Oleh
TH Sumartana-St.Sunardi-Farid Wajidi
Beberapa pengamat agama berkaliber internasional
melihat Indonesia sebagai negara yang
mampu menciptakan dan memelihara rubungan antar agama yang baik, sehingga
sering kali dijadikan sebagai teladan dalam hal kerukunan antar umat beragama.
Bagi orang yang hidup di Indonesia,
pandangan semacam ini bukan hal yang gampang diterima begitu saja mengingat
kesulitan-kesulitan yang muncul belakangan ini. Tetapi pandangan tersebut bisa
dipahami karena bagaimanapun juga,
dibandingkan dengan situasi hubungan
agama di tempat lain; situasi di Indonesia memang lebih memberi harapan. Dan
memang hal ini juga disebabkan, paling tidak untuk sebagian, karena terjadi
dialog di kalangan para pemuka dan intelektual masing-masing agama. Akhir-akhir
ini mulai dipersoalkan kembali secara baru masalah dialog atau kerjasama antar
agama. Masih relevankah dialog antar agama? Kalau ya, bagaimana dialog harus
dilakukan? Dan apakah pendekatan yang dipakai untuk dialog selama ini masih bisa dianggap
memadai ?
I. DARI PERSAINGAN, TOLERANSI MENUJU KERJASAMA
1. Era persaingan
Hubungan antara agama-agama di Indonesia pada masa
kolonial sangat diwarnai dengan campur tangan pemerintah kolonial yang sangat
mementingkan rust en orde. Dalam
konteks kolonial persaingan antar agama terjadi khususnya pada tingkat pusat
masing-masing kegiatan
missioner dari agama-agama tersebut. Sedang pada tingkat kehidupan keagamaan di
masyarakat, pemerintah kolonial Belanda bersikap sangat hati-hati serta melakukan penjagaan ekstra ketat untuk mencegah bentrokan
antar agama yang melibatkan para penganutnya. Dengan demikian corak persaingan
lebih ditandai oleh persaingan antara lembaga-lembaga, khususnya berkaitan
dengan persaingan yang sifatnya doktriner dari agama-agama tersebut. Setiap
agama menganggap dirinya sebagai satu-satunya yang benar, dan sama sekali tidak
bisa melihat sesuatu yang berharga dari agama yang lain. Semangat persaingan
ini hingga kini, meski mulai muncul kecenderungan baru yang lebih inklusif,
masih diwarisi oleh banyak orang.
2.
Menuju semangat toleransi
Hubungan
antar agama di Indonesia mulai memasuki era baru yang lebih menekankan
toleransi sejak awal Orde Baru. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan
pemerintah yang mengupayakan stabilitas politik sebagai syarat awal berjalannya
roda pemerintahan yang baru. Berkenaan dengan hubungan Islam-Kristen, misalnya
dilukiskan : “Demikianlah setelah tahun
1965 ketegangan besar timbul antara pengikut organisasi-organisasi Islam dan
golongan-golongan lainnya di kalangan penduduk khususnya dengan kaum Muslimin
awam serta mereka yang bukan Islam. Namun ketegangan tersebut tampaknya memusat
serta bermuara pada pertentangan dengan umat Kristen." (B.I. Boland,
1985, 236). Salah satu sebab pertentangan antara kedua agama besar ini
menyangkut hal penyebaran agama (dakwah, zending, misi). Agama pada masa itu
menampilkan dirinya sebagai potensi disintegratif yang cukup menonjol disamping
bidang-bidang lainnya, misalnya ideologi politik dan orientasi kesukuan.
Demikianlah pada masa itu diupayakan dialog atau musyawarah antar agama untuk
membicarakan persoalan penyebaran agama demi menjaga kesatuan dan persatuan
bangsa.
Upaya
dialog antar agama terjadi pada tahun 1967 yang kemudian dikenal sebagai
Musyawarah Antar Agama. Musyawarah ini diprakarsai oleh pemerintah dan
melibatkan para pemuka agama di Indonesia. Upaya ini dinilai tidak berhasil,
karena tidak dicapai kesepakatan bersama berkenaan dengan prinsip-prinsip
penyebaran agama. Meskipun demikian, pantaslah dicecap kembali nilai
keprihatinan pemerintah yang mendasari musyawarah itu: “Pemerintah dalam usahanya untuk menjamin toleransi dalam hidup
beragama, berdasarkan keyakinannya masing-masing, akan mengutamakan kesatuan
dan persatuan Nasional antar sesama Orde Baru...” (M. Natsir. 229).
Kesepakatan memang tidak dicapai, tetapi jiwa dan citacita dialog tidak pernah
dibiarkan padam.
Keprihatinan
bersama untuk mengembangkan toleransi dalam hidup beragama bisa ditempatkan
dalam konteks global dan dalam dimensi yang lebih mendalam. Maksudnya,
keprihatinan itu dapat ditarik ke horizon yang lebih luas daripada horizon
politik nasional. Dalam Kongres Internasional untuk Sejarah Agama-agama IX di
Tokyo sudah dirasakan kebutuhan dunia akan toleransi dan sumbangan yang mungkin
bisa diberikan oleh studi agama. FR Heiler dari Jerman dalam ceramahnya antara
lain menyatakan: "Era baru akan tiba
kepada umat manusia dikala agama-agama akan bangkit pada toleransi yang
sebenarnya dan kerja sama atas nama umat manusia. Menyiapkan jalan ke arah era
ini merupakan salah satu harapan yang paling indah dari studi ilmiah tentang
agama." Di Indonesia, benih-benih keprihatinan sebagaimana diajukan
oleh Heiler ini sebenarnya sudah mulai tumbuh. Lihat saja studi yang dirintis oleh
P.J. Zoetmulder. Beliau adalah salah seorang figur yang menekuni studi
agama-agama di Indonesia yang hasilnya bisa menjadi sumbangan berharga bagi
bangsa Indonesia untuk menelusuri kembali warisan-warisan rohani yang ada.
Hasil-hasil penelitiannya bisa dijadikan sebagai dasar dialog kritis antar
agama. Ilmuwan ini menekuni tugasnya pertama-tama atas nama umat manusiadan
bukan atas nama agama yang dipeluknya. Etos ilmiah yang dia miliki mengatasi dorongan
enthusiasme penyebaran agama.
3.
Persoalan Modernisasi dan kerjasama antar agama
Pada
awal tahun 1970 an kesadaran dialog mendapat konteks baru, bukan hanya konteks
pelayanan dan misi agama tetapi terlebih konteks modernisasi atau dalam bahasa
pemerintah kita, ”pembangunan". Agama-agama di Indonesia tidak hanya
berhadapan satu sama lain untuk mendapatkan pengikut baru sebanyak-banyaknya,
melainkan juga secara bersama harus menghadapi tanggung jawabnya dalam dunia
yang sedang gandrung dengan gagasan tentang modernisasi. Agama sebagai Weltanschauung ditantang untuk
membuktikan bahwa dirinya masih aktual. Demikianlah dialog tidak hanya
diarahkan untuk menghindarkan konflik, melainkan juga untuk membicarakan
partisipasi agama dalam proses perubahan masyarakat lewat modernisasi.
Kesadaran
semacam ini antara lain terungkap dalam aspirasi Prof. Mukti Ali yang
mengatakan: "Mereka, para partisipan
dialog harus bergaul dengan kelompok manusia yang memeluk agama yang lain. Cara
pergaulannya itu harus dipikirkan dan direnungkan bersama, karena apabila
ketegangan, apalagi konflik antara satu kelompok pemeluk agama dengan kelompok
pemeluk agama lain timbul, maka orang dapat mengetahui kapan, konflik itu
mulai, tetapi orang tidak bisa menduga kapan ia akan berakhir. Adapun pertemuan
yang sifatnya seperti yang kedua, yang dihadiri bukan hanya oleh ahli-ahli
agama saja tetapi juga oleh ahli-ahli ilmu pengetahuan bukan agama,
rupa-rupanya hal itu terdorong oleh kesadaran bahwa agama harus juga berbicara
tentang masalah-masalah dunia dan masalah-masalah yang dihadapi oleh umat
manusia, di luar agama. " (Mukti Ali, 1970, 3) .
Di
kalangan Islam, misalnya, pada masa ini ditandai dengan munculnya benih-benih
pemikiran teologis yang bercorak inklusif, kemauan lebih kuat untuk
mengadaptasikan dengan arus pemikiran modern, keberanian untuk membuka pintu
ijtihad, dsb. Gejala ini kiranya tidak bisa dilepaskan dari persentuhan para
pemikir muda Islam dengan dunia Islam secara global yang mulai melakukan dialog
intelektual yang mendalam dengan khasanah pemikiran Islam pada tingkat dunia.
Berhadapan
dengan arus pemikiran modern, setiap agama bergulat dengan persoalan adaptasi
sekaligus identitas. Di satu pihak agama harus berakar pada tanah sejarah dan
tradisi-tradisinya, di lain pihak agama harus membuktikan dirinya sebagai
kekuatan liberatif. Montgomery Watt, antara lain menegaskan : "Pada dasarnya suatu respon akan
menjadi kreatif kalau seseorang tanpa melepaskan ajaran-ajaran agama yang pokok
mencoba mengupayakan terjadinya harmoni antara ajaran-ajaran agama dan pandangan
ilmiah dan filosofis, dan dengan cara demikian menyiapkan basis untuk
berhadapan dengan masalah-masalah sosial dan politis.” Dalam lslam, menurut
Watt, personifikasi semangat kreatif ini antara lain tampak dalam diri Muhammad
Ade dan Muhammad Iqbal. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau kedua orang
ini menjadi lampu pijar inspiratif bagi para pemikir Muslim Indonesia dalam keteguhannya
untuk mengaktualisasikan Islam.
4.
Dialog dan penyebaran agama
Dalam
proses dialog, perlulah kiranya memperhatikan seluruh kehidupan partner dialog.
Dalam konteks Indonesia, maka soal penyebaran agama masih dirasakan sebagai
masalah dialog yang sangat sensitif, sehingga persoalan ini cenderung
dihindarkan dari agenda dialog. Bisa kita simak ungkapan salah seorang tokoh
intelektual Islam.: “Dari sudut golongan Kristen, persepsi mengenai
"Kristenisasi” umat Islam ditolak. Mereka berpendapat bahwa, walaupun
mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam, tapi mereka hanyalah "Islam
statistik“ atau ”islam KTP". Karena itu terdapat peluang yang sah bagi
golongan Kristen untuk menyebarkan agamanya… Penggunaan konsep santri abangan
oleh umat Kristen di atas, makin disadari sebagai merugikan perkembangan Islam
(M. Dawam Rahardjo, 1993, 320).
Di
kalangan Kristen sendiri diakui bahwa evangelisasi dan dialog masih menjadi
persoalan teologis. Apakah evangelisasi identik dengan usaha menobatkan orang
lain? Dan apakah dialog merupakan (salah satu) bentuk evangelisasi? Dalam
konteks Indonesia masalah ini bisa dirumuskan dengan sebuah pertanyaan ;
Bagaimana kita hidup sebagai “pemeluk teguh” bukan hanya bagi dan di kalangan
agama sendiri, melainkan bagaimana hidup sebagai “pemeluk teguh” di hadapan
mereka yang memeluk agama lain? Dapatkah kita saling menghormati dan saling
menerima keteguhan iman masing-masing?
lni
memang merupakan masalah yang pelik dan sensitif, menyangkut masalah teoritis
mengenai absolutisme dan relativisme agama. Akan tetapi perlulah dicatat bahwa
studi agama-agama (religious studies)
dan studi perbandingan agama (comparative
religious studies) yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan
Islam, seperti lAlN, telah membantu untuk mencairkan sikap eksklusivisme dan
menumbuhkan sikap inklusivisme. Paling tidak ilmu ini, bisa memberi sumbangan
untuk mengidentifikasikan persoalan dan menunjukkan batas-batas kemungkinan
untuk menyelesaikannya. Mukti Ali menyatakan bahwa “ternyata llmu Perbandingan Agama sedikit atau banyak telah membantu
memudahkan pelaksanaan dialog antar umat beragama di negeri ini. Tujuan
mempelajari ilmu perbandingan agama adalah untuk ikut serta bersama-sama deo
ngan orang-orang yang mempunyai maksud baik, menciptakan dunia yang aman dan
damai berdasarkan etika dan moral agama.” (Mukti Ali, 1992. 88). Kesadaran
semacam ini juga sudah mulai di kalangan sementara intelektual muda dari semua
kelompok agama yang mengajak untuk berpikir bersama tentang persoalan-persoalan
pelik ini. Dalam rangka dialog antar agama, fenomen ini bisa menjadi peluang
untuk menciptakan “komunitas ilmiah” yang mempunyai fungsi kritik terhadap
agama dan tidak hanya sekedar menjadi alat dari sebuah mesin institusional
keagamaan dengan kepentingan eksklusif mereka sendiri-sendiri.
II.
BEBERAPA REFLEKSI KRITIS
1.
Pengalaman keagamaan tentang kebenaran
Apa
yang diusahakan dalam mempromosikan kerjasama antar agama tidak kurang daripada
upaya untuk mempersiapkan jalan bagi terjadinya dialog itu sendiri. Dimana,
kapan dan bagaimana dialog sejati itu akan terjadi, kita alami pada saat-saat
khusus dalam kehidupan kita sehari-hari. Dialog muncul untuk menanggapi situasi
tertentu yang menuntut orang untuk memilih bekerja sama daripada berkonfrontasi
untuk saling mengalahkan dan saling membasmi. Demikianlah kegiatan dialog lebih
mirip dengan saum (berpuasa) di kalangan orang Muslim, dimana seseorang
disiapkan untuk menjadi taqwa kepada Allah sehingga siap untuk menemukan dan
mengkuti kehendakNya. Kapan dan dimana dialog itu sendiri akan terjadi,
situasilah yang akan mengundang kita. Oleh karena itu persiapan untuk dialog
yang sejati seharusnya meliputi tiga segi : pemahaman diri ke dalam (ad intra),
pengenalan
akan partner dialog (ad extra), dan ketekunan untuk membaca
tanda-tada zaman dimana kita bisa melakukan komunikasi dan mengalami suatu
dialog yang sejati dengan sesama kita.
Di
kalangan orang-orang yang terlibat dalam lnterfidei sering diajukan pertanyaan
: "Apa yang dicari lntertidei?” Pertanyaan ini sudah begitu sering
dilontarkan dan sudah terasa begitu banal, sampai salah seorang di antara kami
menjawab dengan setengah bergurau : “Kami
mencari kebenaran lewat kebetulan.” Memang, dalam dunia dialog antar para
pemeluk agama yang berbeda banyak hal indah terungkap lewat penciptaan hubungan
yang tidak dipaksa-paksakan, tidak direncanakan dan bahkan tidak diduga
sebelumnya. Seperti layaknya kita mengalami sebuah revelasi, di sana kebenaran
terungkap dalam proses dialog di dalam dan mengenai kehidupan kita bersama.
2.
Dialog sebagai suatu langkah iman
Orang
mengira bahwa dialog bertentangan dengan iman seseorang. Dalam arti apa? Dengan
dialog orang mengkhianati isi imannya dengan jalan mengakui iman partner
dialog. Untuk mengatasi kontradiksi ini, maka ada orang yang memandang dialog
sebagai sarana untuk menyebarkan iman dalam arti untuk mempersiapkan partner
untuk pindah agama. Dia menerima iman orang lain sejauh A dalam persiapan untuk
menemukan agama yang lebih benar. Demikianlah dialog dilakukan sebagai strategi
untuk "mempertobatkan" partner dialog. Ada juga yang melakukan dialog
sedemikian rupa sehingga dia berusaha untuk tidak melibatkan imannya justru
untuk menghindarkan kemungkinan konflik yang tidak siap ia hadapi. Dua sikap
untuk menghubungkan antara dialog dan iman ini perlulah mendapatkan penilaian
yang kritis.
Dialog
memang bisa dilakukan dalam berbagai bentuk dengan berbagai sikap. Meskipun
demikian, dalam suatu dialog yang jujur tidaklah mungkin kita mengabaikan
apalagi mengeksklusifkan dimensi iman kita. Di kalangan para pendukung dialog,
paling tidak dikenal empat macam bentuk dialog : dialog hidup, dialog aksi, dialog
teologis dan dialog pengalaman keagamaan. Dalam keempat bentuk ini,
iman seseorang menampakkan dirinya lewat wajah yang berbeda-beda. Lewat dialog
hidup kita berusaha untuk membuka hidup kita terhadap kegembiraan, kesusahan,,
keprihatinan dan kegelisahan hidup sesama kita. Lewat dialog aksi kita diajak
untuk bekerjasama mengatasi pembatasan-pembatasan yang menghalangi kita untuk
hidup secara bebas dan manusiawi. Dalam dialog teologis lapisan “elit” dari
suatu agama membicarakan warisan-warisan keagamaan dengan nilai-nilainya agar
dapat memahami dengan lebih dalam dan menghargai lebih tulus. Dialog pengalaman
keagamaan memberi kesempatan kepada para partisipan untuk membagikan
pengalaman-pengalaman keagamaan mereka yang berakar pada tradisi-tradisi agama
masing-masing.
Berhadapan
dengan iman seorang pelaku dialog, dari keempat bentuk dialog ini tak ada
satupun yang bisa dilepaskan dari keterlibatan iman kita. Pengabaian iman
seorang partisipan dialog justru bisa mengancam otentisitas dan keterbukaan
dialog itu sendiri. Pada gilirannya hal ini justru bisa menutup pintu dari
kesempatan untuk menemukan pengalaman dan pemahaman yang lebih mendalam baik
terhadap agamanya sendiri maupun agama dari partner dialog. Keterlibatan ini
bahkan juga dibutuhkan ketika seseorang mengadakan dialog teologis, mengingat
teologi tidak lebih daripada refleksi iman seseorang yang ditata secara logis
dan sistematis. Dengan kata lain, iman tetap menjadi horizon refleksi dan
pengetahuan teologis menjadi wajah evocative dari iman kita. Hubungan antara
iman dan pengetahuan ini dilukiskan sangat jelas oleh filsuf Jacques Maritain. "The culmination of knowledge is not
conceptual but experienzial man/woman feels God ". Demikianlah, dialog otentik
seharusnya bisa menjadi wahana untuk meningkatkan integritas iinan yang
diyakini setiap partner dialog.
3.
Dialog dalam konteks
Dialog
selalu dilakukan dalam konteks tertentu. Demikianlah salah satu tantangan
serius yang dihadapi para pendukung dialog zaman ini adalah, menentukan dan
menganalisis konteks dialog. Tantangan ini sebenarnya paralel dengan tantangan
agama secara individual dalam usahanya untuk mengaktualisasikan dirinya secara terus-menerus
menghadapi masyarakat yang terus berubah dengan segala ambiguitasnya. Dalam
diskusi tentang dialog antar agama maka pembicaraan tentang peran agama-agama harus
ditempatkan pada konteks persoalan global yang dihadapi bangsa manusia pada
abad ke-21. Dialog perlu ditempatkan pada tantangan-tantangan dan kesempatan
yang dihadapi bangsa manusia pada millenium ketiga. Dalam diskusi itu
ditunjukkan bahwa persoalan yang bakal mengancam dan sudah bisa diantisipasi
sejak saat kini, adalah persoalan kemiskinan dan lingkungan hidup. Dikatakan
bahwa kemiskinan parsial (kantong-kantong kemiskinan) akan berkembang sebagai
akibat dari peledakan . penduduk dunia dan ketimpangan dalam distribusi,
sementara lingkungan hidup secara global akan rusak oleh karena memanasnya suhu
udara. Untuk mengatasinya diperlukanlah kerjasama secara politis dan ekonomis
di antara negara-negara dunia, disiplin diri dari setiap negara, setiap
kelompok masyarakat. Kerjasama ini berlaku baik untuk negara-negara dengan
penduduk mayoritas Kristen maupun dengan negara-negara yang maydritas
penduduk'Musiim. Dari semuanya itu yang terpenting adalah keharusan untuk
merumuskan problematik kemanusiaan bersama, serta mencari peran agama yang paling
relevan untuk turut memecahkan soal tersebut.
Pada
akhirnya harkat dan martabat manusia menjadi kriteria yang pertama dan utama
dari setiap tindakan manusia lewat keputusan-keputusannya yang rumit dan sulit
dipahami. Hans Kung mengatakan bahwa agama yang benar tidak akan bertentangan
dengan kemanusiaan kita. Agama selalu mempertahankan dan menghormati
kemanusiaan. Pada saat dimana kita berada di persimpangan jalan, agama digugat
untuk membela manusia lewat inspirasi-inspirasi moralnya. Mengapa moral?
Karena persis di bidang inilah anak-anak manusia
mengalami regresi khususnya kalau dibandingkan dengan kemajuan-kemajuan di
bidang, misalnya, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Keprihatinan
akan bahaya menurunnya penghormatan pada martabat manusia juga diperingatkan
oleh filsuf Mesir, Zaki Naguib Mahmud. Berkaitan dengan tantangan dan peluang
yang dihadapi oleh
Islam, Zaki menunjukkan segi khusus dari kebudayaan Islam. Mengikuti tipologi
yang dibuat oleh Toynbee, Zaki menjelaskan mengapa kebudayaan Islam tergolong
kebudayaan akhlaq. Untuk itu Zaki mengutip beberapa ayat dari Surat al-Fajr
sebagai dasar penjelasannya. Dalam surat ini ditunjukkan kebesaran kebudayaan
ketiga bangsa lain (Ad, Tamud, Fir'aun ) yang dapat diukur dengan
bangunan-bangunan (kota, jalan, dan lain-lain). Kebudayaan Islam, katanya,
pertama-tama harus dinilai dengan bangunan hati nurani.(Z. Naguib Mahmud: 1981,
200-203) Bangunan hati nurani mendahului . (secara logis, bukan temporal)
bangunan kota.
Dalam
bukunya Tajdid al-Fikr al 'Arabi, Zaki membahas persoalan cara berpikir orang
Arab moderen yang cenderung dikotomis (ardl-sama', bumi-langit, dunia-surga)
dengan "dikotomi" baru, ilmu pengetahuan dan seni. Ilmu pengetahuan,
katanya, dapat melayani umat manusia dalam hubungannya dengan alam seisinya,
sedangkan lewat seni seseorang dapat menghargai, menghormati, dan memberi nilai
pada hidup manusia. Dalam konteks dan pada jaman yang berbeda seorang pujangga
besar Goethe juga pernah mengatakan : "Barang siapa memiliki ilmu
pengetahuan 'dan seni, memiliki agama".(Pierre Drouin: l989,371). '
4.
Ketakutan : hambatan dialog
Setiap
orang mempunyai rasa takut. Akan tetapi ada kalanya seseorang dirundung rasa
takut sedemikian rupa sampai kehilangan akal sehatnya. Alkisah, ada orang yang
dirundung rasa takut yang mendalam akan kematian. Siang malam dia dibayang-bayangi
oleh kematian. Tak ada seorangpun yang berhasil membantunya untuk mengatasi
rasa takutnya itu. Karena begitu takut akan kematian, akhirnya orang itu bunuh
diri.
Dalam
dunia dialog antar agama, ketakutan sering kali menjadi penghalang yang sulit
diatasi. Ketakutan bisa muncul oleh karena bermacam-macam faktor, seperti :
kekurangan akan pengetahuan dan penghayatan agamanya sendiri, pengetahuan dan
pemahaman yang kurang memadai akan agama orang lain, pemahaman yang keliru
tentang makna dari istilah-istilah teologis tertentu. Salah satu penyebab ketakutan yang sulit
diatasi berkaitan dengan faktor sosiopolitis atau beban-beban traumatis dari
masa lampau. Hal ini sangat jelas dialami oleh orang-orang Kristen dan Muslim
di Libanon. Karena situasi perang saudara yang lama, perasaan saling takut dan rasa
saling benci antara umat Kristen (Maronit) dan Islam membuat para pendukung
dialog Kristen-Islam mengalami kesulitan besar untuk mendekatkan, orang-orang
setanah air itu. Situasi ketakutan yang mencekam di Libanon ini mengingatkan Prof.
Mukti Ali yang menyatakan, “mengenai konflik antar agama kita dapat mengetahui
kapan itu mulai, tetapi kita tidak mengetahui kapan konflik itu berakhir.”
Dalam
konteks Indonesia, rupanya kita belum menderita ketakutan seberat ketakutan
yang di hidap orang-orang di Libanon dan, bisa ditambah, di India. Alam
kebudayaan yang mengutamakan kerukunan mengakar lebih kuat daripada membiarkan
kemungkinan konfrontasi terbuka antar agama. Dalam kelompok-kelompok sering
muncul pertanyaan-pertanyaan “naif!
sedemikian rupa sampai ditanggapi oleh pembicara bahwa pertanyaan itu muncul
dari rasa ketakutan, dan rasa ketakutan itu, sendiri muncul karena cara berpikir
kita sendiri sudah menakutkan diri kita.” Cara berpikir ini antara lain
tampak dalam cara kita bertanya tentang Islam (Misalnya : Apakah Indonesia akan
menjadi negara Islam?). Maukah kita melewati batas-batas pertanyaan yang sudah
banal? Dikatakan melewati, karena pertanyaan-pertanyaan itu bukannya tidak
perlu. Akan tetapi kalau kita terus-menerus dirajut dalam jalinan pertanyaan-pertanyaan
itu, disanalah kita akan menjadi lemas oleh ketakutan kita sendiri. Ketakutan
serupa bisa muncul dari kalangan Muslim atau kelompok agama manapun di seantero
dunia ini, orang bilang, ketakutan adalah guru yang paling jelek dari umat
manusia, ia akan melahirkan manusia yang kerdil dan peradaban yang miskin.
5.
Dialog : model manusiawil hubungan antar agama
Pengalaman
dialog bukan hal baru di masyarakat kita, juga bukan hal yang sama sekali baru
dalam hubungan antar agama. Namun ketika kita didorong untuk merumuskan gagasan
secara sistematis mengenai dialog, ia muncul sebagai sebuah tantangan yang
baru. Khususnya karena kita harus mengartikulasikan secara tepat dan secara
eksplisit mengenai dasar, cara-cara serta tujuan dialog yang hendak kita
jalankan.
Pertama-tama
perlu dikemukakan beberapa karakteristik dari dialog, ia merupakan suatu
percakapan antara dua pihak atau lebih yang mengandung unsur keterbukaan, sikap
kritis dan upaya untuk saling, mendengar, saling belajar dan memahami orang
lain secara lebih mendalam. 1) Keterbukaan, mengandaikan bahwa percakapan
antara dua pihak atau lebih membutuhkan kesediaan mendengar dari semua pihak
dalam porsi yang adil dan setara. Transparansi dan kejujuran dalam dialog
merupakan prasyarat dari sebuah komunikasi yang dialogis. Dialog bukan tempat
untuk memenangkan suatu urusan atau perkara, juga bukan tempat untuk
menyelundupkan berbagai “agenda yang tersembunyi” yang tidak diketahui dengan partner dialog.
Perbedaan pendapat dalam dialog adalah hal yang wajar dan bahkan merupakan suatu
yang dianggap semestinya. Akan tetapi perbedaan pendapat itu tidak boleh
dianggap sebagai alasan untuk menghakimi dan memberikan penilaian sepihak. Di
dalam proses dialog tidak ada hakim yang akan menjatuhkan pilihan terakhir atas
kemungkinan-kemungkinan yang ada. Setiap orang berdiri secara setara dan
sejajar dalam memperbincangkan keyakinannya mengenai kebenaran. Dalam dialog,
keyakinan dan kebenaran adalah sesuatu yang tak terwakilkan. 2). Sekalipun
dialog bermaksud untuk mencari pemahaman bersama yang lebih terbuka dan adil
terhadap perbedaan pendapat. namun tidak berarti bahwa dialog yang produktif
bisa dijalankan tanpa sikap kritis. Bahkan sebaliknya, sebuah dialog akan
memberikan manfaat yang maksimal apabila kedua partner bisa mengajukan
keberatan-keberatan kritisnya terhadap posisi-posisi masing-masing pihak. Sikap
kritis ini sangat esensial dalam setiap pertemuan dialogis. Kritis terutama
terhadap sikap eksklusif dan terhadap segala kecenderungan untuk meremehkan dan
mendiskreditkan orang lain. Dalam hubungan ini maka sebuah dialog merupakan
sebuah pedang bermata dua, sisi pertama ia mengarah kepada diri sendiri
(sebagai sebuah otokritik), karena dalam banyak hal kita masih sangat dibebani
oleh prasangka serta upaya sadar atau tak sadar untuk mendistorsikan. orang
lain. Dan sisi yang kedua terarah kepada suatu percakapan kritis yang sifatnya
eksternal, yaitu untuk saling memberikan pertimbangan serta pendapat kepada
orang lain berdasarkan keyakinannya sendiri. Suatu percakapan dialogis yang
seimbang akan memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk saling
memberikan pendapat terhadap posisi masing-masing. Percakapan juga akan menjadi
lebih produktif apabila pembicaraan bukan didasarkan atas perbedaan doktriner
yang bergerak dalam dataran ideal, akan tetapi lebih terjurus kepada dataran
kenyataan empiris. Dengah kata lain suatu dialog etika akan lebih banyak
memberikan kemungkinan yang produktif bagi suatu percakapan dialogis. 3). Aspek
ketiga yang merupakan ciri dari sebuah pertemuan dialogis adalah kesediaan
untuk saling mendengar dan untuk mengemukakan pendapat secara seimbang. Dalam
suasana semacam ini partner dialog bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
khusus serta belajar dari partner yang lain bagaimana pertanyaan tersebut
dijawab dan dipergumulkan dalam suatu tradisi keagamaan tertentu. Kita tidak
lebih banyak belajar dari jawaban,akan tetapi sering kita memperoleh banyak hal
dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Apakah pertanyaan-pertanyaan kita
secara asasi sama, dan bagaimana kita membandingkan jawaban yang berbeda kepada
pertanyaan yang berbeda pula? Jawaban yang sama terhadap pertanyaanyang berbeda
agaknya lebih problematis daripada jawaban yang berbeda terhadap pertanyaan
yang berbeda. Dari pertanyaan itulah kita lebih banyak bisa belajar dari
partner dialog. Dan dengan demikian juga bisa lebih menghargai kesungguhan
serta kejujuran mereka untuk bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Dari
sanalah disimpulkan jawaban-jawaban dogmatis dari masing-masing agama. Kita
justru bisa lebih menghargai setiap jawaban dogmatis dari setiap agama, ketika
kita menyadari kesungguhan pertanyaanpertanyaan yang dipergulatkan dalam setiap
aga-ma itu. Pada titik inilah kita bisa saling mendengar dan belajar satu dari
yang lain.
Adapun
tujuan dialog sedikitnya akan menyentuh dua hal pokok, yaitu : menghidupkan
suatu kesadaran baru tentang keprihatinan pokok irnan orang lain, dan yang
kedua mengarah kepada kerjasama untuk memecahkan persoalan kemanusiaan bersama
di masyarakat. Pertama, dialog mengarah kepada suatu pemahaman yang otentik
mengenai iman orang lain, tanpa sikap untuk meremehkan dan apalagi
mendistorsikan keyakinan-keyakinan mulia “tersebut. Dalam' hubungan ini malahan
suatu percakapan yang sungguhsungguh dialogis bisa merupakan langkah untuk
memperoleh “mutual enrichment” bagi
setiap penghayatan iman yang berbeda-beda. Kita dibawa kepada suatu khasanah
pengalaman keimanan yang benar-benar kaya dan yang terpelihara dalam suatu
tradisi yang panjang dan majemuk. Yang kedua, suatu percakapan dialogis juga
merupakan suatu kesempatan untuk menggalang kerjasama antar agama untuk
memecahkan masalah-masalah kemanusiaan yang nyata di masyarakat. Keprihatinan
agama-agama ini akan merupakan suatu kekuatan yang baru bagi kemanusiaan untuk
menanggulangi eskalasi persoalan yang formatnya memang bersifat lintas agama.
Kemampuan agama-agama secara individual untuk menghadapi persoalan kemanusiaan
di zaman modern ini tidak memadai lagi, diperlukan satu bentuk baru dari
persekutuan antar agama untuk menghadapinya.
Demikianlah
dialog menjadi suatu harapan bagi kemanusiaan, yang bisa ditawarkan oleh
agama-agama. Ia bisa ditawarkan sebagai sebuah model bagi suatu cara untuk
menggalang potensi umat manusia yang semakin hari semakin terfragmentasi, dan
di pihak lain juga sebagai sebuah model yang bisa mengilhami seluruh kelompok
masyarakat untuk saling terbuka dan saling menyumbangkan potensinya
masing-masing demi membangun kehidupan manusia yang lebih aman, sejahtera dan
sentosa. Dialog adalah sebuah model yang lebih manusiawi untuk mengatasi
hubungan antar kelompok di masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar