Sabtu, 17 Februari 2018

MENUJU DIALOG ANTAR IMAN

Oleh 
 TH Sumartana-St.Sunardi-Farid Wajidi

Beberapa pengamat agama berkaliber internasional melihat Indonesia sebagai negara yang mampu menciptakan dan memelihara rubungan antar agama yang baik, sehingga sering kali dijadikan sebagai teladan dalam hal kerukunan antar umat beragama. Bagi orang yang hidup di Indonesia, pandangan semacam ini bukan hal yang gampang diterima begitu saja mengingat kesulitan-kesulitan yang muncul belakangan ini. Tetapi pandangan tersebut bisa dipahami karena bagaimanapun juga, dibandingkan dengan situasi hubungan agama di tempat lain; situasi di Indonesia memang lebih memberi harapan. Dan memang hal ini juga disebabkan, paling tidak untuk sebagian, karena terjadi dialog di kalangan para pemuka dan intelektual masing-masing agama. Akhir-akhir ini mulai dipersoalkan kembali secara baru masalah dialog atau kerjasama antar agama. Masih relevankah dialog antar agama? Kalau ya, bagaimana dialog harus dilakukan? Dan apakah pendekatan yang dipakai untuk dialog selama ini masih bisa dianggap memadai ?

I. DARI PERSAINGAN, TOLERANSI MENUJU KERJASAMA

1. Era persaingan

Hubungan antara agama-agama di Indonesia pada masa kolonial sangat diwarnai dengan campur tangan pemerintah kolonial yang sangat mementingkan rust en orde. Dalam konteks kolonial persaingan antar agama terjadi khususnya pada tingkat pusat masing-masing kegiatan missioner dari agama-agama tersebut. Sedang pada tingkat kehidupan keagamaan di masyarakat, pemerintah kolonial Belanda bersikap sangat hati-hati serta melakukan penjagaan ekstra ketat untuk mencegah bentrokan antar agama yang melibatkan para penganutnya. Dengan demikian corak persaingan lebih ditandai oleh persaingan antara lembaga-lembaga, khususnya berkaitan dengan persaingan yang sifatnya doktriner dari agama-agama tersebut. Setiap agama menganggap dirinya sebagai satu-satunya yang benar, dan sama sekali tidak bisa melihat sesuatu yang berharga dari agama yang lain. Semangat persaingan ini hingga kini, meski mulai muncul kecenderungan baru yang lebih inklusif, masih diwarisi oleh banyak orang.

2. Menuju semangat toleransi

Hubungan antar agama di Indonesia mulai memasuki era baru yang lebih menekankan toleransi sejak awal Orde Baru. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan pemerintah yang mengupayakan stabilitas politik sebagai syarat awal berjalannya roda pemerintahan yang baru. Berkenaan dengan hubungan Islam-Kristen, misalnya dilukiskan : “Demikianlah setelah tahun 1965 ketegangan besar timbul antara pengikut organisasi-organisasi Islam dan golongan-golongan lainnya di kalangan penduduk khususnya dengan kaum Muslimin awam serta mereka yang bukan Islam. Namun ketegangan tersebut tampaknya memusat serta bermuara pada pertentangan dengan umat Kristen." (B.I. Boland, 1985, 236). Salah satu sebab pertentangan antara kedua agama besar ini menyangkut hal penyebaran agama (dakwah, zending, misi). Agama pada masa itu menampilkan dirinya sebagai potensi disintegratif yang cukup menonjol disamping bidang-bidang lainnya, misalnya ideologi politik dan orientasi kesukuan. Demikianlah pada masa itu diupayakan dialog atau musyawarah antar agama untuk membicarakan persoalan penyebaran agama demi menjaga kesatuan dan persatuan bangsa.

Upaya dialog antar agama terjadi pada tahun 1967 yang kemudian dikenal sebagai Musyawarah Antar Agama. Musyawarah ini diprakarsai oleh pemerintah dan melibatkan para pemuka agama di Indonesia. Upaya ini dinilai tidak berhasil, karena tidak dicapai kesepakatan bersama berkenaan dengan prinsip-prinsip penyebaran agama. Meskipun demikian, pantaslah dicecap kembali nilai keprihatinan pemerintah yang mendasari musyawarah itu: “Pemerintah dalam usahanya untuk menjamin toleransi dalam hidup beragama, berdasarkan keyakinannya masing-masing, akan mengutamakan kesatuan dan persatuan Nasional antar sesama Orde Baru...” (M. Natsir. 229). Kesepakatan memang tidak dicapai, tetapi jiwa dan citacita dialog tidak pernah dibiarkan padam.

Keprihatinan bersama untuk mengembangkan toleransi dalam hidup beragama bisa ditempatkan dalam konteks global dan dalam dimensi yang lebih mendalam. Maksudnya, keprihatinan itu dapat ditarik ke horizon yang lebih luas daripada horizon politik nasional. Dalam Kongres Internasional untuk Sejarah Agama-agama IX di Tokyo sudah dirasakan kebutuhan dunia akan toleransi dan sumbangan yang mungkin bisa diberikan oleh studi agama. FR Heiler dari Jerman dalam ceramahnya antara lain menyatakan: "Era baru akan tiba kepada umat manusia dikala agama-agama akan bangkit pada toleransi yang sebenarnya dan kerja sama atas nama umat manusia. Menyiapkan jalan ke arah era ini merupakan salah satu harapan yang paling indah dari studi ilmiah tentang agama." Di Indonesia, benih-benih keprihatinan sebagaimana diajukan oleh Heiler ini sebenarnya sudah mulai tumbuh. Lihat saja studi yang dirintis oleh P.J. Zoetmulder. Beliau adalah salah seorang figur yang menekuni studi agama-agama di Indonesia yang hasilnya bisa menjadi sumbangan berharga bagi bangsa Indonesia untuk menelusuri kembali warisan-warisan rohani yang ada. Hasil-hasil penelitiannya bisa dijadikan sebagai dasar dialog kritis antar agama. Ilmuwan ini menekuni tugasnya pertama-tama atas nama umat manusiadan bukan atas nama agama yang dipeluknya. Etos ilmiah yang dia miliki mengatasi dorongan enthusiasme penyebaran agama.

3. Persoalan Modernisasi dan kerjasama antar agama

Pada awal tahun 1970 an kesadaran dialog mendapat konteks baru, bukan hanya konteks pelayanan dan misi agama tetapi terlebih konteks modernisasi atau dalam bahasa pemerintah kita, ”pembangunan". Agama-agama di Indonesia tidak hanya berhadapan satu sama lain untuk mendapatkan pengikut baru sebanyak-banyaknya, melainkan juga secara bersama harus menghadapi tanggung jawabnya dalam dunia yang sedang gandrung dengan gagasan tentang modernisasi. Agama sebagai Weltanschauung ditantang untuk membuktikan bahwa dirinya masih aktual. Demikianlah dialog tidak hanya diarahkan untuk menghindarkan konflik, melainkan juga untuk membicarakan partisipasi agama dalam proses perubahan masyarakat lewat modernisasi.

Kesadaran semacam ini antara lain terungkap dalam aspirasi Prof. Mukti Ali yang mengatakan: "Mereka, para partisipan dialog harus bergaul dengan kelompok manusia yang memeluk agama yang lain. Cara pergaulannya itu harus dipikirkan dan direnungkan bersama, karena apabila ketegangan, apalagi konflik antara satu kelompok pemeluk agama dengan kelompok pemeluk agama lain timbul, maka orang dapat mengetahui kapan, konflik itu mulai, tetapi orang tidak bisa menduga kapan ia akan berakhir. Adapun pertemuan yang sifatnya seperti yang kedua, yang dihadiri bukan hanya oleh ahli-ahli agama saja tetapi juga oleh ahli-ahli ilmu pengetahuan bukan agama, rupa-rupanya hal itu terdorong oleh kesadaran bahwa agama harus juga berbicara tentang masalah-masalah dunia dan masalah-masalah yang dihadapi oleh umat manusia, di luar agama. " (Mukti Ali, 1970, 3) .

Di kalangan Islam, misalnya, pada masa ini ditandai dengan munculnya benih-benih pemikiran teologis yang bercorak inklusif, kemauan lebih kuat untuk mengadaptasikan dengan arus pemikiran modern, keberanian untuk membuka pintu ijtihad, dsb. Gejala ini kiranya tidak bisa dilepaskan dari persentuhan para pemikir muda Islam dengan dunia Islam secara global yang mulai melakukan dialog intelektual yang mendalam dengan khasanah pemikiran Islam pada tingkat dunia.

Berhadapan dengan arus pemikiran modern, setiap agama bergulat dengan persoalan adaptasi sekaligus identitas. Di satu pihak agama harus berakar pada tanah sejarah dan tradisi-tradisinya, di lain pihak agama harus membuktikan dirinya sebagai kekuatan liberatif. Montgomery Watt, antara lain menegaskan : "Pada dasarnya suatu respon akan menjadi kreatif kalau seseorang tanpa melepaskan ajaran-ajaran agama yang pokok mencoba mengupayakan terjadinya harmoni antara ajaran-ajaran agama dan pandangan ilmiah dan filosofis, dan dengan cara demikian menyiapkan basis untuk berhadapan dengan masalah-masalah sosial dan politis.” Dalam lslam, menurut Watt, personifikasi semangat kreatif ini antara lain tampak dalam diri Muhammad Ade dan Muhammad Iqbal. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau kedua orang ini menjadi lampu pijar inspiratif bagi para pemikir Muslim Indonesia dalam keteguhannya untuk mengaktualisasikan Islam.

4. Dialog dan penyebaran agama

Dalam proses dialog, perlulah kiranya memperhatikan seluruh kehidupan partner dialog. Dalam konteks Indonesia, maka soal penyebaran agama masih dirasakan sebagai masalah dialog yang sangat sensitif, sehingga persoalan ini cenderung dihindarkan dari agenda dialog. Bisa kita simak ungkapan salah seorang tokoh intelektual Islam.: “Dari sudut golongan Kristen, persepsi mengenai "Kristenisasi” umat Islam ditolak. Mereka berpendapat bahwa, walaupun mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam, tapi mereka hanyalah "Islam statistik“ atau ”islam KTP". Karena itu terdapat peluang yang sah bagi golongan Kristen untuk menyebarkan agamanya… Penggunaan konsep santri abangan oleh umat Kristen di atas, makin disadari sebagai merugikan perkembangan Islam (M. Dawam Rahardjo, 1993, 320).

Di kalangan Kristen sendiri diakui bahwa evangelisasi dan dialog masih menjadi persoalan teologis. Apakah evangelisasi identik dengan usaha menobatkan orang lain? Dan apakah dialog merupakan (salah satu) bentuk evangelisasi? Dalam konteks Indonesia masalah ini bisa dirumuskan dengan sebuah pertanyaan ; Bagaimana kita hidup sebagai “pemeluk teguh” bukan hanya bagi dan di kalangan agama sendiri, melainkan bagaimana hidup sebagai “pemeluk teguh” di hadapan mereka yang memeluk agama lain? Dapatkah kita saling menghormati dan saling menerima keteguhan iman masing-masing?

lni memang merupakan masalah yang pelik dan sensitif, menyangkut masalah teoritis mengenai absolutisme dan relativisme agama. Akan tetapi perlulah dicatat bahwa studi agama-agama (religious studies) dan studi perbandingan agama (comparative religious studies) yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan Islam, seperti lAlN, telah membantu untuk mencairkan sikap eksklusivisme dan menumbuhkan sikap inklusivisme. Paling tidak ilmu ini, bisa memberi sumbangan untuk mengidentifikasikan persoalan dan menunjukkan batas-batas kemungkinan untuk menyelesaikannya. Mukti Ali menyatakan bahwa “ternyata llmu Perbandingan Agama sedikit atau banyak telah membantu memudahkan pelaksanaan dialog antar umat beragama di negeri ini. Tujuan mempelajari ilmu perbandingan agama adalah untuk ikut serta bersama-sama deo ngan orang-orang yang mempunyai maksud baik, menciptakan dunia yang aman dan damai berdasarkan etika dan moral agama.” (Mukti Ali, 1992. 88). Kesadaran semacam ini juga sudah mulai di kalangan sementara intelektual muda dari semua kelompok agama yang mengajak untuk berpikir bersama tentang persoalan-persoalan pelik ini. Dalam rangka dialog antar agama, fenomen ini bisa menjadi peluang untuk menciptakan “komunitas ilmiah” yang mempunyai fungsi kritik terhadap agama dan tidak hanya sekedar menjadi alat dari sebuah mesin institusional keagamaan dengan kepentingan eksklusif mereka sendiri-sendiri.  

II. BEBERAPA REFLEKSI KRITIS

1. Pengalaman keagamaan tentang kebenaran

Apa yang diusahakan dalam mempromosikan kerjasama antar agama tidak kurang daripada upaya untuk mempersiapkan jalan bagi terjadinya dialog itu sendiri. Dimana, kapan dan bagaimana dialog sejati itu akan terjadi, kita alami pada saat-saat khusus dalam kehidupan kita sehari-hari. Dialog muncul untuk menanggapi situasi tertentu yang menuntut orang untuk memilih bekerja sama daripada berkonfrontasi untuk saling mengalahkan dan saling membasmi. Demikianlah kegiatan dialog lebih mirip dengan saum (berpuasa) di kalangan orang Muslim, dimana seseorang disiapkan untuk menjadi taqwa kepada Allah sehingga siap untuk menemukan dan mengkuti kehendakNya. Kapan dan dimana dialog itu sendiri akan terjadi, situasilah yang akan mengundang kita. Oleh karena itu persiapan untuk dialog yang sejati seharusnya meliputi tiga segi : pemahaman diri ke dalam (ad intra), pengenalan akan partner dialog (ad extra), dan ketekunan untuk membaca tanda-tada zaman dimana kita bisa melakukan komunikasi dan mengalami suatu dialog yang sejati dengan sesama kita.

Di kalangan orang-orang yang terlibat dalam lnterfidei sering diajukan pertanyaan : "Apa yang dicari lntertidei?” Pertanyaan ini sudah begitu sering dilontarkan dan sudah terasa begitu banal, sampai salah seorang di antara kami menjawab dengan setengah bergurau : “Kami mencari kebenaran lewat kebetulan.” Memang, dalam dunia dialog antar para pemeluk agama yang berbeda banyak hal indah terungkap lewat penciptaan hubungan yang tidak dipaksa-paksakan, tidak direncanakan dan bahkan tidak diduga sebelumnya. Seperti layaknya kita mengalami sebuah revelasi, di sana kebenaran terungkap dalam proses dialog di dalam dan mengenai kehidupan kita bersama.

2. Dialog sebagai suatu langkah iman

Orang mengira bahwa dialog bertentangan dengan iman seseorang. Dalam arti apa? Dengan dialog orang mengkhianati isi imannya dengan jalan mengakui iman partner dialog. Untuk mengatasi kontradiksi ini, maka ada orang yang memandang dialog sebagai sarana untuk menyebarkan iman dalam arti untuk mempersiapkan partner untuk pindah agama. Dia menerima iman orang lain sejauh A dalam persiapan untuk menemukan agama yang lebih benar. Demikianlah dialog dilakukan sebagai strategi untuk "mempertobatkan" partner dialog. Ada juga yang melakukan dialog sedemikian rupa sehingga dia berusaha untuk tidak melibatkan imannya justru untuk menghindarkan kemungkinan konflik yang tidak siap ia hadapi. Dua sikap untuk menghubungkan antara dialog dan iman ini perlulah mendapatkan penilaian yang kritis.

Dialog memang bisa dilakukan dalam berbagai bentuk dengan berbagai sikap. Meskipun demikian, dalam suatu dialog yang jujur tidaklah mungkin kita mengabaikan apalagi mengeksklusifkan dimensi iman kita. Di kalangan para pendukung dialog, paling tidak dikenal empat macam bentuk dialog : dialog hidup, dialog aksi, dialog teologis dan dialog pengalaman keagamaan. Dalam keempat bentuk ini, iman seseorang menampakkan dirinya lewat wajah yang berbeda-beda. Lewat dialog hidup kita berusaha untuk membuka hidup kita terhadap kegembiraan, kesusahan,, keprihatinan dan kegelisahan hidup sesama kita. Lewat dialog aksi kita diajak untuk bekerjasama mengatasi pembatasan-pembatasan yang menghalangi kita untuk hidup secara bebas dan manusiawi. Dalam dialog teologis lapisan “elit” dari suatu agama membicarakan warisan-warisan keagamaan dengan nilai-nilainya agar dapat memahami dengan lebih dalam dan menghargai lebih tulus. Dialog pengalaman keagamaan memberi kesempatan kepada para partisipan untuk membagikan pengalaman-pengalaman keagamaan mereka yang berakar pada tradisi-tradisi agama masing-masing.

Berhadapan dengan iman seorang pelaku dialog, dari keempat bentuk dialog ini tak ada satupun yang bisa dilepaskan dari keterlibatan iman kita. Pengabaian iman seorang partisipan dialog justru bisa mengancam otentisitas dan keterbukaan dialog itu sendiri. Pada gilirannya hal ini justru bisa menutup pintu dari kesempatan untuk menemukan pengalaman dan pemahaman yang lebih mendalam baik terhadap agamanya sendiri maupun agama dari partner dialog. Keterlibatan ini bahkan juga dibutuhkan ketika seseorang mengadakan dialog teologis, mengingat teologi tidak lebih daripada refleksi iman seseorang yang ditata secara logis dan sistematis. Dengan kata lain, iman tetap menjadi horizon refleksi dan pengetahuan teologis menjadi wajah evocative dari iman kita. Hubungan antara iman dan pengetahuan ini dilukiskan sangat jelas oleh filsuf Jacques Maritain. "The culmination of knowledge is not conceptual but experienzial man/woman feels  God ". Demikianlah, dialog otentik seharusnya bisa menjadi wahana untuk meningkatkan integritas iinan yang diyakini setiap partner dialog.

3. Dialog dalam konteks

Dialog selalu dilakukan dalam konteks tertentu. Demikianlah salah satu tantangan serius yang dihadapi para pendukung dialog zaman ini adalah, menentukan dan menganalisis konteks dialog. Tantangan ini sebenarnya paralel dengan tantangan agama secara individual dalam usahanya untuk mengaktualisasikan dirinya secara terus-menerus menghadapi masyarakat yang terus berubah dengan segala ambiguitasnya. Dalam diskusi tentang dialog antar agama maka pembicaraan tentang peran agama-agama harus ditempatkan pada konteks persoalan global yang dihadapi bangsa manusia pada abad ke-21. Dialog perlu ditempatkan pada tantangan-tantangan dan kesempatan yang dihadapi bangsa manusia pada millenium ketiga. Dalam diskusi itu ditunjukkan bahwa persoalan yang bakal mengancam dan sudah bisa diantisipasi sejak saat kini, adalah persoalan kemiskinan dan lingkungan hidup. Dikatakan bahwa kemiskinan parsial (kantong-kantong kemiskinan) akan berkembang sebagai akibat dari peledakan . penduduk dunia dan ketimpangan dalam distribusi, sementara lingkungan hidup secara global akan rusak oleh karena memanasnya suhu udara. Untuk mengatasinya diperlukanlah kerjasama secara politis dan ekonomis di antara negara-negara dunia, disiplin diri dari setiap negara, setiap kelompok masyarakat. Kerjasama ini berlaku baik untuk negara-negara dengan penduduk mayoritas Kristen maupun dengan negara-negara yang maydritas penduduk'Musiim. Dari semuanya itu yang terpenting adalah keharusan untuk merumuskan problematik kemanusiaan bersama, serta mencari peran agama yang paling relevan untuk turut memecahkan soal tersebut.

Pada akhirnya harkat dan martabat manusia menjadi kriteria yang pertama dan utama dari setiap tindakan manusia lewat keputusan-keputusannya yang rumit dan sulit dipahami. Hans Kung mengatakan bahwa agama yang benar tidak akan bertentangan dengan kemanusiaan kita. Agama selalu mempertahankan dan menghormati kemanusiaan. Pada saat dimana kita berada di persimpangan jalan, agama digugat untuk membela manusia lewat inspirasi-inspirasi moralnya. Mengapa moral? Karena persis di bidang inilah anak-anak manusia mengalami regresi khususnya kalau dibandingkan dengan kemajuan-kemajuan di bidang, misalnya, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Keprihatinan akan bahaya menurunnya penghormatan pada martabat manusia juga diperingatkan oleh filsuf Mesir, Zaki Naguib Mahmud. Berkaitan dengan tantangan dan peluang yang dihadapi oleh Islam, Zaki menunjukkan segi khusus dari kebudayaan Islam. Mengikuti tipologi yang dibuat oleh Toynbee, Zaki menjelaskan mengapa kebudayaan Islam tergolong kebudayaan akhlaq. Untuk itu Zaki mengutip beberapa ayat dari Surat al-Fajr sebagai dasar penjelasannya. Dalam surat ini ditunjukkan kebesaran kebudayaan ketiga bangsa lain (Ad, Tamud, Fir'aun ) yang dapat diukur dengan bangunan-bangunan (kota, jalan, dan lain-lain). Kebudayaan Islam, katanya, pertama-tama harus dinilai dengan bangunan hati nurani.(Z. Naguib Mahmud: 1981, 200-203) Bangunan hati nurani mendahului . (secara logis, bukan temporal) bangunan kota.

Dalam bukunya Tajdid al-Fikr al 'Arabi, Zaki membahas persoalan cara berpikir orang Arab moderen yang cenderung dikotomis (ardl-sama', bumi-langit, dunia-surga) dengan "dikotomi" baru, ilmu pengetahuan dan seni. Ilmu pengetahuan, katanya, dapat melayani umat manusia dalam hubungannya dengan alam seisinya, sedangkan lewat seni seseorang dapat menghargai, menghormati, dan memberi nilai pada hidup manusia. Dalam konteks dan pada jaman yang berbeda seorang pujangga besar Goethe juga pernah mengatakan : "Barang siapa memiliki ilmu pengetahuan 'dan seni, memiliki agama".(Pierre Drouin: l989,371). '

4. Ketakutan : hambatan dialog

Setiap orang mempunyai rasa takut. Akan tetapi ada kalanya seseorang dirundung rasa takut sedemikian rupa sampai kehilangan akal sehatnya. Alkisah, ada orang yang dirundung rasa takut yang mendalam akan kematian. Siang malam dia dibayang-bayangi oleh kematian. Tak ada seorangpun yang berhasil membantunya untuk mengatasi rasa takutnya itu. Karena begitu takut akan kematian, akhirnya orang itu bunuh diri.

Dalam dunia dialog antar agama, ketakutan sering kali menjadi penghalang yang sulit diatasi. Ketakutan bisa muncul oleh karena bermacam-macam faktor, seperti : kekurangan akan pengetahuan dan penghayatan agamanya sendiri, pengetahuan dan pemahaman yang kurang memadai akan agama orang lain, pemahaman yang keliru tentang makna dari istilah-istilah teologis tertentu.  Salah satu penyebab ketakutan yang sulit diatasi berkaitan dengan faktor sosiopolitis atau beban-beban traumatis dari masa lampau. Hal ini sangat jelas dialami oleh orang-orang Kristen dan Muslim di Libanon. Karena situasi perang saudara yang lama, perasaan saling takut dan rasa saling benci antara umat Kristen (Maronit) dan Islam membuat para pendukung dialog Kristen-Islam mengalami kesulitan besar untuk mendekatkan, orang-orang setanah air itu. Situasi ketakutan yang mencekam di Libanon ini mengingatkan Prof. Mukti Ali yang menyatakan, “mengenai konflik antar agama kita dapat mengetahui kapan itu mulai, tetapi kita tidak mengetahui kapan konflik itu berakhir.”

Dalam konteks Indonesia, rupanya kita belum menderita ketakutan seberat ketakutan yang di hidap orang-orang di Libanon dan, bisa ditambah, di India. Alam kebudayaan yang mengutamakan kerukunan mengakar lebih kuat daripada membiarkan kemungkinan konfrontasi terbuka antar agama. Dalam kelompok-kelompok sering muncul pertanyaan-pertanyaan “naif! sedemikian rupa sampai ditanggapi oleh pembicara bahwa pertanyaan itu muncul dari rasa ketakutan, dan rasa ketakutan itu, sendiri muncul karena cara berpikir kita sendiri sudah menakutkan diri kita.” Cara berpikir ini antara lain tampak dalam cara kita bertanya tentang Islam (Misalnya : Apakah Indonesia akan menjadi negara Islam?). Maukah kita melewati batas-batas pertanyaan yang sudah banal? Dikatakan melewati, karena pertanyaan-pertanyaan itu bukannya tidak perlu. Akan tetapi kalau kita terus-menerus dirajut dalam jalinan pertanyaan-pertanyaan itu, disanalah kita akan menjadi lemas oleh ketakutan kita sendiri. Ketakutan serupa bisa muncul dari kalangan Muslim atau kelompok agama manapun di seantero dunia ini, orang bilang, ketakutan adalah guru yang paling jelek dari umat manusia, ia akan melahirkan manusia yang kerdil dan peradaban yang miskin.

5. Dialog : model manusiawil hubungan antar agama

Pengalaman dialog bukan hal baru di masyarakat kita, juga bukan hal yang sama sekali baru dalam hubungan antar agama. Namun ketika kita didorong untuk merumuskan gagasan secara sistematis mengenai dialog, ia muncul sebagai sebuah tantangan yang baru. Khususnya karena kita harus mengartikulasikan secara tepat dan secara eksplisit mengenai dasar, cara-cara serta tujuan dialog yang hendak kita jalankan.

Pertama-tama perlu dikemukakan beberapa karakteristik dari dialog, ia merupakan suatu percakapan antara dua pihak atau lebih yang mengandung unsur keterbukaan, sikap kritis dan upaya untuk saling, mendengar, saling belajar dan memahami orang lain secara lebih mendalam. 1) Keterbukaan, mengandaikan bahwa percakapan antara dua pihak atau lebih membutuhkan kesediaan mendengar dari semua pihak dalam porsi yang adil dan setara. Transparansi dan kejujuran dalam dialog merupakan prasyarat dari sebuah komunikasi yang dialogis. Dialog bukan tempat untuk memenangkan suatu urusan atau perkara, juga bukan tempat untuk menyelundupkan berbagai “agenda yang tersembunyi”  yang tidak diketahui dengan partner dialog. Perbedaan pendapat dalam dialog adalah hal yang wajar dan bahkan merupakan suatu yang dianggap semestinya. Akan tetapi perbedaan pendapat itu tidak boleh dianggap sebagai alasan untuk menghakimi dan memberikan penilaian sepihak. Di dalam proses dialog tidak ada hakim yang akan menjatuhkan pilihan terakhir atas kemungkinan-kemungkinan yang ada. Setiap orang berdiri secara setara dan sejajar dalam memperbincangkan keyakinannya mengenai kebenaran. Dalam dialog, keyakinan dan kebenaran adalah sesuatu yang tak terwakilkan. 2). Sekalipun dialog bermaksud untuk mencari pemahaman bersama yang lebih terbuka dan adil terhadap perbedaan pendapat. namun tidak berarti bahwa dialog yang produktif bisa dijalankan tanpa sikap kritis. Bahkan sebaliknya, sebuah dialog akan memberikan manfaat yang maksimal apabila kedua partner bisa mengajukan keberatan-keberatan kritisnya terhadap posisi-posisi masing-masing pihak. Sikap kritis ini sangat esensial dalam setiap pertemuan dialogis. Kritis terutama terhadap sikap eksklusif dan terhadap segala kecenderungan untuk meremehkan dan mendiskreditkan orang lain. Dalam hubungan ini maka sebuah dialog merupakan sebuah pedang bermata dua, sisi pertama ia mengarah kepada diri sendiri (sebagai sebuah otokritik), karena dalam banyak hal kita masih sangat dibebani oleh prasangka serta upaya sadar atau tak sadar untuk mendistorsikan. orang lain. Dan sisi yang kedua terarah kepada suatu percakapan kritis yang sifatnya eksternal, yaitu untuk saling memberikan pertimbangan serta pendapat kepada orang lain berdasarkan keyakinannya sendiri. Suatu percakapan dialogis yang seimbang akan memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk saling memberikan pendapat terhadap posisi masing-masing. Percakapan juga akan menjadi lebih produktif apabila pembicaraan bukan didasarkan atas perbedaan doktriner yang bergerak dalam dataran ideal, akan tetapi lebih terjurus kepada dataran kenyataan empiris. Dengah kata lain suatu dialog etika akan lebih banyak memberikan kemungkinan yang produktif bagi suatu percakapan dialogis. 3). Aspek ketiga yang merupakan ciri dari sebuah pertemuan dialogis adalah kesediaan untuk saling mendengar dan untuk mengemukakan pendapat secara seimbang. Dalam suasana semacam ini partner dialog bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang khusus serta belajar dari partner yang lain bagaimana pertanyaan tersebut dijawab dan dipergumulkan dalam suatu tradisi keagamaan tertentu. Kita tidak lebih banyak belajar dari jawaban,akan tetapi sering kita memperoleh banyak hal dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Apakah pertanyaan-pertanyaan kita secara asasi sama, dan bagaimana kita membandingkan jawaban yang berbeda kepada pertanyaan yang berbeda pula? Jawaban yang sama terhadap pertanyaanyang berbeda agaknya lebih problematis daripada jawaban yang berbeda terhadap pertanyaan yang berbeda. Dari pertanyaan itulah kita lebih banyak bisa belajar dari partner dialog. Dan dengan demikian juga bisa lebih menghargai kesungguhan serta kejujuran mereka untuk bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Dari sanalah disimpulkan jawaban-jawaban dogmatis dari masing-masing agama. Kita justru bisa lebih menghargai setiap jawaban dogmatis dari setiap agama, ketika kita menyadari kesungguhan pertanyaanpertanyaan yang dipergulatkan dalam setiap aga-ma itu. Pada titik inilah kita bisa saling mendengar dan belajar satu dari yang lain.

Adapun tujuan dialog sedikitnya akan menyentuh dua hal pokok, yaitu : menghidupkan suatu kesadaran baru tentang keprihatinan pokok irnan orang lain, dan yang kedua mengarah kepada kerjasama untuk memecahkan persoalan kemanusiaan bersama di masyarakat. Pertama, dialog mengarah kepada suatu pemahaman yang otentik mengenai iman orang lain, tanpa sikap untuk meremehkan dan apalagi mendistorsikan keyakinan-keyakinan mulia “tersebut. Dalam' hubungan ini malahan suatu percakapan yang sungguhsungguh dialogis bisa merupakan langkah untuk memperoleh “mutual enrichment” bagi setiap penghayatan iman yang berbeda-beda. Kita dibawa kepada suatu khasanah pengalaman keimanan yang benar-benar kaya dan yang terpelihara dalam suatu tradisi yang panjang dan majemuk. Yang kedua, suatu percakapan dialogis juga merupakan suatu kesempatan untuk menggalang kerjasama antar agama untuk memecahkan masalah-masalah kemanusiaan yang nyata di masyarakat. Keprihatinan agama-agama ini akan merupakan suatu kekuatan yang baru bagi kemanusiaan untuk menanggulangi eskalasi persoalan yang formatnya memang bersifat lintas agama. Kemampuan agama-agama secara individual untuk menghadapi persoalan kemanusiaan di zaman modern ini tidak memadai lagi, diperlukan satu bentuk baru dari persekutuan antar agama untuk menghadapinya.

Demikianlah dialog menjadi suatu harapan bagi kemanusiaan, yang bisa ditawarkan oleh agama-agama. Ia bisa ditawarkan sebagai sebuah model bagi suatu cara untuk menggalang potensi umat manusia yang semakin hari semakin terfragmentasi, dan di pihak lain juga sebagai sebuah model yang bisa mengilhami seluruh kelompok masyarakat untuk saling terbuka dan saling menyumbangkan potensinya masing-masing demi membangun kehidupan manusia yang lebih aman, sejahtera dan sentosa. Dialog adalah sebuah model yang lebih manusiawi untuk mengatasi hubungan antar kelompok di masyarakat.

Tidak ada komentar: