang yang menerima argumen tersebut tidak merasa
kalau mereka itu sebenamya telah tertipu. Sesat pikir semacam ini disebut
KEKELIRUAN RELEVANSI. Argumen-argumen semacam itu biasanya bersifat persuasif
dan dimaksudkan untuk mempengaruhi aspek kejiwaan orang lain. Argumen-argumen
semacam itu misalnya terdapat dalam pidato politik dalam kampanye, pernyataan
pejabat yang dimaksudkan untuk meredam situasi, reklame untuk menawarkan
barang-barang produksi, dan sebagainya.
Kedua, argumen yang keliru karena kesalahan dalam
penalaran yang disebabkan oleh kecerobohan dan kekurangperhatian orang terhadap
pokok persoalan yang terkait, atau keliru karena dalam menggunakan term dan
proposisi yang memiliki ambiguitas makna dari bahasa yang dipergunakan dalam
berargumen. Sesat pikir semacam ini'disebut penalaran yang ambigu atau
AMBIGUITAS PENALARAN. Misalnya, term salah prosedur yang sering diucapkan
pejabat untuk berdalih bila mendapatkan kritik dari masyarakat. Term tersebut
memiliki arti lebih dari satu, yaitu dapat diartikan sebagai salah interpretasi
terhadap suatu perintah/instruksi, mempergunakan metode atau langkah yang
berbeda dan tidak dimaksudkan dalam petunjuk pelaksanaan sebuah proses
kegiatan, atau pengambilan putusan yang tidak sesuai dengan peraturan yang
berlaku, dan sebagainya.
Dalam hal yang lain,akan sangat berguna kiranya
bila disajikan suatu kerangka umum yang menjelaskan bagaimana fakta empiris
berfungsi secara pas dalam suatu argumen. Secara ringkas, biasanya dalam
argumen filsafat terdapat satu atau lebih premis empiris. Dan, setiap argumen
filsafat pasti memuat Sekarang-kurangnya satu premis nonempiris, misalnya
definisi. (Jika tidak, maka hal itu bukanlah argumen filsafat.) Perpaduan
antara premis-premis empiris dan nonempiris itu diilustrasikan dalam
argumen-argumen di bawah ini. Anda dapat mendiskusikannya.
Contoh
Premis 1:“Baik” berarti segala sesuatu yang alamai (definisi)
Premis 2: Seks bersifat alami, yaitu naluriah (klaim empiris)
Kesimpulan: Jadi, seks itu baik (klaim non empiris).
Contoh
Premis 1 : Jika Allah sempurna dalam segalanya, maka apapun yang ia ciptakan seharusnya sempurna (konskwensi logis)
Premis 2 : Padahal, dunia dalam banyak hal tidak sempurna, misalnya, ada banyak penderitaan dan cadangan bahan mentah semakon menepis (Klaim empiris).
Kesimpulan : Jadi, Allah tidak sempurna (Klaim non empiris).
Dengan demikian, fakta empiris tetap relevan bagi
argumentasi filsafat meskipun tidak memainkan peranan yang sangat menentukan
seperti dalam sains. Untuk menentukan sejauh mana relevansi fakta-fakta
tersebut, kita perlu menguji asumsi-asumsi yang mendasari sebuah argumen.
Misalnya,Anda berpendapat bahwa suatu film tertentu
merupakan karya besar seni, sedangkan teman Anda menganggapnya sampah. Untuk
mendukung pandangan Anda, Anda menyebutkan beberapa fakta empiris dari film
itu: penggunaan kilas balik, humor tingkat tinggi, pengambilan gambar dengan
efek-efek khusus, karakter yang orisinal, dan lain-lain. Namun, teman Anda
tetap tak terpengaruh oleh fakta-fakta tersebut. Mengapa dia tidak dapat
diyakinkan? Barangkali karena ia mempunyai asumsi berbeda tentang kriteria film
yang baik. Baginya film yang baik adalah yang ceritanya menarik dan mengandung
”pesan”. Dia memperhatikan isi, sedangkan Anda memperhatikan gaya atau bentuk.
Setelah perbedaan asumsi ini menjadi jelas, maka dapat ditempuh salah satu dari
dua strategi berikut. Anda dapat berusaha meyakinkan dia bahwa sebenarnya film
tersebut juga mengandung ”pesan-pesan” yang menarik, atau Anda menguji
asumsinya dan berusaha mengasah minatnya pada bentuk film yang baik. Mana pun
cara yang dipilih, relevansi pertimbangan empiris harus ditentukan dalam terang
asumsi-asumsi yang mendasarinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar