Jumat, 16 Februari 2018

IDEA UMAT TERPILIH DALAM PERJANJIAN LAMA: POSITIF ATAU NEGATIF?

OLEH  
PROF. E.G. SINGGIH Ph.D


Pada masa kini menurut banyak orang kita tidak hanya berada dalam “zaman Oikumene”, yaitu pertemuan, pergaulan, dialog dan persatuan suatu gereja dengan gereja lain di dalam keluarga agama Kristen, tetapi juga sudah masuk ke zaman oikumenisme agama-agama. Saya tidak tahu siapa yang menciptakan istilah ini, namun maksudnya jelas: zaman ini adalah zaman pertemuan, pergaulan dan dialog suatu agama dengan agama lainnya. Saya tidak menyebut persatuan, sebab memang belum kelihatan atau memang tidak direncanakan demikian. Bahkan di kalangan mereka yang rajin berdialogpun, persatuan tidak masuk di dalam agenda. Pokok terakhir ini sering dianggap justru menghalangi dialog. Jadi agendanya agak lain dari apa yang kita lihat pada gereja-gereja. Di situ dialog diadakan dalam rangka persatuan, atau kalau mau memakai istilah yang khas dari kalangan oikumenis, “keesaan gereja” (saya berbicara mengenai keadaan yang ideal, sebab dalam kenyataan yang agak sempit seperti di Indonesia, bukannya persatuan yang terjadi melainkan kebalikannya. Sejak PGI didirikan pada tahun 1948, belum pernah terjadi dua gereja yang merencanakan bergabung menjadi satu. Yang terjadi adalah gereja yang pecah-pecah menjadi gereja-gereja baru, yang nantinya juga dapat menjadi anggota PGI...).

Dalam kerangka pemikiran baru ini idea umat terpilih (The Chosen People) dianggap menghalangi proses oikumenisme agama-agama. Kalau agama itu universal, seharusnya tidak boleh ada idea mengenai keterpilihan yang justru menunjukkan lawan dari universalitas, yaitu partikularitas. Oleh karena keduanya merupakan antitesa, maka yang terakhir ini harus disingkirkan sebagai sisa-sisa dari keterbelakangan suatu agama. Dalam hal ini orang menganggap bahwa agama berkembang dari suatu wujud yang mula-mula sangat partikular namun kemudian menjadi universal. Penekanan pada partikularitas dalam sejarah dunia selalu menyebabkan hal-hal yang menyedihkan seperti perang, penganiayaan dan peremehan bagi mereka yang beragama lain. Karena menekankan pada keterpilihan, agama yang bertekad untuk menyebarkan perdamaian malah berbuat sebaliknya, menyebarkan kebencian dan permusuhan oleh karena itu menurut pemikiran ini kita perlu belajar dari sejarah dunia. Kalau mau memutuskan mata rantai permusuhan antar agama ini, mari bersama-sama menjadi universal dengan jalan menyingkirkan segala sesuatu yang menekankan pada keterpilihan kita.

Idea umat terpilih mencakup perasaan eksklusif dalam segala bentuknya. Siapa yang dipilih Tuhan tentu dipilih karena ia lebih dari yang lain, ia memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh yang lain. “Sesuatu” ini tidak perlu sangat jelas bagi penganut-penganutnya. Cukup dirumuskan dalam kalimat-kalimat tertentu yang otomatis dianggap menyatakan yang sebenarnya. Dalam pola pemikiran umat terpilih yang eksklusif, apa yang normatif identik dengan apa yang objektif. “Kita harus menjadi orang baik” identik dengan “Kita adalah orang baik”. Wujud dari “sesuatu” ini bisa berupa pengalaman masa lalu yang menyedihkan, tetapi bisa juga situasi masa kini yang menyenangkan. Perasaan “lebih” ini dipupuk dengan menumbuhkan prasangka-prasangka terhadap yang lain. Prasangka-prasangka ini pada gilirannya kembali memupuk perasaan “lebih” terhadap yang lain. Jadi seperti sebuah lingkaran setan.

Barangkali masih banyak dari segi-segi pandangan negatif terhadap idea ini yang dapat dikemukakan, tapi sebegitu jauh kiranya apa yang dikemukakan dapat memberi gambaran kepada kita mengenai pandangan ini. Dalam banyak hal apa yang dikemukakan di atas memang benar. Sebagai contoh kita dapat mengambil pengalaman orang-orang Boer di Afrika Selatan. Mereka adalah keturunan imigran-imigran Belanda dari aliran Kristen “Gereformeerd” (bagian dari gereja aliran Calvinis di Belanda yang pada paruhan kedua abad 19 memisahkan diri dari aliran Calvinis yang umum, yaitu yang “Hervormd”) yang mulai berdatangan di semenanjung selatan benua tersebut menjelang abad ke 20. Aliran Gereformeerd sendiri sudah mengandung idea umat terpilih yang sangat kuat. Ditambah dengan situasi mereka menghadapi bangsa-bangsa asli dan akhirnya kekalahan pahit melawan bangsa lnggeris yang juga menginginkan semenanjung-Afrika Selatan yang kaya mineral itu dalam perang Boer, akhirnya muncullah idea orang kulit putih Boer sebagai umat kesayangan Tuhan yang harus hidup terpisah dari mereka yang kulitnya berwarna lain, yang disebut apartheid. Contoh kedua adalah israel modern yang dimulai dengan gerakan Zionisme (dari kata “Zion”, kota Yerusalem dan kompleks Bait Suci yang menjadi kediaman Allah dari umat yang beribadat kepadaNya). Terutama sejak perang dunia yang sangat getir dampaknya terhadap orang-orang Yahudi (sekitar 6 juta jiwa mati terbunuh) menyebabkan orang-orang Yahudi mencoba dengan segala macam cara untuk menduduki kembali daerah pesisir Palestina yang sebagian besar sudah lama ditinggalkan dan sudah berabad-abad didiami oleh orang-orang Arab. Kemenangan demi kemenangan yang diperoleh menyebabkan Israel sekarang sulit menerima adanya kenyataan yang bernama Palestina. Andaikata kenyataan itu diterima, juga masih sulit untuk membayangkan bahwa Palestina itu suatu bangsa, sama seperti mereka. Idea umat yang terpilih kembali menjadi faktor yang sangat dominan dalam meninjau hambatan usaha-usaha perdamaian di Timur Tengah. Lagu “Exodus” dengan kata-kata permulaannya, “This land ir mine, God gave this land to me” nampaknya mewakili sikap Israel dewasa ini.

Tetapi apakah idea umat terpilih harus disingkirkan? Saya masih melihat adanya segi positif dari idea ini, di samping memang segi-segi negatif di atas. Saya akan mencoba menguraikannya dengan melihat bagaimana idea umat terpilih itu digambarkan di dalam kitab suci Perjanjian Lama (selanjutnya disingkat "PB). Itulah yang menjadi sorotan utama saya. Kemudian sepintas lalu saya akan memeriksa bagaimana idea itu dipahami di dalam Perjanjian Baru (selanjutnya disingkat "PB") dan kemudian juga sepintas lalu bagaimana Yohanes Calvin sebagai cikal-bakal tradisi Calvinisme menggunakan idea ini di dalam pemikiran teologisnya. Idealnya apa yang terdapat dalam PB dan Calvinisme juga diuraikan secara memadai, namun hal itu tidak mungkin saya lakukan dalam tulisan yang terbatas ini. Pada akhirnya saya akan menyarankan agar idea umat terpilih diteruskan, namun dengan memegang segi-segi positifnya dan membuang segi-segi negatifnya. Sebelum itu ada beberapa catatan yang perlu dirampungkan dalam kerangka paragraf ini.

Catatan pertama, pemahaman bahwa perkembangan karakter suatu agama dari tahap partikular ke tahap universal bukan diambil dari kenyataan yang ada. Banyak aliran religius yang justru berkembang terbalik, memulai dengan warna universal yang kuat tetapi kemudian digantikan dengan warna partikular. Contohnya agama Israel kuno seperti yang kita lihat di dalam Perjanjian Lama. Dulu orang biasanya menganggap bahwa agama Israel yang partikularistik itu memperoleh warna universalnya dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain di dalam masa pembuangan di Babel pada abad ke 6 S.M. Namun sekarang kebanyakan menyadari bahwa Israel kuno baru menekankan pada keunikan dan keterpilihannya pada masa pembuangan dan terlebih-lebih lagi, sesudah masa tersebut. Perkembangan agama ke arah partikular atau universal nampaknya tidak bisa ditentukan secara evolusionistik, melainkan terjadi menurut berbagai macam dinamika dan pasang-surut.

Catatan kedua, idea umat terpilih biasanya diasosiasikan dengan kelompok-kelompok minoritas. Dalam rangka mengatasi perasaan “minder” karena menghadapi kenyataan keberadaannya sebagai minoritas, kelompok-kelompok ini biasanya memperkembangkan idea umat terpilih. Hal ini nampak dalam kalangan-kalangan fundamentalis yang biasanya merupakan golongan minoritas dalam agama-agama besar. Tetapi, bisa juga terdapat dalam agama minoritas yang hidup di dalam lautan agama mayoritas. Banyak dari antara umat Kristen di Indonesia berpegang pada idea umat terpilih, supaya tidak merasa tenggelam dalam lautan mayoritas umat Islam. Meskipun demikian asosiasi ini tidak seluruhnya benar. Idea umat terpilih juga dapat berada pada agama-agama mayoritas. Bahkan kenyataannya agama mayoritas di dunia ini seperti misalnya agama Kristiani (Katolik dan Protestan) sangat menekankan pada warna partikularitasnya.

Catatan ketiga, yang berhubungan dengan catatan kedua di atas. Apabila suatu agama mayoritas menekankan pada partikularitasnya, maka justru karena jumlahnya yang banyak, partikularitas ini keliru dilihat sebagai universalitas. Klaim bahwa suatu agama bersifat universal tidak dilakukan berdasarkan definisi "universal" sebagai apa yang ada pada semua, melainkan apa yang seharusnya ada atau sebaiknya diterima oleh yang lain. Jadi apabila dalam suasana oikumenisme agama-agama orang menekankan pada universalisme sebagai sesuatu yang mempersatukan tanpa kesediaan untuk memeriksa kembali apa yang dimaksudkan dengan universalisme tersebut, saya kuatir kita menghadapi jalan buntu. Bukannya bahwa universalisme dalam arti kedua ini pada dirinya sendiri keliru. Semua agama dewasa ini perlu merenungkan mengenai apa yang dapat diterimanya sebagai sumbangan yang berharga dari agama lain, sehingga ia dapat lebih menuju ke universalisme dalam arti pertama. Tetapi untuk itu semua agama perlu terbuka dan tidak lagi berasumsi bahwa segala sesuatu sudah ada padanya. Tetapi pertanyaannya : apakah agama-agama mau berasumsi demikian?

Pembahasan beberapa teks PL dalam kerangka konteksnya
Pemahaman keterpilihan Israel terpancang cukup sentral di dalam Perjanjian Lama secara keseluruhan. Kita tidak mungkin dapat memeriksa semua. Dengan sedapat mungkin menghindari resiko bahwa pembaca akan bosan mengikuti suatu uraian tafsir, saya akan memulai dari kitab Ulangan, yang konteks pengisahannya adalah pidato Musa kepada umat menjelang mereka masuk ke Kanaan sebagai tanah perjanjian. Konteks historisnya adalah penggambaran ideal mazhab Ulangan mengenai bagaimana umat Israel harus hidup pada masa krisis sebelum pembuangan, jauh sesudah umat berada di tanah perjanjian. Editor kitab Ulangan masih menambahkan lagi banyak anjuran-anjuran yang hanya dapat dimengerti kalau anjuran-anjuran tersebut dilihat sebagai berasal dari zaman pasca pembuangan. Kitab Ulangan dapat dikatakan mewakili pandangan terhadap israel sebagai umat kesayangan Tuhan.

“Sebab engkaulah umat yang kudus bagi TUHAN. Allahmu; engkaulah yang dipilih oleh TUHAN, Allahmu, dari segala bangsa di atas muka bumi untuk menjadi umat kesayanganNya” (Ul 729)

Dalam teks ini jelas bahwa umat Israel dipilih Tuhan dari antara bangsa-bangsa lain. Ada umat yang dipilih, dengan sendirinya ada juga yang tidak dipilih. Konteksnya adalah bagaimana harus bersikap terhadap orang lain. Bangsa-bangsa lain yang ada di tanah perjanjian harus ditumpas dan tidak boleh dikasihani (7:2). Tidak boleh ada kontak dengan mereka, terutama dalam kontak yang paling intim yaitu perkawinan, sebab perkawinan campuran hanya akan mengakibatkan penyelewengan sehingga akibat penyelewengan ini Tuhan pasti akan memunahkan Israel dengan segera (7:4). Ibadat bangsa-bangsa lain tidak ada nilainya sama sekali, semua yang berhubungan dengan itu harus dibakar habis (7:6). Dari mana penulis tahu bahwa Tuhan akan memunahkan Israel? Tentu dengan bertitik-tolak dari pengalaman pahit berupa pengepungan dan perebutan Yerusalem, pembakaran Bait Suci yang dianggap sebagai pelindung bahaya dari pembuangan ke Babel pada 587/6 S.M. Pesan ini diharapkan masuk ke telinga para pendengar pada zaman pasca pembuangan dengan meminjam pidato Musa, pendahulu dan satu-satunya pemimpin menurut kitab Ulangan. Mereka adalah umat kudus yang dipilih Tuhan, yang lain tidak. Mereka harus menjaga keterpilihan mereka dengan bersikap intoleran terhadap yang lain. Itulah jalan satu-satunya supaya tidak mengulangi lagi kesalahan dibuang untuk kedua kalinya. Dalam kitab Ulangan kita menjumpai instruksi-instruksi agar umat Israel hidup berdasarkan tatanan moral yang mulia. Oleh karena itu kita tidak dapat mengatakan bahwa bangsa-bangsa lain dipersalahkan sebagai gara-gara sehingga umat Israel dapat dikalahkan dan dibuang ke Babel. Pembuangan diakui sebagai akibat dosa Israel terhadap Tuhan. Namun khususnya dalam Fasal 7 dari kitab Ulangan nada mempersalahkan orang lain itu cukup kuat.

Dalam Ul 14:2 yang mengandung konsep umat sebagai “milik Tuhan” (tidak jelas dalam terjemahan TB-LAI) perumusan di atas diulangi lagi dalam konteks binatang mana yang boleh dimakan dan binatang mana yang tidak boleh dimakan. Dalam 14:21 yang tidak boleh dimakan dapat diberikan kepada “pendatang yang di dalam tempatmu untuk dimakan, atau boleh kaujual kepada orang asing; sebab engkaulah umat yang kudus bagi TUHAN, Allahmu”. Dalam kitab lain yang bersama-sama kitab Ulangan merupakan bagian dari Taurat, yaitu Imamat 20:24-26 pembedaan mengenai binatang ini langsung bersangkut-paut dengan pembedaan Israel dari bangsa-bangsa lain. Pembedaan ini digambarkan sebagai sesuatu yang "alamiah" dengan jalan menyisipkan perintah membedakan binatang haram dan binatang halal (ayat 25) di antara ayat 24 dan ayat 26. Sama seperti di dunia ada binatang halal dan binatang haram, begitu pula ada “bangsa halal” (yaitu Israel) dan “bangsa haram” (yaitu orang-orang bukan Israel).

Di pihak lain ada keterangan-keterangan bahwa keterpilihan Israel bukanlah sesuatu yang alamiah, melainkan sesuatu yang baru dapat kelihatan dalam sikap hidup yang benar. Dengan kata lain, status keterpilihan namun dengan syarat. Contohnya dapat kita lihat dalam kitab Keluaran yang juga adalah bagian Taurat :

“Kamu sendiri telah melihat apa yang Kulakukan kepada orang Mesir, dan bagaimana Aku telah mendukung kamu di atas sayap rajawali dan membawa kamu kepadaKu. Jadi sekarang. jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan l'irmanKu dan berpegang pada perjanjianKu, maka kamu akan menjadi hana kesayanganKu sendiri dari antara segala bangsa. sebab Akulah yang empunya seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagiKu kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah firman yang harus kau katakan kepada orang Israel” (Kel 19:4-6)

Ayat-ayat di atas juga merupakan refleksi terakhir dari editor Taurat yang menekankan pada “jika”. Israel disebut “harta/milik kesayangan”, justru karena Tuhan memiliki seluruh bumi. Harta kesayangan ini direbut dari tangan Mesir.

Di dalam kitab Ulangan bukan hanya sikap intoleran yang kita jumpai, melainkan juga sikap eksklusif. Sebagai bangsa yang kudus umat harus mejaga diri dari perkawinan campuran, tetapi juga dari macam-macam orang yang dianggap tidak layak. Dalam Ul 23:3/4 orang Amon dan Moab tidak boleh menjadi anggota jemaah, karena di masa lampau tidak menolong bangsa Israel ketika mengalami kesulitan. Kalimat ”Bahkan keturunannya yang ke sepuluhpun tidak boleh masuk jemaah TUHAN sampai selama-lamanya” tidak dapat ditafsirkan bahwa sesudah keturunan ke sepuluh sih boleh-boleh saja. Tekanannya adalah pada “sampai selama-lamanya”. Moab dan Amon adalah tetangga-tetangga Israel. Tetapi tetangga-tetangga lain misalnya Edom dan Mesir boleh diperlakukan baik-baik. Edom karena masih saudara, sedangkan Mesir karena dulu menerima Israel menumpang. Setelah generasi ketiga, keturunan mereka boleh diterima sebagai warga jemaat. Satu generasi bagi orang Israel berkisar sekitar 40 tahun, jadi untuk bisa menjadi warga maka orang-orang ini harus menunggu sampai 3 x 40 = 120 tahun. Bukan hanya sekedar orang asing saja yang harus ditolak sebagai warga jemaat. Orang yang kebiri juga ditolak. “Orang yang hancur buah pelirnya dan yang terpotong kemaluannya, janganlah masuk jemaah TUHAN” (Ul 23:1). Kurang jelas apa yang mendasari penolakan ini. Mungkin karena kaum kebiri dianggap mewakili kekacau-balauan (khaos) dan ketidak-tertiban oleh karena tidak dapat digolongkan dengan persis ke pihak laki-laki atau pihak perempuan. Bisa juga karena sikap dan tingkah-laku orang kebiri, yang seringkali menampilkan perasaan dendam kesumat terhadap mereka yang masih ”utuh“. Atau karena berbeda dengan umat yang lain, terhadap orang kebiri tidak dapat dilakukan tanda penyunatan yang menjadi simbol keanggotaan sebagai warga israel. Yang paling mungkin adalah melihat orang kebirl sebagai mereka yang tidak dapat memberi keturunan, padahal di israel kuno dan sekitarnya tidak ada keturunan merupakan aib yang sangat besar. Keturunan merupakan tanda yang langsung dari adanya berkat Tuhan, ketiadaan keturunan menjadi tanda yang langsung bahwa berkat Tuhan tidak singgah atau lewat.

Tetapi di samping teks Ulangan yang mewakili pandangan triumfalis, eksklusif dan intoleran ini, ada juga pandangan-pandangan yang bertentangan dengan sikap-sikap ini. Di dalam kitab Ulangan sendiri ada usaha untuk menunjukkan bahwa keterpilihan Israel bukanlah disebabkan karena kehebatan yang ada pada Israel an sich. “Jadi ketahuilah bahwa bukan karena jasa-jasamu, TUHAN, Allahmu, memberikan kepadamu negeri yang baik itu untuk diduduki. Sesungguhnya engkau bangsa yang tegar tengkuk!” (Ul 9:6). “Bukan karena lebih banyak jumlahmu dari bangsa manapun juga, maka hati TUHAN terpikat olehmu dan memilih kamu bukankah kamu ini yang paling kecil dari segala bangsa? tetapi karena Tuhan mengasihi kamu...” (Ul 7:7-8). Bukan kebesaran Israel yang menyebabkan mereka dipilih Tuhan. Kata kunci yang dipakai di sini, ahebh, berasaI dari perbendaharaan kata-kata cinta, baik itu berupa cinta kasih antara orang tua dan anak maupun antara sepasang kekasih. Rasa tertarik yang diperlihatkan Tuhan itu, tidak mempunyai alasan yang logis melainkan justru rasa cinta itulah yang menjadi alasan untuk tindakan penyelamatan Tuhan terhadap Israel (IJ. Cairns). Dalam paragraf di atas kita telah melihat bahwa apa saja bisa menjadi alasan untuk menganggap diri sebagai umat terpilih yang lebih daripada yang lain. Maka penonjolan kekecilan dan merasa dicintai inipun sebenarnya secara formal tidak membuat pemahaman diri israel ini lain dari apa yang umumnya kita pahami. Namun demikian harus diakui bahwa menunjuk pada kekecilan dan perasaan dicintai sebagai alasan masih jauh lebih baik daripada membayang-bayangkan kehebatan dan kebesaran. Dari konsep mengenai kekecilan dan merasa dicintai ini orang bisa memperkembangkan suatu pemahaman mengenai minoritas yang rendah hati dan terbuka. Tetapi masalahnya ide ini berada bersama-sama idea lain yang berlawanan nada dan semangatnya, namun dominan di dalam kitab Ulangan. Itulah paradoks yang sering muncul setiap kali hubungan israel dan dunia dibicarakan di dalam PL. Dalam kutipan Kel 19:4-6 di atas kita kembali melihat paradoks antara Israel sebagai “harta milik kesayangan” dan Tuhan sebagai yang empunya seluruh bumi. Dalam bahasa Ibrani bumi adalah ha'arets. Tetapi bisa juga diterjemahkan "tanah“ atau “negeri", Kalau kita ikuti kemungkinan yang kedua ini maka paradoks di atas akan lenyap. Tuhan memiliki tanah/negeri Israel, karena itulah maka Israel menjadi harta kesayangannya. Namun saya tetap setuju dengan terjemahan pertama sebagai “bumi”. Tuhan memiliki bumi, itu berarti Ia mempunyai milik-milik berupa bangsa-bangsa,  namun dari antara mereka semua yang paling disayangi adalah Israel. Kalau kita memahami statement ini dalam rangka bahasa cinta, maka ungkapan subjektif ini dapat dimengerti tanpa terlalu banyak kesulitan. Semua orang yang jatuh cinta merasa bahwa ia paling dikasihi dibandingkan dengan yang lain. Tetapi itulah resikonya menggunakan metafor hubungan dan perasaan cinta dalam menggambarkan apa yang terjadi antara Man dan umatNya. Cinta memerlukan Eksklusifitas sampai batas tertentu. Eksklusifitas ini kalau tidak diwaspadai memang bisa menuju pada eksklusifisme yang menolak eksistensi yang lain!

Teka-teks mengenal Hamba Tuhan yang menderita
Teks-teks yang berbeda nada dan semangatnya dengan suasana dominan di dalam kitab Ulangan dapat kita jumpai di dalam kitab Yesaya, terutama dalam bagian-bagian yang berasal dari kurun Waktu pembuangan dan pasca pembuangan. Dalam Yes 42:1-4(5-9); 49:1-6(7); 50:4-ll dan 52:13 -53:12 terdapat apa yang oleh para pakar tafsir disebut sebagai “syair-syair Hamba Tuhan” (ebed Yahweh). Di dalam buku-buku tafsir ada masalah mengenai identitas si Hamba ini, apakah harus dilihat secara individual atau kolektif. Juga tidak ada kesepakatan apakah keempat syair ini bernada triumfal ataukah bernada melayani. Di sini bukan tempatnya menguraikan masalah-masalah tersebut. Pada pokoknya dalam keempat syair ini direfleksikan bagaimana Israel harus memandang penderitaan masa lalunya berupa kehinaan pembuangan yang telah memalukan mereka, bagaimana mereka harus bersikap sekarang dan bagaimana Israel di masa depan sesudah pembuangan berakhir dapat menjadi model bagi bangsa-bangsa, bagaimana harus hidup. Model ini bukanlah model yang triumfalistik, eksklusif ataupun intoleran, melainkan model yang rendah hati, inklusif dan toleran. Biasanya seorang tokoh tertentu disebut sebagai Hamba, yang paling sering adalah Musa sebagai Hamba par excellence. Namun di sini Israel secara keseluruhan sebagai umat disebut Hamba. Tekanan tidak lagi pada umat kesayangan, sebab pembuangan telah diinterpretasikan sebagai hukuman yang layak bagi umat yang telah berdosa, tidak bisa mempertanggung-jawabkan keberadaan mereka sebagai umat terpilih. Penulis syair-syair di atas rupanya sadar bahwa di masa lalu rupanya orang terlalu menekankan pada status sebagai kesayangan, sebagai “anak mas”, sehingga lupa pada kewajiban yang menyertai keterpilihan Israel. Sebagai Hamba Tuhan Israel masih tetap pilihan Allah. “Lihat, itu hambaKu yang Kupegang, orang pilihanKu, yang kepadanya Aku berkenan" (syair I, Yes 4211, band. Yes 45:4, yang mengungkapkan bahwa maharaja Koresy (Cyrus) dari Persia yang termasyhur itu akan mengalahkan Babel dalam rangka kepentingan “hambaKu Yakub dan Israel, pilihanKu”). Namun keterpilihan ini tidak mengandung penolakan terhadap eksistensi yang lain. Cara hidup Israel tidak digambarkan secara agresif melainkan secara pastoral. “Ia tidak akan berteriak atau menyaringkan suaranya, Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskannya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkannya" (Yes 42:2-3). Sungguh suatu penggambaran yang menyegarkan dan menyehatkan! Si Hamba mengambil sikap yang rendah hati dan lowprofile. Tidak bersikap seperti guru, melainkan seperti seorang murid yang mendengarkan (syair III, Yes 50:4) dan ia tidak jijik dan tidak menghindari penderitaan kalau memang itu merupakan resiko (Yes 50:6). Dalam/syair terakhir (Yes 52:13 53:12) yang sangat padat makna dan karena itu juga bersifat multi-interpretable, penderitaan Israel dilihat sebagai sesuatu yang bermakna, bukan hanya bagi Israel sendiri tetapi juga bagi yang lain. Israel tidak dilihat sebagai model yang penampilannya menarik dan mengagumkan, melainkan model yang sebetulnya menimbulkan pertanyaan apakah pantas ditampilkan sebagai model.

"… Ia tidak tampan dan semaraknyapun tidak ada;
mana mau kita memandang dia?
Rupanya pun tidak menyebabkan kita menginginkannya!
la dibina dan dihindari orang,
seorang yang penuh kesengsaraan
dan yang biasa menderita kesakitan;
Ia sangat dihina, sehingga orang menutup
mukanya terhadap dia
dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan"
(Yes 53:2.3)

Penggambaran ini begitu mengerikan sehingga seorang penafsir pernah berpendapat bahwa di sini digambarkan seorang tokoh individual yang sedang diserang penyakit kusta. Tetapi saya melihat di sini metafor dari Israel dalam pembuangan yang menderita malu yang amat sangat. "Kita” dalam syair di atas adalah dunia (bangsa-bangsa) yang menyaksikan penderitaan Israel. Meskipun mengalami malu yang amat sangat, penderitaan ini bukanlah traumatis, yang menyebabkan Israel nantinya membangun konsep umat terpilih yang triumfalis, eksklusif dan Intoleran sebagai kompensasi atas penderitaan masa lalu dan tidak mau menderita lagi atas alasan apapun (sehingga daripada menderita lebih baik menderitakan orang lain), melainkan penderitaan dilihat sebagai penebusan bagi dunia ini. Israel menderita untuk dunia, dalam rangka melayani dunia. Itulah sebabnya mengapa Israel dipilih oleh Tuhan. “Election, not for honour buffer service” (H.H. Rowley). Penderitaan yang dijalani untuk orang lain ini digambarkan dalam syair IV sebagai suatu kesadaran yang timbul dalam hati bangsa-bangsa, bukan sesuatu yang dikhotbahkan kepada mereka :

“Tetapi sesungguhnya penyakit kitalah 
yang ditanggungnya,
dan kesengsaraan kita yang dipikulnya,
padahal kita mengira dia kena tulah, 
dipukul dan ditindas Allah. 
Tetapi dia tertikam oleh karena 
pemberontakan kita, 
diremukkan oleh karena kejahatan kita;
ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.” 
(Yos 53:5)

Dengan melihat dan merenungkan penderitaan Israel, bangsa-bangsa lain dapat belajar untuk menerima kenyataan penderitaan yang mereka sendiri alami, namun sekaligus mengatasi penderitaan mereka sendiri. Israel dulu menderita, sekarang ia memandang ke depan ke tugasnya sebagai model, dan karena itu meskipun sekarang ia masih menderita, ia dapat menaruh harapan dalam hidupnya, dan harapan itulah yang akan membawanya menuju pada masa depan. Seperti kata Erich Fromm, permulaan pembebasan adalah keberanian untuk menerima kenyataan penderitaan yang sedang atau pernah dialami, dan dari situ bangkit untuk mengatasi penderitaan! Sayang seribu kali sayang model umat sebagai Hamba yang melayani (ministry of the Servant) tidak diteruskan oleh generasi-generasi berikut yang telah berada kembali di Palestina pada periode pasca-pembuangan. Umat tetap tertutup, secara legalistik menerapkan hukum-hukum Taurat sampai detail yang sekecil-kecilnya (dapat dibaca dalam kitab Ezra) dan daripada membangun komunikasi dengan dunia di sekitarnya malah tembok Yerusalem dibangun kembali sebagai pekerjaan pertama yang harus dilaksanakan ketika telah pulang ke tanah perjanjian (dapat dibaca dalam kitab Nehemia). Perayaan hari Sabat, yang semestinya kalau dilihat dalam kisah Penciptaan dalam Kejadian fasal 1 merupakan perayaan yang bersifat universal, berubah menjadi suatu simbol untuk justru mempertajam perbedaan dengan yang lain dalam rangka prinsip habhdalah (keterpisahan). Ada suara-suara yang menentang arus ini dalam masa konsolidasi pasca-pembuangan. Orang asing dan orang kebiri (yang entah bagaimana bisa berada di Palestina pada waktu itu) yang mulai takut bahwa dalam masyarakat pasca-pembuangan mereka akan disingkirkan menjadi warga kelas dua atau bahkan kelas tiga, “dihibur dengan menekankan bahwa mereka tetap merupakan bagian umat “ (Yes 56:1-8). Kita bahkan dapat mengatakan bahwa hiburan ini sekaligus merupakan PROTES KERAS terhadap Ulangan fasal 23 di atas yang melarang orang asing dan orang kebiri masuk jemaah Allah. Protes semacam ini dapat juga dilihat pada kitab-kitab lain. Kitab Rut menceritakan mengenai seorang perempuan asing (Moab, yang dalam Ulangan harus antri 120 tahun baru bisa menjadi anggota jemaah; dan harap diperhatikan bahwa di sini dikemukakan seorang perempuan, 'yang di israel kuno dan di sekitarnya tidak masuk hitungan) yang memegang peranan menentukan dalam sejarah Israel. Tanpa dia raja Daud dan keturunan Mesianis tidak akan lahir. Kitab Yunus juga menghantam pemikiran eksklusif yang dominan. Tuhan di dalam kasih sayangnya dapat menaruh belas kasihan pada Niniweh, kota metropolitan yang maksiat itu, markas besar musuh bebuyutan Israel (yaitu Assyria), yang karena dosa-dosanya pantas untuk dipunahkan. Tokoh dalam cerita ini digambarkan sebagai seorang nabi yang marah karena Tuhan berbelas-kasihan. Kemarahan nabi ini dapat dikatakan mewakili semua orang yang marah karena akhirnya menyadari bahwa Tuhan ternyata tidak fanatik seperti yang dibayangkan sebelumnya!

Meskipun protes-protes ini cukup gencar, arus yang dominan tidak bergeming. Apakah dengan demikian protes-protes ini gagal? Menurut saya tidak. Paling tidak protes-protes ini telah menyebabkan timbulnya paradoks yang telah dikatakan di atas, dan dari paradoks ini kita secara kreatif dapat memikirkan alternatif dari apa yang tadinya diperkirakan tidak mungkin berubah.

Meneruskan tradisi umat yang dipilih untuk melayani
Sejauh ini saya kira jelaslah bahwa ada 2 arus pemikiran di Israel kuno sebagaimana kita lihat di dalam PL. Yang satu sifatnya negatif sedangkan yang satunya lagi positif. Ada kecenderungan kuat untuk mengikuti yang negatif, barangkali karena itulah yang dibayangkan paling mudah untuk dilakukan dalam jangka pendek, tetapi sebenarnya berakibat fatal dalam jangka panjang. Ketertutupan Israel mengakibatkan kehancurannya pada tahun 70 M, yang jauh lebih hebat dari kehancuran yang pertama di tahun 587/6 S.M. Berabad-abad lamanya Israel lenyap dari panggung sejarah dunia dan umat Yahudi yang merupakan penerus Israel hidup dalam ghetto-ghetto yang suram di luar arus kehidupan dunia. Tempatnya digantikan oleh agama Kristen, yang dari minoritas rendah hati tahu-tahu sudah menjelma menjadi mayoritas yang agresif. Tidak ada kesempatan dalam tulisan ini untuk membahas perkembangan kemudian dari kedua idea ini di dalam agama Kristen dan Calvinisme. Tetapi selayang pandang saya menggambarkannya demikian : di dalam injil-Injil Yesus diyakini sebagai Hamba Tuhan yang telah menggenapi apa yang diungkapkan dalam syair-syair Hamba Tuhan di atas. Yesus sebagai ”Anak-Manusia" (apapun artinya) datang untuk melayani dan bukan untuk dilayani, dan sama seperti Hamba Tuhan dalam syair IV ia menyerahkan nyawaNya untuk menebus banyak orang (Markus 10:45). Di dalam Injil Matius ada pemahaman mengenai kelompok orang-orang yang berkumpul berdasarkan iman kepada Yesus. Di dalam Mat 16:18 dan 18:17 dipergunakan kata ekklesia. Yang pertama dalam konteks tanggapan Yesus terhadap Pe-trus yang mengakui Dia sebagai Mesias, Anak Allah yang hidup. Jadi Petrus akan menjadi fondasi di mana Yesus akan mendirikan ekklesia-Nya, gereja atau jemaatNya. Sedangkan yang kedua dalam konteks pertengkaran di dalam jemaat. Ekklesia di dalam PB menjadi ungkapan dominan mengenai kelompok yang merasa menjadi umat khusus karena dipanggil oleh Tuhan, padahal sebenarnya istilah ini istilah umum yang dapat dipakai juga secara sekular misalnya untuk majelis kota ataupun sebuah klub olahraga. Kemudian dalam Mat 22:14 ,dan 24:22, 24 dan 31 muncul istilah eklektos, “orang pilihan”. Berarti mereka merasa dipanggil karena dipilih oleh “Anak-Manusia”. Tetapi keterpilihan ini tidak dapat diartikan triumfalistik, eksklusifistik ataupun intoleran seperti yang kita lihat pada kitab Ulangan di atas. Keberadaan ekklesia dan eklektos harus dihubungkan dengan konteks penguraian Injil Matius yang menyinggung mengenai Khotbah di Bukit (fasa! 5-7), Ringkasan Taurat mengenai mengasihi Tuhan dan sesama (Mat 22:37-40) dan menolong mereka yang paling hina sebagai wujud pelayanan/ibadah kepada Yesus sendiri (Mat 25:31-46). Apa yang kita lihat pada kitab Yesaya di atas kembali muncul di sini. Orang dipilih supaya melayani, bukan supaya dihormati.

Tetapi dalam tahap selanjutnya paradoks di atas juga kembali muncul. Idea mengenai umat kudus di dalam kitab Ulangan mendapat tempat dalam merumuskan keberadaan murid-murid Tuhan, yang tadinya justru dikumpulkan supaya ke luar dari umat yang lama dengan sistem-sistemnya yang dianggap sudah tidak relevan. “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani (kerajaan imam), bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terangNya yang ajaib” (I Petrus 2:9). Dan dalam kitab Wahyu, umat yang menderita penganiayaan dan mati sahid di masa pemerintahan kaisar Diocletianus dari imperium Romawi akan dibangkitkan lagi dan dapat melihat kesahidan mereka sebagai tanda keterpilihan mereka. Dunia telah menolak mereka dan karena itu maka Yesus yang digambarkan sebagai anak domba Allah dalam Injil-Injil, yang menurut saja ketika dibawa ke pembantaian, kali ini akan membalaskan kematian orang-orang pilihanNya (“The wrath of the Lamb”). Dari kelompok terpilih yang melayani dunia, pemahamannya berubah menjadi kelompok terpilih yang menghakimi dunia. Dan karena menghakimi dunia, pelayanannya bukan lagi terhadap dunia melainkan terhadap Yesus saja, padahal ini jelas bukan yang dikehendaki oleh Yesus di dalam Markus 10:45! Maka benar pendapat banyak teolog dewasa ini, terutama di dunia ketiga, bahwa kita harus membuat pembedaan antara gereja dan kerajaan Allah. Gereja memang termasuk ke dalam kerajaan Allah, namun kerajaan Allah masih lebih luas daripada gereja. Dalam Injil-Injil Yesus, memberitakan kerajaan Allah, dalam surat-surat gereja perdana sebagai umat terpilih memberitakan Yesus. Kita sekarang tidak dapat berbuat lain daripada memberitakan Yesus dan kerajaan Allah. Tidak mungkin Yesus tanpa kerajaan Allah namun tidak mungkin kerajaan Allah tanpa Yesus (seperti mau dicoba oleh beberapa orang). Yesus menjadi kriterion bagi kita untuk membedakan umat terpilih dari dunia. Tetapi Yesus yang memisahkan adalah Yesus yang sekaligus mempersatukan. Ia kepala jemaah sekaligus kepala segala sesuatu (alam semesta) (surat Efesus 1:23). Dengan mempertahankan ketegangan yang dialektis sifatnya ini saya berharap unsur yang potensial negatif dalam sikap gereja perdana ini dapat dinetralisir, sedangkan seginya yang positif dapat dimanfaatkan. Alternatif lain adalah membuang sama sekali pemahaman umat terpilih. Tetapi saya tidak setuju dan tidak menganjurkan hal ini. Dengan meminjam pandangan Raimundo Panikkar saya mau melihat makna keterpilihan umat sebagai yang melayani seperti Hamba Tuhan yang melayani, tetapi bukan tanpa tujuan. Seseorang atau sekelompok orang dipilih untuk melayani dalam rangka mematahkan status-quo. Patahnya statuS-quo ini akan membebaskan seluruh dunia. Itulah makna panggilan Abraham di dalam Kejadian fasal 12:3. Supaya bangsa-bangsa lain memperoleh berkat. Dari keyakinan bahwa seseorang dipilih tentu akan timbul suatu sense of mission. Tetapi semuanya ini tidak akan berguna bahkan merusak kalau si terpilih itu tidak mau melakukan sesuatu yang normalnya tidak akan ia lakukan. Hanya dengan melakukan apa yang di luar kebiasaan dan status-quo, ia dapat memelihara otentisitas dan kemurnian dari perasaan keterpilihannya.

Akhirnya bagaimana dengan Calvin dan Calvinisme? Calvin sangat terkesan dengan idea umat kudus yang seluruhnya terdiri dari imam-imam seperti kita lihat dalam surat 1 Petrus di atas. Pandangannya mengenai teokrasi yang diuji-cobakan di kota Geneva merupakan perkembangan dari idea ini. Umat yang terpilih adalah umat yang tidak bisa membanggakan jasa-jasa mereka sebagai faktor keterpilihannya. Mereka dipilih oleh Tuhan berdasarkan rencana Tuhan sejak semula, sejak dunia ini diciptakan. Idea ini disebut “predestinasi”. Sejak semula ada orang yang ditentukan terpilih karena itu selamat dan ada yang ditentukan tidak terpilih karena itu tidak selamat. Ada yang mengatakan idea predestinasi ini hanya merupakan suatu pemikiran kemudian, suatu afterthought dari Calvin dalam rangka memikirkan mengenai konsekwensi dari mereka yang tidak dipilih. Barulah Calvinisme ortodoks sebagai penerus Calvin yang membuat predestinasi menjadi ajaran Calvin yang paling menonjol. Kebenarannya menurut saya mungkin berada di tengah-tengah. Predestinasi bukan suatu pemikiran kemudian melainkan berada dalam kerangka pembicaraan mengenai penyataan (wahyu) Ilahi. Tetapi Calvin berulangkali mengingatkan agar mengenai predestinasi ini kita tidak berspekulasi dalam arti mulai menentukan sendiri siapa selamat siapa terkutuk. Predestinasi itu sebenarnya harus dilihat dalam rangka anugerah atau rahmat Tuhan: saya yang demikian berdosanya ini ternyata boleh hidup di hadapan kekudusan Tuhan. Jadi berfungsi sebagai hiburan yang memberi harapan. Seperti gejala yang telah kita lihat di atas, pokok ini memang bisa juga ditarik ke arah yang negatif: atau saya tidak pasti bahwa saya selamat, atau saya sangat pasti saya selamat maka tidak perlu berbuat sesuatu apapun lagi. Menurut Calvin yang wajar-wajar sajalah; saya selamat. Menyadari bahwa kita berada dalam lingkungan keselamatan ilahi (baca : terpilih) tidak berarti kita tidak berusaha meningkatkan mutu kehidupan kita. Peraturan kota Geneva sebagai contoh teokrasi dengan pelbagai sanksi menunjukkan keseriusan Calvin pada hidup sesuai dengan tuntutan keterpilihan. Kekeliruannya adalah bahwa hidup yang berdisiplin seperti ini lalu dianggap ukuran selamat-tidaknya seseorang. Setelah eksperimen kota Geneva ini gagal, umat Protestan Calvinis tidak pernah lagi mencoba hal ini sampai sekecil-kecilnya. Yang diperhatikan hanya prinsip-prinsipnya saja. Di satu pihak orang Kristen adalah terpilih, di pihak lain ia harus menjaga keterpilihannya jangan sampai “dari yang terdahulu ia menjadi yang terkemudian”. Idea umat terpilih tapi dengan syarat ini seperti telah kita lihat ada juga di dalam PL, yaitu pada Keluaran 19:4-6 di atas. Jika keterpilihan ini dilihat sebagai sesuatu ideal yang mau dikejar dan bukan suatu status yang sudah mengandung segala sesuatu, maka saya tidak berkeberatan sama sekali dianggap sebagai orang Calvinis. Meskipun demikian saya harus mengakui bahwa idea Calvin mengenai orang terpilih ini masih kalah jika dibandingkan dengan pemahaman umat terpilih di dalam kitab Yesaya. Sebab di dalam kitab Yesaya kita melihat bagaimana ideal yang mau dikejar itu diperjuangkan dalam relasi dengan orang lain, dengan dunia dan bukan hanya bagi diri sendiri. Orang Kristen bukanlah orang yang hanya menghindarkan diri dari hal yang jahat (sikap pasif), tetapi juga orang yang melakukan tindakan yang baik dan melawan yang jahat, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain (sikap aktif). Maka terhadap warisan Calvin ini saya mau mengusulkan penambahan idea umat terpilih yang melayani dunia. Atau dengan kata lain, menjalankan ajaran Calvin tapi dengan menyorotinya di bawah terang pesan Hamba Tuhan di dalam kitab Yesaya.


Karangan ini ditulis guna memenuhi permintaan teman-teman dari DIAN untuk mengisi antologi ini sebagai sumbangan dari kalangan Kristen Protestan. Saya tidak berani menganggap diri sebagai "mewakili" pandangan Protestan, tetapi saya memang menulis sebagai orang Protestan yang ingin setia pada tradisinya namun sekaligus juga ingin agar tradisinya bersifat terbuka dan dapat di interpretasikan kembali guna menjawab tantangan zaman. Tradisinya bersumber dari Perjanjian Lama. Maka tekanannya adalah pemeriksaan sumber Perjanjian Lama ini. Tetapi dari sudut pandang seorang Protestan

Tidak ada komentar: