Rabu, 14 Februari 2018

BERSAMA SAUDARA-SAUDARI BERIMAN LAIN (PERSPEKTIF GEREJA KATOLIK)

Oleh
J.B. BANAWIRATMA, S.J

Adanya macam-macam agama dan iman kepercayaan di dunia kita adalah suatu kenyataan. Berhadapan dengan kenyataan tersebut, setiap orang dan umat beriman disapa untuk mengambil sikap. Dewasa ini semakin jelas arus pemahaman dan sikap yang menegaskan bahwa agama mempunyai makna dalam kehidupan bermasyarakat. Sekularisme tanpa agama ditolak. Begitu pula ditolak ghetto, komunalisme, primordialisme maupun fundamentalisme agresif. Literatur berhubungan dengan perjumpaan antar umat beriman di lingkungan Gereja Katolik sangatlah luas. Kenyataan itu saja kiranya sudah dapat dilihat sebagai tanda bahwa hubungan antar umat beriman tidak dianggap hal kecil. melainkan merupakan kepedulian sangat penting baik dari perspektif sosiologis maupun dari perspektif teologis. Literatur yang ada berkisar sekitar teologi agama-agama. keunikan Yesus Kristus dan kekhasan agama Kristen, peranan Gereja dalam sejarah keselamatan dunia, perjumpaan agama Kristen dengan agama-agama Yahudi, islam, Hindu, Buddha, Konfusianisme, Shintoisme. Taoisme, maupun dengan kepercayaan popular. Uraian singkat ini akan meyampaikan posisi penulis dari Gereja Katolik sehubungan dengan pandangan sikap dan harapan Gereja Katolik di tengah-tengah kenyataan pluralisme religius tersebut.

Paradigma Pluralis Dialogal 

Pendekatan di sini memilih paradigma pluralis dialogal, bukan apriori-konseptual, bukan pula komparatif-evaluatif. Pendekatan dialogal mengakui pluralisme sekaligus menganggap dialog sebagai suatu penting, bahkan suatu keharusan. Pendekatan ini menghargai dan menempatkan yang lain dari perspektif saya, dan menempatkan saya dalam kehadiran yang lain. Mendekati hubungan antar umat beriman dan umat beragama secara dialogal berarti mendekati dari bawah, yakni dari agama sebagai gejala sosial, sebagai umat beragama. Untuk memperjelas paradigma pluralis dialogal yang dipilih di sini baiklah dikemukakan tiga macam paradigma lainnya (bdk. Amaladoss 1989; D'Costa 1986; Knitter 1985; Race 1983).

Pertama adalah paradigma eksklusifis. Menurut kerangka berfikir ini orang tidak akan diselamatkan kecuali kalau mengakui iman yang saya akui, kecuali memeluk agama yang saya peluk. Agama-agama lain barangkali mempunyai banyak hal yang baik, tetapi agama-agama lain tidak menjadi mediasi keselamatan. Hanyalah agama saya yang menjadi mediasi keselamatan. Kalau paradigma ini dikenakan dalam agama Kristen, maka hanyalah dalam agama Kristen; hanyalah dalam Gereja ada keselamatan, di luar Gereja tidak ada keselamatan. 

Paradigma eksklusifis ini tidak dapat diterima, karena bersikap negatif terhadap atau bahkan merendahkan agama-agama lain yang tidak saya peluk. Kecuali itu, paradigma ekslusifis tidak melihat kenyataan, bahwa umat beragama bagaimanapun juga adalah kenyataan manusiawi dan karena itu terbatas. Paradigma ini secara jelas ditolak oleh konsili Vatikan ll. 

Kedua, paradigma inklusifis yang menerima kemungkinan adanya pewahyuan dalam agama-agama lain, yang juga menjadi mediasi keselamatan bagi mereka yang memeluknya. Namun akhirnya keselamatan yang mereka terima entah bagaimana juga melalui unsur yang menentukan dalam agama saya. Kalau paradigma inkulusifis ini dikenakan dalam agama Kristen, maka berarti bahwa orang-orang beragama lain juga akan diselamatkan, yakni melalui Yesus Kristus, juga kalau mereka tidak menyadari atau tidak mengakui hal itu. 

Pandangan inklusitis ini barangkali merupakan pandangan yang agak umum dan menampakkan sikap simpatik merangkul yang lain. Namun jawaban yang diberikan bersifat apriori-normatif. Jawaban demikian ini meskipun menaruh simpati terhadap agama-agama lain toh kurang menempatkan agama lain sebagaimana dialami dan dipeluk oleh yang bersangkutan dengan kategori-kategori yang ada dalam agama tersebut. Maka sebagai paradigma hubungan antar umat beragama juga kurang operasional, kurang tegas membuka kemungkinan bahwa melalui pertemuan antar umat beriman, yang satu dapat diperkaya oleh yang lain. 

Ketiga adalah paradigma pluralis indiferen. Semua agama dengan cara masing-masing menempuh jalan keselamatan menuju Yang Mutlak, the Ultimate, menuju Allah. Demikianlah Yesus Kristus adalah jalan keselamatan bagi orang-orang Kristen, Al-Qur'an bagi para pemeluk agama islam, Buddha bagi para pemeluk agama Buddha, Krisna atau Rama bagi para pemeluk agama Hindu dan sebagainya. Paradigma ini dapat dikatakan merupakan suatu pengakuan yang bersifat theosentris, dalam arti bahwa bagaimanapun juga agama-agama itu melalui jalannya masing-masing toh sedang menuju kepada Yang Mutlak, menuju Allah yang sama. 

Paradigma ini tampak sangat terbuka, namun sekaligus tidak cukup serius terhadap agama. Orang bersikap indiferen dan mengatakan bahwa semua agama sebenarnya sama saja. Perbedaan-perbedaan, bahkan barangkali pertentangan visi dan orientasi antara agama-agama yang satu dengan yang lain tidak diperlakukan sewajarnya. Pluralisme agama hanyalah dipandang semacam varian dari banyak ekspresi yang berbeda mengenai kenyataan atau pengalaman yang sama.

Paradigma yang kita pilih adalah paradigma pluralis dialogal, Paradigma ini mengakui kenyataan pluralisme iman dan agama. Paradigma ini jelas menolak paradigma eksklusifis, dan dapat dikatakan berada di antara paradigma inklusifis dan pluralis indeferen. Memang paradigma pluralis, tetapi tidak indiferen. Saya menyakini bahwa agama dan iman saya sekarang ini adalah yang paling dapat saya pertanggungjawabkan dan karena itu saya anut dengan sepenuh hati. 

Kekhasan masing-masing agama dan iman diakui, sekaligus masing-masing melalui dialog dapat menyumbangkan kekayaannya. Berhadapan dengan umat beragama dan beriman lain kita mendengarkan, membiarkan diri disapa oleh iman dan kehidupan mereka. Kita berusaha mengerti dan memahami dan bersedia diperkaya oleh mereka. Kita sanggup secara jujur terbuka dan berbagi kekayaan agama dan iman kita, kita bersedia memperkaya agama dan iman lain. Dalam dialog kita tidak membuat perbandingan dan evaluasi mana yang benar, mana yang salah. Kita menempatkan umat beragama dan beriman lain dari perspektif agama dan iman kita. Kita menghormati jatidiri mereka tanpa mereduksikan mereka pada agama dan iman kita, tanpa melebur satu sama lain. Paradigma ini mengambil serius baik agama dan iman saya maupun agama dan iman lain, dan dengan demikian terbukalah kemungkinan optimal untuk dialog dan saling memperkaya. Di tengah-tengah pluralisme religius yang berhubungan satu sama lain secara dialogal pandangan dan sikap serta jatidiri masing-masing dapat diungkapan dan diperkembangkan. 

Paradigma ini tidak hanya baik demi kerukunan antar umat beriman dan beragama dalam mengatur kehidupan bersama dan menjalankan aksi bersama. Memang baik untuk itu juga, namun juga demi keseluruhan penghayatan agama dan iman yang lebih mendalam dan bertanggungjawab. Melalui paradigma pluralis dialogal dapat diusahakan perjumpaan visi dan orientasi yang hidup di antara umat beragama dan umat beriman, dapat ditemukan dataran-dataran dialog dan transformasi yang mungkin diperkembangkan. Keuntungan dari pendekatan ini semoga menjadi semakin jelas dalam pembicaraan selanjutnya. 

Gejala Pluralisme Agama dan Makna Teologisnya

Umat beriman meyakini, bahwa Allah yang kita imani dalam agama kita masing-masing adalah Mahasempurna dan Mahabenar, Mahabaik, Mahapengasih, Mahasegalanya, dan Mutlak. KemutlakanNya bukanlah kemutlakan tertutup tanpa hubungan dengan dunia manusia. Manusia menyapa nama-Nya, memuji dan memuliakan kebesaran-Nya, mohon rezeki dan pengampunan, damai dan keadilan. 

Meskipun Allah Mahamutlak, namun kita tidak bisa menyangkal, bahwa kita manusia yang menerima pewahyuan-Nya adalah terbatas dan tidak dapat terlepas dari konteks sejarah kita yang konkret. Pengakuan akan keterbatasan manusiawi ini penting untuk menjalankan dialog secara otentik. Sehubungaan dengan hal ini distingsi yang dibuat oleh Pieris (1987) dapat sangat membantu. Dia membedakan pengalaman inti (core-experience), memori kolektif (collective memory) dan penafsiran (interpretation). 

Pengalaman inti suatu agama adalah pengalaman liberatif yang melahirkan agama itu dan terus-menerus ditawarkan kepada generasi-generasi selanjutnya. Pengalaman inti ini memanifestasikan diri dalam situasi sejarah, dalam kenyataan sosio-kultural yang berbeda-beda. Vitalitas suatu agama bergantung pada kapasitasnya untuk mengantar para pemeluknya dan generasi selanjutnya ke dalam pengalaman inti yang iiberatif ini. 

Mediasi untuk mengkomunikasikan pengalaman inti ini adalah memori kolektif akan pengalaman inti tersebut. Tradisi praktek hidup umat, rumusan-rumusan ajaran, simbol-simbol ibadat, semuanya menciptakan sistem komunikasi dan menjadi mediasi yang melayani para pemeluk agama untuk sampai pada pengalaman inti. Kalau simbol-simbol dan institusi-institusi suatu agama tidak mempunyai kapasitas sebagai mediasi ke arah pengalaman intinya, maka pengalaman inti yang liberatif tersebut tak akan terkomunikasikan dan lama-kelamaan agama itu akan semakin menghilang. Tidakkah demikian halnya dengan agama-agama kuno di Mesir, Roma, Yunani dan Mesopotamia? 

Termasuk bagian integral dalam sistem komunikasi dari memori kolektif itu adalah penafsiran. Agar supaya pengalaman inti diingat dan dikomunikasikan ia harus mendapatkan kerangka dalam kategori-kategori historis-kultural yang dapat menyapa, melalui simbol-simbol, ajaran-ajarannya maupun ritus ibadatnya. Demikianlah pengalaman inti dalam agama-agama sejauh ia diingat, ia juga cenderung ditafsirkan secara berbeda-beda dan karena itu lahirlah macam-macam mashab atau macam-macam aliran filsafat, tafsir dan teologi. 

Iman merupakan istilah teologis, yang berkaitan dengan apa yang oleh orang beriman disebut sebagai pengalaman inti tersebut, suatu pengalaman disentuh oleh Yang Mengatasi segalanya, Yang Menentukan, Sang Pencipta, Arah dan Tujuan hidup, Yang Ilahi atau Allah. Iman sendiri merupakan tanggapan manusia terhadap pengalaman tersebut, merupakan hubungan manusia dengan Yang Mengatasi segalanya, dengan Allah. Dalam hubungan itu manusia melibatkan diri penuh penyerahan, manusia ingin agar hidupnya mendapat arti dan diarahkan. Pengartian dan pengarahan itu menyangkut dua kekuatan yang ada dalam dunia ini, yakni kekuatan yang mengarahkan manusia kepada Allah dan kekuatan yang menjauhkan manusia dari Allah. Pemahaman mengenai iman sebagai keterlibatan yang tak dapat ditawar-tawar berhubungan erat dengan pengalaman inti iman yang liberatif. 

Sebagai gejala sosial agama adalah fenomen kemasyarakatan, yakni suatu pandangan dan pola hidup yang mengandalkan iman kepercayaan akan dimensi transenden atau suatu Wahyu khusus. Dari pendekatan dialogal tidak akan dievaluasi apakah iman-kepercayaan itu benar atau tidak. Yang ditanggapi adalah ungkapan-ungkapan agama yang bersifat duniawi atau kemasyarakatan, jadi penampilan sosial agama itu dalam situasi historis-kulturalnya. Lebih konkret, yang dapat ditanggapi adalah ekspresi agama yang tampil melalui dan dalam (a) persekutuan atau hidup menjemaat. (b) penafsiran yang mengartikan dan mengarahkan kehidupan melalui ajaran-ajarannya, dan (c) ibadat. Kecuali itu, agama juga dapat dinilai sejauh mana ketiga hal itu bersifat liberatif dalam (d) keterlibatannya di tengah-tengah dunia dan masyarakat. Dengan kata lain, melalui pendekatan dari bawah yang dapat ditanggapi adalah keseluruhan sistem komunikasi dari memori kolektif agama itu dan bukan pengalaman intinya yang melibatkan pribadi secara tidak dapat ditawar-tawar. 

Maka dari itu, agama merupakan segi dari iman. Pengalaman inti dari iman mempunyai penampilan sosial yang sekaligus merupakan institusionalisasinya. ltulah agama. Apa yang dialami dalam persekutuan, tampil dalam ajaran, dan kemudian disadari serta dirasakan lebih intensif melalui praktek ibadat. Ajaran agama bukanlah hanya teori netral, melainkan merumuskan iman dan mengarahkan perilaku orang-orang beriman. Praktek ibadat mengungkapkan dan memperkembangkan pengalaman hidup beriman. Selanjutnya, apa yang lebih disadari dan dirasakan dalam ibadat itu, mendorong orang secara individual atau komunitarian untuk melaksanakan dalam keterlibatan sehari-hari sebagai wujud konkret iman. Kalau proses atau kaitan-kaitan semacam ini tidak terjadi, maka agama itu mengalami krisis dalam kapasitasnya untuk mengkomunikasikan pengalaman inti yang liberatif, pengalaman disentuh oleh Allah yang menyelamatkan. Selanjutnya, cahaya agama itu akan memudar. 

Komunitas Pelayanan 

Semenjak Konsili Vatikan II (1962-1965) Gereja Katolik dengan jelas menolak paradigma eksklusif. Pemahaman jatidiri Gereja dengan demikian juga tidak eksklusif. Pandangan konsili Vatikan II mengenai hidup religius nonkristiani kita temukan dalam dokumen-dokumen: "Lumen gentium”, konstitusi dogmatis mengenai Gereja; dalam "Nostra aetate", deklarasi mengenai hubungan Gereja dengan agama nonkristiani; dalam ”Ad gentes", dekrit tentang kegiatan misioner Gereja; dan dalam "Gaudium et Spes", konstitusi pastoral mengenai Gereja dalam dunia modern (lih. mis. Banawiratma 1986). 

“Lumen gentium" mengulangi ajaran tradisional mengenai adanya keselamatan di luar Gereja. Dikatakan misalnya: 
Penyelenggaraan ilahi tidak menarik kembali barman yang perlu untuk keselamatan dari mereka yang bukan karena kesalahannya sendiri belum sampai mengakui Allah secara eksplisit dan bermaha menempuh jalan yang benar dengan pertolongan rahmat ilahi.(DG l6). 

Deklarasi ”Nostra aetate" mengatakan bahwa Gereja tidak menolak apa saja yang benar dan suci dalam agama-agama lain. Dengan hormat yang tulus Gereja menghargai tingkah laku dan tata cara hidup, peraturan-peraturan dan ajaran agama tersebut. Meskipun agama itu dalam banyak hal khusus berbeda dari iman dan pengajaran Gereja, namun kerap kali memantulkan cahaya Kebenaran yang menerangi sekalian orang. Yang diharapkan oleh konsili adalah:
mengusahakan dengan jujur saling pengertian dan melindungi lagi memajukan bersama-nama keadilan sosial. nilai-nilai moral serta perdamaian dan kebebasan untuk semua orang. (NA 2). 

Dekrit "Ad gentes" antara lain mengulangi pandangan ”Lumen gentium”. Dikatakan juga, bahwa rencana Allah untuk menyelamatkan semua orang tidaklah dilaksanakan hanya secara rahasia dalam batin manusia, tidak pula melulu dengan usaha-usaha termasuk usaha-usaha religius di mana mereka melalui bermacam-macam cara mencari Allah dengan berusaha menyentuh dan menemukan Dia, meski memang Dia tidak jauh dari kita masing-masing. Dekrit ”Ad Gentes" mengakui kehadiran rahmat Allah di antara bangsa-bangsa dan mengajak orang-orang Kristen untuk mengenal baik-baik tradisi-tradisi religius bangsa mereka dan dengan gembira serta hormat menemukan benih-benih Firman yang tersembunyi dalam tradisi-tradisi tersebut. 

Cara pendekatan konstitusi pastoral "Gaudium et spes“ adalah cara pendekatan dari bawah. Di situ konsili juga berbicara mengenai rencana penyelamatan Allah untuk semua orang, dan mengajak untuk dengan gembira dan hormat mengakui dan menemukan benih-benih Firman, kehadiran rahmat Allah dalam tradisi religius bangsabangsa. Kehadiran benih-benih Firman, kehadiran rahmat Allah itu, dalam “Gaudium et spes" dikatakan sebagai karya Roh Kudus. Roh Kudus hadir dan berkarya dalam orang-orang nonkristiani. dalam situasi konkret penghayatan hidup religius mereka. (GS 22). 

Roh Kudus tidak hanya berkarya dalam Gereja, melainkan juga di luar Gereja. Melalui wafat dan kebangkitan Yesus. Roh yang satu dan sama dengan Roh yang memenuhi Yesus, dianugerahkan kepada manusia. Roh itu hadir dan berkarya dalam Gereja, tetapi karya Roh ‘lebih luas’ daripada Gereja sebagai kenyataan manusiawi yang terbatas. Gereja tidak mempunyai monopoli anugerah Roh. itulah sebabnya Gereja tidak hanya dapat melainkan wajib menemukan karya Allah juga dalam komunitas-komunitas iman lain. Dasar paling dalam dari dialog iman kristiani dengan iman non-kristiani adalah karya Roh Kudus yang satu dan sama. Arah perjumpaan itu adalah menemukan dan mengikuti karya Roh Kudus tersebut. Penjumpaan demikian itu akan menjadi proses discernment, proses untuk bersama-sama mencari dan menemukan dorongan Roh, untuk mengikuti Allah dengan setia. 

Perjumpaan iman demikian akan mewujud lebih lanjut dalam mentransformasikan kehidupan menjadi lebih adil penuh kasih demi persaudaraan semua orang dalam Allah (lih. GS 92). Pengaruh Roh Kudus tidak hanya meliputi ungkapan-ungkapan religius, melainkan juga usaha-usaha dalam bermacam-macam bidang kegiatan manusia menuju persaudaraan semua orang. Banyak nilai yang diwartakan Injil diperjuangkan oleh dunia seperti keluhuran martabat manusia, persaudaraan dan kebebasan. Kerajaan Allah yang diperjuangkan Yesus Kristus adalah kerajaan kebenaran dan kehidupan, kerajaan kekudusan dan rahmat, kerajaan keadilan, cinta dan perdamaian. Kerajaan itu kini sudah hadir dalam perjuangan dan akan dipenuhi bila Dia datang dalam kemuliaan-Nya (GS 39). Usaha-usaha rasional manusia untuk menangani dunia demi kehidupan yang lebih manusiawi bagi orang beriman tak terpisah dari pengalaman inti iman. 

Sehubungan dengan visi dan orientasi hubungan antar umat beriman dari perspektif Gereja Katolik, konsili Vatikan II memang merupakan momen yang sangat penting. Selama hampir 30 tahun sesudah konsili Vatikan II itu banyak sekali pengalaman dan refleksi teologis sekitar perjumpaan iman Kristen dengan iman lain. Gereja-gereja setempat mencoba merumuskan dan menjalankan dialog dengan umat beragama dan beriman lain. Usaha Gereja-gereja Asia mengenai hal ini tampak jelas dalam dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh konferensi para Uskup se Asia (lih. FABC). 

Dialog yang jujur mengandaikan kebebasan dan kesanggupan untuk berbagi pengalaman iman. Tanpa kondisi ini dialog menjadi dangkal. Tanpa kondisi ini kesaksian akan dijalankan secara agresif atau manipulatif, didorong oleh egoisme pribadi atau kelompok dan tidak dibimbing oleh Kebenaran. 

Akhirnya, yang paling menentukan adalah kesaksian dalam tindakan. Sehubungan dengan hal ini Paus Yohanes Paulus II mengatakan:
Sekarang ini, lebih dari di masa lalu, Gereja menyadari bahwa pesan sosialnya akan memperoleh kredibilitas lebih langsung dari kesaksian tindakan daripada sebagai hasil logika dan konsistensi internalnya. Kesadaran inilah yang juga merupakan suatu sumber dari pilihannya untuk mendahulukan orang miskin, yang tidak pernah eksklusif atau membeda-bedakan kelompok-kelompok lain' (CA 57). 
Dalam ajaran-ajaran resmi Gereja Katolik dewasa ini semakin ditegaskan, bahwa pewartaan atau penghayatan Injil tidaklah utuh tanpa keterlibatan untuk menegakkan keadilan, untuk menemukan kehadiran Yesus pada orang-orang yang menjadi korban, yang menderita dan terlantar. Preferential option for the poor, pilihan mendahulukan kaum miskin merupakan wujud sosial dari penghayatan iman Gereja, penghayatan jatidiri Gereja sebagai Gereja kaum miskin, Gereja yang ingin mengikuti Yesus yang miskin. Gereja semakin menyadari jatidirinya sebagai komunitas pelayanan, pelayanan manusiawi yang utuh, menyangkut dimensi-dimensi personal-mistis maupun sosial-politis (lih. mis Tracy 1990). Pelayanan ini terlaksana melalui keseluruhan sistem komunikasi yang melekat pada memori kolektif Gereja termasuk penalisiran-penafsirannya dalam situasi historis-kultural yang konkret. 

Dalam konteks pluralisme religius dan tantangan kemiskinan jatidiri Gereja dihayati sebagai komunitas pelayanan yang bersifat dialogal dan transformatif. Transformasi yang terjadi bukanlah hanya kehidupan masyarakat, melainkan juga kehidupan beriman. menjadi lebih mendalam. Dalam kesaksian iman, di mana perjuangan untuk keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan merupakan bagi integralnya, jatidiri komunitas pelayanan dihayati. Kecuali itu, kredebilitas aka diperoleh pula. Itulah yang diharapkan.


Macam-Macam Dataran Dialog dan Transformasi

Dalam keseluruhan visi Gereja Katolik sekarang ini dialog antar agama tidak hanya bergerak dalam dataran pengetahuan mengenai agama lain, yang juga memang penting, tetapi dalam dataran pengalaman dan keterlibatan iman yang mendalam. Oleh karena itu memang tepat kalau dikatakan. bahwa melalui dialog tersebut iman berjumpa dengan iman (lih. Amaladoss l984; Banawiratma 1986). Pertemuan dalam dataran pengalaman dan keterlibatan yang mendalam itu sudah terjadi, sudah dialami, dan perlu diperkembangan tetua-menerus. 

Dialog antar agama-agama dan kepercayaan dapat diwujudkan dalam beberapa dataran yang berkaitan satu sama lain dan merupakan kesatuan gerak dialog. Secara sederhana dapat digambarkan dalam empat dataran. 

Pertama, Dialog kehidupan antar umat beriman dalam komunitas basis manusiawi (basic human community). Dialog ini terjadi dalam kehidupan bersama sehari-hari di mana orang-orang dengan iman yang berbeda-beda mengalami situasi yang sama, suka dan duka kecemasan dan pengharapan bersama. Dari situ muncullah kepedulian bersama pula. Kepedulian yang tidak mempunyai label agama, dan dapat disebut sebagai kepedulian manusiawi atau kepedulian insani. Orang-orang yang hidup berdampingan sebagai suatu komunitas menghadapi kebutuhanokebutuhan bersama. kebutuhan air bersih, perumahan yang sehat. pendidikan yang cukup. kebutuhan lapangan pekerjaan dan sebagainya. Komunitas yang sama mempunyai kepedulian bersama berhadapan dengan situasi tidak adil yang merugikan mamanya entah iman dan agamanya apa. Bersama-sama pula dirasakan perlunya memelihara dan melestarikan lingkungan hidup agar tidak dimanipulasikan oleh kepentingan-kepentingan komersial yang tidak adil, yang tidak hanya menghisap dan menerlantarkan orang-orang, tetapi juga menghancuran alam. Dialog kehidupan terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan memunculkan kepedulian manusiawi bersama. 

Kedua, Dialog komunitas basis imani (basic faith comunity). Melalui dialog dalam komunitas basis imani, apa yang tadinya dialami sebagai kepedulian manusiawi berkembang menjadi kepedulian iman. Umat beriman membutuhkan momen di mana mereka dapat menimba kekayaan tradisi imannya sendiri, di mana mereka bersama dengan saudara-saudari seiman dapat mendalami dan disegarkan oleh sumber imannya sendiri. Momen ini penting. Kalau tidak terjadi, maka sumbangan khas umat beriman kepada yang lain tidak akan terjadi secara maksimal. Apalagi. tanpa kesediaan dan usaha menggali sumber-sumber imannya sendiri melalui keseluruhan sistem komunikasi iman yang ada. sentuhan pengalaman inti akan semakin tidak dirasakan. Kalau sumber-sumber imannya sendiri tidak terus-menerus menjadi acuan, maka umat beriman kurang sanggup memo pertanggungjawabkan imannya. Penafsiran dan pemahaman manusia selalu terbatas dan membutuhkan pembaharuan dan pengembangan terus-menerus. 

Termasuk dalam pembaharuan tersebut adalah apa yang dalam tradisi umat Kristen disebut pertobatan. Pertobatan mengandung kesadaran akan dosa serta kesalahan yang sudah dibuat, sekaligus mengimani belas kasih serta pengampunan Allah yang tidak terbatas. Pertobatan menumbuhkan pengharapan baru karena kita tidak terkurung dalam masa lampau, karena masa depan terbuka. Pengalaman diampuni dan diperbaharui selayaknya menimbulkan juga kerelaan untuk mengampuni sesama. tanpa memandang iman dan agamanya apa. Bahkan dapat dikatakan, kerelaan untuk mengampuni adalah tanda kesediaan hati sendiri untuk diampuni, tanda bahwa hormat dan kasihnya kepada Allah semakin besar. Sebaliknya, tidak rela mengampuni sesama merupakan tanda bahwa diri sendiri belum siap menerima belas kasih dan pengampunan yang datang dari Allah. Pemahaman mengenai pertobatan dan pengampunan ini penting dalam gerak dialog. Siapakah yang tidak pernah mengalami kesalahan? Lebih lanjut, pertobatan atau perubahan pribadi juga berkaitan erat dengan pertobatan atau perubahan sosial (lih. dataran 4). 

Ketiga, Dialog komunitas basis antar iman (basic interfaith community). Pada dataran ini dapat dijalankan dialog macam-macam ungkapan atau hingsi keagamaan. Bersama-sama dapat dijalankan analisis mengenai situasi yang dialami bersama, dapat pula diadakan kajian teologis, baik pada taraf teologis ilmiah maupun pada taraf berbagi pengalaman yang lebih sederhana. Dapat juga dibicarakan hal-ihwal yang merupakan pertanyaan bahkan kecurigaan dari dua belah pihak (mutual question, mutual suspicion). Demikian misalnya dapat dibicarakan isyu mengenal kristenisasi, mengenai islamisasi, dapat dibahas perbedaan-perbedaan pandangan dan penafsiran mengenal situasi sosial yang ada. 

Namun lebih dari hanya dialog intelektual dan teologis, di sini umat yang beriman berbeda-beda dapat juga berbagi pengalaman iman secara lebih mendalam mendalam. Pada dataran ini satu sama lain dapat saling memperkaya penafsiran dan penghayatan iman, saling mentransfromasikan hidup berimannya. Kalau momen ini bisa terjadi, maka dialog antar umat beriman dan umat beragama akan mampu bersama-sama mencari dan menemukan kehendak Allah dalam situasi hidup nyata yang dialami dan dihadapi bersama pula. Pada dataran ini kepedulian manusiawi telah berkembang menjadi tanggungjawab iman yang diwujudkan dalam menangani masalahmasalah manusiawi. 

Keempat, Dialog aksi bersama (dialogue ln action) untuk memperjuangkan masyarakat yang lebih adil, lebih merdeka, lebih manusiawi (lih. mis. Banawiratma 1990). Pada dataran dialog aksi umat antar iman dan agama bersama-sama mentransformasikan masyarakat agar menjadi lebih adil, lebih merdeka dan manusiawi, agar keutuhan ciptaan, lingkungan hidup dilestarikan. 

Pertobatan atau perubahan pribadi, yang sudah dibicarakan pada dataran kedua, tidak hanya menyangkut pribadi saja. Dari hati yang sudah ditransformsikan akan mengalir usaha transformasi sosial. Orang tidak bisa mengatakan bahwa secara pribadi sudah bertobat, karena sudah memberikan banyak sekali sumbangan untuk rumah dan acara ibadat, kalau dalam hidup sehari-hari memeras dan menghisap. Dalam hal seperti ini sumbangan besar untuk rumah dan acara ibadat hanyalah menjadi topeng agar dapat terus mengeruk keuntungan pribadi dengan memeras dan menghisap rakyat banyak. Usaha untuk transformasi masyarakat adalah wujud sosial-politis dari pertobatan pribadi. Dosa tidak hanya berakar pada pibadi, melainkan juga sudah merasuki struktur-struktur masyarakat yang tidak adil. Semakin jaringan-jaringan hidup dalam masyarakat dirasuki oleh dosa, semakin mudah terjadi dosa pribadi dan orang semakin dipersulit untuk berbuat adil dan amal kasih. 

Tidak ada komentar: