OLEH
PROF. E.G. SINGGIH Ph.D
Pada
masa kini menurut banyak orang kita tidak hanya berada dalam “zaman Oikumene”,
yaitu pertemuan, pergaulan, dialog dan persatuan suatu gereja dengan gereja
lain di dalam keluarga agama Kristen, tetapi juga sudah masuk ke “zaman
oikumenisme agama-agama”. Saya
tidak tahu siapa yang menciptakan istilah ini, namun maksudnya jelas: zaman ini
adalah zaman pertemuan, pergaulan dan dialog suatu agama dengan agama
lainnya. Saya tidak menyebut “persatuan”, sebab
memang belum kelihatan atau memang tidak direncanakan demikian. Bahkan di
kalangan mereka yang rajin berdialogpun, persatuan tidak masuk
di dalam agenda. Pokok terakhir ini sering dianggap justru menghalangi dialog. Jadi
agendanya agak lain dari apa yang kita lihat pada gereja-gereja. Di situ dialog
diadakan dalam rangka persatuan, atau kalau mau memakai istilah yang khas dari
kalangan oikumenis, “keesaan gereja” (saya berbicara mengenai keadaan yang
ideal, sebab dalam kenyataan yang agak sempit seperti di Indonesia, bukannya
persatuan yang terjadi melainkan kebalikannya. Sejak PGI didirikan pada tahun
1948, belum pernah terjadi dua gereja yang merencanakan bergabung menjadi satu.
Yang terjadi adalah gereja yang pecah-pecah menjadi gereja-gereja baru, yang
nantinya juga dapat menjadi anggota PGI...).
Dalam kerangka pemikiran baru ini idea umat terpilih (The Chosen People) dianggap menghalangi
proses oikumenisme agama-agama. Kalau agama itu universal, seharusnya tidak
boleh ada idea mengenai keterpilihan yang justru menunjukkan lawan dari
universalitas, yaitu partikularitas. Oleh karena keduanya merupakan antitesa,
maka yang terakhir ini harus disingkirkan sebagai sisa-sisa dari
keterbelakangan suatu agama. Dalam hal ini orang menganggap bahwa agama
berkembang dari suatu wujud yang mula-mula sangat partikular namun kemudian
menjadi universal. Penekanan pada partikularitas dalam sejarah dunia selalu
menyebabkan hal-hal yang menyedihkan seperti perang, penganiayaan dan peremehan
bagi mereka yang beragama lain. Karena menekankan pada keterpilihan, agama yang
bertekad untuk menyebarkan perdamaian malah berbuat sebaliknya, menyebarkan
kebencian dan permusuhan oleh karena itu menurut pemikiran ini kita perlu
belajar dari sejarah dunia. Kalau mau memutuskan mata rantai permusuhan antar
agama ini, mari bersama-sama menjadi universal dengan jalan menyingkirkan
segala sesuatu yang menekankan pada keterpilihan kita.
Idea umat terpilih mencakup perasaan eksklusif dalam
segala bentuknya. Siapa yang dipilih Tuhan tentu dipilih karena ia lebih dari
yang lain, ia memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh yang lain. “Sesuatu”
ini tidak perlu sangat jelas bagi penganut-penganutnya. Cukup dirumuskan dalam
kalimat-kalimat tertentu yang otomatis dianggap menyatakan yang sebenarnya.
Dalam pola pemikiran umat terpilih yang eksklusif, apa yang normatif identik
dengan apa yang objektif. “Kita harus menjadi orang baik” identik dengan “Kita adalah
orang baik”. Wujud dari “sesuatu” ini bisa berupa pengalaman masa lalu yang menyedihkan,
tetapi bisa juga situasi masa kini yang menyenangkan. Perasaan “lebih” ini
dipupuk dengan menumbuhkan prasangka-prasangka terhadap yang lain. Prasangka-prasangka
ini pada gilirannya kembali memupuk perasaan “lebih” terhadap yang lain. Jadi
seperti sebuah lingkaran setan.
Barangkali
masih banyak dari segi-segi pandangan negatif terhadap idea ini yang dapat
dikemukakan, tapi sebegitu jauh kiranya apa yang dikemukakan dapat memberi
gambaran kepada kita mengenai pandangan ini. Dalam banyak hal apa yang
dikemukakan di atas memang benar. Sebagai contoh kita dapat mengambil
pengalaman orang-orang Boer di Afrika Selatan. Mereka adalah keturunan
imigran-imigran Belanda dari aliran Kristen “Gereformeerd” (bagian dari gereja
aliran Calvinis di Belanda yang pada paruhan kedua abad 19 memisahkan diri dari
aliran Calvinis yang umum, yaitu yang “Hervormd”) yang mulai berdatangan di semenanjung selatan benua
tersebut menjelang abad ke 20. Aliran Gereformeerd sendiri sudah mengandung
idea umat terpilih yang sangat kuat. Ditambah dengan situasi mereka menghadapi
bangsa-bangsa asli dan akhirnya kekalahan pahit melawan bangsa lnggeris yang
juga menginginkan semenanjung-Afrika Selatan yang kaya mineral itu dalam perang
Boer, akhirnya muncullah idea orang kulit putih Boer sebagai umat kesayangan
Tuhan yang harus hidup terpisah dari mereka yang kulitnya berwarna lain, yang
disebut apartheid. Contoh kedua adalah israel modern yang dimulai dengan
gerakan Zionisme (dari kata “Zion”, kota Yerusalem dan kompleks Bait Suci yang
menjadi kediaman Allah dari umat yang beribadat kepadaNya). Terutama sejak
perang dunia yang sangat getir dampaknya terhadap orang-orang Yahudi (sekitar 6
juta jiwa mati terbunuh) menyebabkan orang-orang Yahudi mencoba dengan segala
macam cara untuk menduduki kembali daerah pesisir Palestina yang sebagian besar
sudah lama ditinggalkan dan sudah berabad-abad didiami oleh orang-orang Arab.
Kemenangan demi kemenangan yang diperoleh menyebabkan Israel sekarang sulit
menerima adanya kenyataan yang bernama Palestina. Andaikata kenyataan itu
diterima, juga masih sulit untuk membayangkan bahwa Palestina itu suatu bangsa,
sama seperti mereka. Idea umat yang terpilih kembali menjadi faktor yang sangat
dominan dalam meninjau hambatan usaha-usaha perdamaian di Timur Tengah. Lagu “Exodus” dengan kata-kata permulaannya, “This land ir mine, God gave this land to
me” nampaknya mewakili sikap Israel dewasa ini.
Tetapi apakah idea umat terpilih harus disingkirkan?
Saya masih melihat adanya segi positif dari idea ini, di samping memang
segi-segi negatif di atas. Saya akan mencoba menguraikannya dengan melihat
bagaimana idea umat terpilih itu digambarkan di dalam kitab suci Perjanjian
Lama (selanjutnya disingkat "PB). Itulah yang menjadi sorotan utama saya.
Kemudian sepintas lalu saya akan memeriksa bagaimana idea itu dipahami di dalam
Perjanjian Baru (selanjutnya disingkat "PB") dan kemudian juga
sepintas lalu bagaimana Yohanes Calvin sebagai cikal-bakal tradisi Calvinisme
menggunakan idea ini di dalam pemikiran teologisnya. Idealnya apa yang terdapat
dalam PB dan Calvinisme juga diuraikan secara memadai, namun hal itu tidak
mungkin saya lakukan dalam tulisan yang terbatas ini. Pada akhirnya saya akan
menyarankan agar idea umat terpilih diteruskan, namun dengan memegang segi-segi
positifnya dan membuang segi-segi negatifnya. Sebelum itu ada beberapa catatan
yang perlu dirampungkan dalam kerangka paragraf ini.
Catatan pertama, pemahaman bahwa perkembangan karakter suatu agama
dari tahap partikular ke tahap universal bukan diambil dari kenyataan yang ada.
Banyak aliran religius yang justru berkembang terbalik, memulai dengan warna
universal yang kuat tetapi kemudian digantikan dengan warna partikular.
Contohnya agama Israel kuno seperti yang kita lihat di dalam Perjanjian Lama.
Dulu orang biasanya menganggap bahwa agama Israel yang partikularistik itu
memperoleh warna universalnya dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain di
dalam masa pembuangan di Babel pada abad ke 6 S.M. Namun sekarang kebanyakan
menyadari bahwa Israel kuno baru menekankan pada keunikan dan keterpilihannya
pada masa pembuangan dan terlebih-lebih lagi, sesudah masa tersebut.
Perkembangan agama ke arah partikular atau universal nampaknya tidak bisa
ditentukan secara evolusionistik, melainkan terjadi menurut berbagai macam
dinamika dan pasang-surut.
Catatan kedua, idea umat terpilih biasanya diasosiasikan dengan
kelompok-kelompok minoritas. Dalam rangka mengatasi perasaan “minder” karena
menghadapi kenyataan keberadaannya sebagai minoritas, kelompok-kelompok ini
biasanya memperkembangkan idea umat terpilih. Hal ini nampak dalam
kalangan-kalangan fundamentalis yang biasanya merupakan golongan minoritas
dalam agama-agama besar. Tetapi, bisa juga terdapat dalam agama minoritas yang
hidup di dalam lautan agama mayoritas. Banyak dari antara umat Kristen di
Indonesia berpegang pada idea umat terpilih, supaya tidak merasa tenggelam
dalam lautan mayoritas umat Islam. Meskipun demikian asosiasi ini tidak
seluruhnya benar. Idea umat terpilih juga dapat berada pada agama-agama
mayoritas. Bahkan kenyataannya agama mayoritas di dunia ini seperti misalnya
agama Kristiani (Katolik dan Protestan) sangat menekankan pada warna partikularitasnya.
Catatan ketiga, yang berhubungan dengan catatan kedua di atas.
Apabila suatu agama mayoritas menekankan pada partikularitasnya, maka justru
karena jumlahnya yang banyak, partikularitas ini keliru dilihat sebagai
universalitas. Klaim bahwa suatu agama bersifat universal tidak dilakukan
berdasarkan definisi "universal" sebagai apa yang ada pada semua,
melainkan apa yang seharusnya ada atau sebaiknya diterima oleh yang lain. Jadi
apabila dalam suasana oikumenisme agama-agama orang menekankan pada
universalisme sebagai sesuatu yang mempersatukan tanpa kesediaan untuk
memeriksa kembali apa yang dimaksudkan dengan universalisme tersebut, saya
kuatir kita menghadapi jalan buntu. Bukannya bahwa universalisme dalam arti
kedua ini pada dirinya sendiri keliru. Semua agama dewasa ini perlu merenungkan
mengenai apa yang dapat diterimanya sebagai sumbangan yang berharga dari agama
lain, sehingga ia dapat lebih menuju ke universalisme dalam arti pertama.
Tetapi untuk itu semua agama perlu terbuka dan tidak lagi berasumsi bahwa
segala sesuatu sudah ada padanya. Tetapi pertanyaannya : apakah agama-agama mau
berasumsi demikian?
Pembahasan beberapa teks PL dalam kerangka konteksnya
Pemahaman keterpilihan Israel terpancang cukup sentral
di dalam Perjanjian Lama secara keseluruhan. Kita tidak mungkin dapat memeriksa
semua. Dengan sedapat mungkin menghindari resiko bahwa pembaca akan bosan
mengikuti suatu uraian tafsir, saya akan memulai dari kitab Ulangan, yang
konteks pengisahannya adalah pidato Musa kepada umat menjelang mereka masuk ke
Kanaan sebagai tanah perjanjian. Konteks historisnya adalah penggambaran ideal
mazhab Ulangan mengenai bagaimana umat Israel harus hidup pada masa krisis
sebelum pembuangan, jauh sesudah umat berada di tanah perjanjian. Editor kitab
Ulangan masih menambahkan lagi banyak anjuran-anjuran yang hanya dapat
dimengerti kalau anjuran-anjuran tersebut dilihat sebagai berasal dari zaman
pasca pembuangan. Kitab Ulangan dapat dikatakan mewakili pandangan terhadap
israel sebagai umat kesayangan Tuhan.
“Sebab engkaulah umat yang kudus bagi TUHAN. Allahmu;
engkaulah yang dipilih oleh TUHAN, Allahmu, dari segala bangsa di atas muka
bumi untuk menjadi umat kesayanganNya” (Ul 729)
Dalam teks ini jelas bahwa umat Israel dipilih Tuhan
dari antara bangsa-bangsa lain. Ada umat yang dipilih, dengan sendirinya ada
juga yang tidak dipilih. Konteksnya adalah bagaimana harus bersikap terhadap
orang lain. Bangsa-bangsa lain yang ada di tanah perjanjian harus ditumpas dan
tidak boleh dikasihani (7:2). Tidak boleh ada kontak dengan mereka, terutama
dalam kontak yang paling intim yaitu perkawinan, sebab perkawinan campuran
hanya akan mengakibatkan penyelewengan sehingga akibat penyelewengan ini Tuhan
pasti akan memunahkan Israel dengan segera (7:4). Ibadat bangsa-bangsa lain
tidak ada nilainya sama sekali, semua yang berhubungan dengan itu harus dibakar
habis (7:6). Dari mana penulis tahu bahwa Tuhan akan memunahkan Israel? Tentu dengan
bertitik-tolak dari pengalaman pahit berupa pengepungan dan perebutan
Yerusalem, pembakaran Bait Suci yang dianggap sebagai pelindung bahaya dari
pembuangan ke Babel pada 587/6 S.M. Pesan ini diharapkan masuk ke telinga para
pendengar pada zaman pasca pembuangan dengan meminjam pidato Musa, pendahulu
dan satu-satunya pemimpin menurut kitab Ulangan. Mereka adalah umat kudus yang
dipilih Tuhan, yang lain tidak. Mereka harus menjaga keterpilihan mereka dengan
bersikap intoleran terhadap yang lain. Itulah jalan satu-satunya supaya tidak
mengulangi lagi kesalahan dibuang untuk kedua kalinya. Dalam kitab Ulangan kita
menjumpai instruksi-instruksi agar umat Israel hidup berdasarkan tatanan moral
yang mulia. Oleh karena itu kita tidak dapat mengatakan bahwa bangsa-bangsa
lain dipersalahkan sebagai gara-gara sehingga umat Israel dapat dikalahkan dan
dibuang ke Babel. Pembuangan diakui sebagai akibat dosa Israel terhadap Tuhan.
Namun khususnya dalam Fasal 7 dari kitab Ulangan nada mempersalahkan orang lain
itu cukup kuat.
Dalam Ul 14:2 yang mengandung konsep umat sebagai “milik
Tuhan” (tidak jelas dalam terjemahan TB-LAI) perumusan di atas diulangi lagi
dalam konteks binatang mana yang boleh dimakan dan binatang mana yang tidak
boleh dimakan. Dalam 14:21 yang tidak boleh dimakan dapat diberikan kepada “pendatang
yang di dalam tempatmu untuk dimakan, atau boleh kaujual kepada orang asing;
sebab engkaulah umat yang kudus bagi TUHAN, Allahmu”. Dalam kitab lain yang
bersama-sama kitab Ulangan merupakan bagian dari Taurat, yaitu Imamat 20:24-26
pembedaan mengenai binatang ini langsung bersangkut-paut dengan pembedaan
Israel dari bangsa-bangsa lain. Pembedaan ini digambarkan sebagai sesuatu yang
"alamiah" dengan jalan menyisipkan perintah membedakan binatang haram
dan binatang halal (ayat 25) di antara ayat 24 dan ayat 26. Sama seperti di
dunia ada binatang halal dan binatang haram, begitu pula ada “bangsa halal” (yaitu
Israel) dan “bangsa haram” (yaitu orang-orang bukan Israel).
Di pihak lain ada keterangan-keterangan bahwa
keterpilihan Israel bukanlah sesuatu yang alamiah, melainkan sesuatu yang baru
dapat kelihatan dalam sikap hidup yang benar. Dengan kata lain, status
keterpilihan namun dengan syarat. Contohnya dapat kita lihat dalam kitab
Keluaran yang juga adalah bagian Taurat :
“Kamu sendiri telah melihat apa yang Kulakukan kepada
orang Mesir, dan bagaimana Aku telah mendukung kamu di atas sayap rajawali dan
membawa kamu kepadaKu. Jadi sekarang. jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan
l'irmanKu dan berpegang pada perjanjianKu, maka kamu akan menjadi hana
kesayanganKu sendiri dari antara segala bangsa. sebab Akulah yang empunya
seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagiKu kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah
firman yang harus kau katakan kepada orang Israel” (Kel 19:4-6)
Ayat-ayat di atas juga merupakan refleksi terakhir
dari editor Taurat yang menekankan pada “jika”. Israel disebut “harta/milik
kesayangan”, justru karena Tuhan memiliki seluruh bumi. Harta kesayangan ini
direbut dari tangan Mesir.
Di dalam kitab Ulangan bukan hanya sikap intoleran
yang kita jumpai, melainkan juga sikap eksklusif. Sebagai bangsa yang kudus
umat harus mejaga diri dari perkawinan campuran, tetapi juga dari macam-macam
orang yang dianggap tidak layak. Dalam Ul 23:3/4 orang Amon dan Moab tidak
boleh menjadi anggota jemaah, karena di masa lampau tidak menolong bangsa
Israel ketika mengalami kesulitan. Kalimat ”Bahkan keturunannya yang ke
sepuluhpun tidak boleh masuk jemaah TUHAN sampai selama-lamanya” tidak dapat
ditafsirkan bahwa sesudah keturunan ke sepuluh sih boleh-boleh saja. Tekanannya
adalah pada “sampai selama-lamanya”. Moab dan Amon adalah tetangga-tetangga
Israel. Tetapi tetangga-tetangga lain misalnya Edom dan Mesir boleh
diperlakukan baik-baik. Edom karena masih saudara, sedangkan Mesir karena dulu
menerima Israel menumpang. Setelah generasi ketiga, keturunan mereka boleh
diterima sebagai warga jemaat. Satu generasi bagi orang Israel berkisar sekitar
40 tahun, jadi untuk bisa menjadi warga maka orang-orang ini harus menunggu
sampai 3 x 40 = 120 tahun. Bukan hanya sekedar orang asing saja yang harus
ditolak sebagai warga jemaat. Orang yang kebiri juga ditolak. “Orang yang
hancur buah pelirnya dan yang terpotong kemaluannya, janganlah masuk jemaah
TUHAN” (Ul 23:1). Kurang jelas apa yang mendasari penolakan ini. Mungkin karena
kaum kebiri dianggap mewakili kekacau-balauan (khaos) dan ketidak-tertiban oleh
karena tidak dapat digolongkan dengan persis ke pihak laki-laki atau pihak
perempuan. Bisa juga karena sikap dan tingkah-laku orang kebiri, yang
seringkali menampilkan perasaan dendam kesumat terhadap mereka yang masih
”utuh“. Atau karena berbeda dengan umat yang lain, terhadap orang kebiri tidak
dapat dilakukan tanda penyunatan yang menjadi simbol keanggotaan sebagai warga
israel. Yang paling mungkin adalah melihat orang kebirl sebagai mereka yang
tidak dapat memberi keturunan, padahal di israel kuno dan sekitarnya tidak ada
keturunan merupakan aib yang sangat besar. Keturunan merupakan tanda yang
langsung dari adanya berkat Tuhan, ketiadaan keturunan menjadi tanda yang
langsung bahwa berkat Tuhan tidak singgah atau lewat.
Tetapi di samping teks Ulangan yang mewakili pandangan
triumfalis, eksklusif dan intoleran ini, ada juga pandangan-pandangan yang
bertentangan dengan sikap-sikap ini. Di dalam kitab Ulangan sendiri ada usaha
untuk menunjukkan bahwa keterpilihan Israel bukanlah disebabkan karena kehebatan
yang ada pada Israel an sich. “Jadi ketahuilah bahwa bukan karena jasa-jasamu, TUHAN, Allahmu, memberikan kepadamu negeri yang baik itu untuk diduduki.
Sesungguhnya engkau bangsa yang tegar tengkuk!” (Ul 9:6). “Bukan karena lebih
banyak jumlahmu dari bangsa manapun juga, maka hati TUHAN terpikat olehmu dan
memilih kamu bukankah kamu ini yang paling kecil dari segala bangsa? tetapi
karena Tuhan mengasihi kamu...” (Ul 7:7-8). Bukan kebesaran Israel yang
menyebabkan mereka dipilih Tuhan. Kata kunci yang dipakai di sini, ahebh,
berasaI dari perbendaharaan kata-kata cinta, baik itu berupa cinta kasih antara
orang tua dan anak maupun antara sepasang kekasih. Rasa tertarik yang
diperlihatkan Tuhan itu, tidak mempunyai alasan yang logis melainkan justru
rasa cinta itulah yang menjadi alasan untuk tindakan penyelamatan Tuhan
terhadap Israel (IJ. Cairns). Dalam paragraf di atas kita telah melihat bahwa
apa saja bisa menjadi alasan untuk menganggap diri sebagai umat terpilih yang
lebih daripada yang lain. Maka penonjolan kekecilan dan merasa dicintai inipun
sebenarnya secara formal tidak membuat pemahaman diri israel ini lain dari apa
yang umumnya kita pahami. Namun demikian harus diakui bahwa menunjuk pada
kekecilan dan perasaan dicintai sebagai alasan masih jauh lebih baik daripada
membayang-bayangkan kehebatan dan kebesaran. Dari konsep mengenai kekecilan dan
merasa dicintai ini orang bisa memperkembangkan suatu pemahaman mengenai
minoritas yang rendah hati dan terbuka. Tetapi masalahnya ide ini berada
bersama-sama idea lain yang berlawanan nada dan semangatnya, namun dominan di
dalam kitab Ulangan. Itulah paradoks yang sering muncul setiap kali hubungan
israel dan dunia dibicarakan di dalam PL. Dalam kutipan Kel 19:4-6 di atas kita
kembali melihat paradoks antara Israel sebagai “harta milik kesayangan” dan
Tuhan sebagai yang empunya seluruh bumi. Dalam bahasa Ibrani bumi adalah
ha'arets. Tetapi bisa juga diterjemahkan "tanah“ atau “negeri", Kalau
kita ikuti kemungkinan yang kedua ini maka paradoks di atas akan lenyap. Tuhan
memiliki tanah/negeri Israel, karena itulah maka Israel menjadi harta
kesayangannya. Namun saya tetap setuju dengan terjemahan pertama sebagai “bumi”.
Tuhan memiliki bumi, itu berarti Ia mempunyai milik-milik berupa bangsa-bangsa,
namun dari antara mereka semua yang
paling disayangi adalah Israel. Kalau kita memahami statement ini dalam rangka
bahasa cinta, maka ungkapan subjektif ini dapat dimengerti tanpa terlalu banyak
kesulitan. Semua orang yang jatuh cinta merasa bahwa ia paling dikasihi
dibandingkan dengan yang lain. Tetapi itulah resikonya menggunakan metafor
hubungan dan perasaan cinta dalam menggambarkan apa yang terjadi antara Man dan
umatNya. Cinta memerlukan Eksklusifitas sampai batas tertentu. Eksklusifitas
ini kalau tidak diwaspadai memang bisa menuju pada eksklusifisme yang menolak eksistensi
yang lain!
Teka-teks mengenal Hamba Tuhan yang menderita
Teks-teks yang berbeda nada dan semangatnya dengan
suasana dominan di dalam kitab Ulangan dapat kita jumpai di dalam kitab Yesaya,
terutama dalam bagian-bagian yang berasal dari kurun Waktu pembuangan dan pasca
pembuangan. Dalam Yes 42:1-4(5-9); 49:1-6(7); 50:4-ll dan 52:13 -53:12 terdapat
apa yang oleh para pakar tafsir disebut sebagai “syair-syair Hamba Tuhan” (ebed
Yahweh). Di dalam buku-buku tafsir ada masalah mengenai identitas si Hamba ini,
apakah harus dilihat secara individual atau kolektif. Juga tidak ada
kesepakatan apakah keempat syair ini bernada triumfal ataukah bernada melayani.
Di sini bukan tempatnya menguraikan masalah-masalah tersebut. Pada pokoknya
dalam keempat syair ini direfleksikan bagaimana Israel harus memandang
penderitaan masa lalunya berupa kehinaan pembuangan yang telah memalukan
mereka, bagaimana mereka harus bersikap sekarang dan bagaimana Israel di masa
depan sesudah pembuangan berakhir dapat menjadi model bagi bangsa-bangsa,
bagaimana harus hidup. Model ini bukanlah model yang triumfalistik, eksklusif
ataupun intoleran, melainkan model yang rendah hati, inklusif dan toleran.
Biasanya seorang tokoh tertentu disebut sebagai Hamba, yang paling sering
adalah Musa sebagai Hamba par excellence. Namun di sini Israel secara
keseluruhan sebagai umat disebut Hamba. Tekanan tidak lagi pada umat
kesayangan, sebab pembuangan telah diinterpretasikan sebagai hukuman yang layak
bagi umat yang telah berdosa, tidak bisa mempertanggung-jawabkan keberadaan
mereka sebagai umat terpilih. Penulis syair-syair di atas rupanya sadar bahwa
di masa lalu rupanya orang terlalu menekankan pada status sebagai kesayangan,
sebagai “anak mas”, sehingga lupa pada kewajiban yang menyertai keterpilihan
Israel. Sebagai Hamba Tuhan Israel masih tetap pilihan Allah. “Lihat, itu
hambaKu yang Kupegang, orang pilihanKu, yang kepadanya Aku berkenan"
(syair I, Yes 4211, band. Yes 45:4, yang mengungkapkan bahwa maharaja Koresy
(Cyrus) dari Persia yang termasyhur itu akan mengalahkan Babel dalam rangka
kepentingan “hambaKu Yakub dan Israel, pilihanKu”). Namun
keterpilihan ini tidak mengandung penolakan terhadap eksistensi yang lain. Cara
hidup Israel tidak digambarkan secara agresif melainkan secara pastoral. “Ia
tidak akan berteriak atau menyaringkan suaranya, Buluh yang patah terkulai
tidak akan diputuskannya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan
dipadamkannya" (Yes 42:2-3). Sungguh suatu penggambaran yang menyegarkan
dan menyehatkan! Si Hamba mengambil sikap yang rendah hati dan lowprofile.
Tidak bersikap seperti guru, melainkan seperti seorang murid yang mendengarkan
(syair III, Yes 50:4) dan ia tidak jijik dan tidak menghindari penderitaan
kalau memang itu merupakan resiko (Yes 50:6). Dalam/syair terakhir (Yes 52:13
53:12) yang sangat padat makna dan karena itu juga bersifat
multi-interpretable, penderitaan Israel dilihat sebagai sesuatu yang bermakna,
bukan hanya bagi Israel sendiri tetapi juga bagi yang lain. Israel tidak
dilihat sebagai model yang penampilannya menarik dan mengagumkan, melainkan
model yang sebetulnya menimbulkan pertanyaan apakah pantas ditampilkan sebagai
model.
"… Ia tidak tampan dan semaraknyapun tidak ada;
mana mau kita memandang dia?
Rupanya pun tidak menyebabkan kita menginginkannya!
la dibina dan dihindari orang,
seorang yang penuh kesengsaraan
dan yang biasa menderita kesakitan;
Ia sangat dihina, sehingga orang menutup
mukanya terhadap dia
dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan"
(Yes 53:2.3)
Penggambaran ini begitu mengerikan sehingga seorang
penafsir pernah berpendapat bahwa di sini digambarkan seorang tokoh individual
yang sedang diserang penyakit kusta. Tetapi saya melihat di sini metafor dari
Israel dalam pembuangan yang menderita malu yang amat sangat. "Kita” dalam
syair di atas adalah dunia (bangsa-bangsa) yang menyaksikan penderitaan Israel.
Meskipun mengalami malu yang amat sangat, penderitaan ini bukanlah traumatis,
yang menyebabkan Israel nantinya membangun konsep umat terpilih yang triumfalis,
eksklusif dan Intoleran sebagai kompensasi atas penderitaan masa lalu dan tidak
mau menderita lagi atas alasan apapun (sehingga daripada menderita lebih baik
menderitakan orang lain), melainkan penderitaan dilihat sebagai penebusan bagi
dunia ini. Israel menderita untuk dunia, dalam rangka melayani dunia. Itulah
sebabnya mengapa Israel dipilih oleh Tuhan. “Election, not for honour buffer service” (H.H. Rowley). Penderitaan
yang dijalani untuk orang lain ini digambarkan dalam syair IV sebagai suatu kesadaran
yang timbul dalam hati bangsa-bangsa, bukan sesuatu yang dikhotbahkan kepada
mereka :
“Tetapi sesungguhnya penyakit kitalah
yang ditanggungnya,
dan kesengsaraan kita yang dipikulnya,
padahal kita mengira dia kena tulah,
dipukul
dan ditindas Allah.
Tetapi dia tertikam oleh karena
pemberontakan kita,
diremukkan
oleh karena kejahatan kita;
ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita
ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.”
(Yos 53:5)
Dengan melihat dan merenungkan penderitaan Israel,
bangsa-bangsa lain dapat belajar untuk menerima kenyataan penderitaan yang
mereka sendiri alami, namun sekaligus mengatasi penderitaan mereka sendiri.
Israel dulu menderita, sekarang ia memandang ke depan ke tugasnya sebagai
model, dan karena itu meskipun sekarang ia masih menderita, ia dapat menaruh
harapan dalam hidupnya, dan harapan itulah yang akan membawanya menuju pada
masa depan. Seperti kata Erich Fromm, permulaan pembebasan adalah keberanian
untuk menerima kenyataan penderitaan yang sedang atau pernah dialami, dan dari
situ bangkit untuk mengatasi penderitaan! Sayang seribu kali sayang model umat
sebagai Hamba yang melayani (ministry of
the Servant) tidak diteruskan oleh generasi-generasi berikut yang telah
berada kembali di Palestina pada periode pasca-pembuangan. Umat tetap tertutup,
secara legalistik menerapkan hukum-hukum Taurat sampai detail yang
sekecil-kecilnya (dapat dibaca dalam kitab Ezra) dan daripada membangun
komunikasi dengan dunia di sekitarnya malah tembok Yerusalem dibangun kembali
sebagai pekerjaan pertama yang harus dilaksanakan ketika telah pulang ke tanah
perjanjian (dapat dibaca dalam kitab Nehemia). Perayaan hari Sabat, yang
semestinya kalau dilihat dalam kisah Penciptaan dalam Kejadian fasal 1
merupakan perayaan yang bersifat universal, berubah menjadi suatu simbol untuk
justru mempertajam perbedaan dengan yang lain dalam rangka prinsip habhdalah
(keterpisahan). Ada suara-suara yang menentang arus ini dalam masa konsolidasi
pasca-pembuangan. Orang asing dan orang kebiri (yang entah bagaimana bisa
berada di Palestina pada waktu itu) yang mulai takut bahwa dalam masyarakat
pasca-pembuangan mereka akan disingkirkan menjadi warga kelas dua atau bahkan
kelas tiga, “dihibur dengan menekankan bahwa mereka tetap merupakan bagian umat
“ (Yes 56:1-8). Kita bahkan dapat mengatakan bahwa hiburan ini sekaligus
merupakan PROTES KERAS terhadap Ulangan fasal 23 di atas yang melarang orang
asing dan orang kebiri masuk jemaah Allah. Protes semacam ini dapat juga
dilihat pada kitab-kitab lain. Kitab Rut menceritakan mengenai seorang
perempuan asing (Moab, yang dalam Ulangan harus antri 120 tahun baru bisa
menjadi anggota jemaah; dan harap diperhatikan bahwa di sini dikemukakan
seorang perempuan, 'yang di israel kuno dan di sekitarnya tidak masuk hitungan)
yang memegang peranan menentukan dalam sejarah Israel. Tanpa dia raja Daud dan
keturunan Mesianis tidak akan lahir. Kitab Yunus juga menghantam pemikiran
eksklusif yang dominan. Tuhan di dalam kasih sayangnya dapat menaruh belas
kasihan pada Niniweh, kota metropolitan yang maksiat itu, markas besar musuh
bebuyutan Israel (yaitu Assyria), yang karena dosa-dosanya pantas untuk
dipunahkan. Tokoh dalam cerita ini digambarkan sebagai seorang nabi yang marah
karena Tuhan berbelas-kasihan. Kemarahan nabi ini dapat dikatakan mewakili
semua orang yang marah karena akhirnya menyadari bahwa Tuhan ternyata tidak
fanatik seperti yang dibayangkan sebelumnya!
Meskipun protes-protes ini cukup gencar, arus yang
dominan tidak bergeming. Apakah dengan demikian protes-protes ini gagal?
Menurut saya tidak. Paling tidak protes-protes ini telah menyebabkan timbulnya
paradoks yang telah dikatakan di atas, dan dari paradoks ini kita secara
kreatif dapat memikirkan alternatif dari apa yang tadinya diperkirakan tidak
mungkin berubah.
Meneruskan tradisi umat yang dipilih untuk melayani
Sejauh ini saya kira jelaslah bahwa ada 2 arus
pemikiran di Israel kuno sebagaimana kita lihat di dalam PL. Yang satu sifatnya
negatif sedangkan yang satunya lagi positif. Ada kecenderungan kuat untuk
mengikuti yang negatif, barangkali karena itulah yang dibayangkan paling mudah
untuk dilakukan dalam jangka pendek, tetapi sebenarnya berakibat fatal dalam
jangka panjang. Ketertutupan Israel mengakibatkan kehancurannya pada tahun 70
M, yang jauh lebih hebat dari kehancuran yang pertama di tahun 587/6 S.M.
Berabad-abad lamanya Israel lenyap dari panggung sejarah dunia dan umat Yahudi
yang merupakan penerus Israel hidup dalam ghetto-ghetto yang suram di luar arus
kehidupan dunia. Tempatnya digantikan oleh agama Kristen, yang dari minoritas
rendah hati tahu-tahu sudah menjelma menjadi mayoritas yang agresif. Tidak ada
kesempatan dalam tulisan ini untuk membahas perkembangan kemudian dari kedua
idea ini di dalam agama Kristen dan Calvinisme. Tetapi selayang pandang saya
menggambarkannya demikian : di dalam injil-Injil Yesus diyakini sebagai Hamba
Tuhan yang telah menggenapi apa yang diungkapkan dalam syair-syair Hamba Tuhan
di atas. Yesus sebagai ”Anak-Manusia" (apapun artinya) datang untuk
melayani dan bukan untuk dilayani, dan sama seperti Hamba Tuhan dalam syair IV
ia menyerahkan nyawaNya untuk menebus banyak orang (Markus 10:45). Di dalam
Injil Matius ada pemahaman mengenai kelompok orang-orang yang berkumpul
berdasarkan iman kepada Yesus. Di dalam Mat 16:18 dan 18:17 dipergunakan kata
ekklesia. Yang pertama dalam konteks tanggapan Yesus terhadap Pe-trus yang
mengakui Dia sebagai Mesias, Anak Allah yang hidup. Jadi Petrus akan menjadi
fondasi di mana Yesus akan mendirikan ekklesia-Nya, gereja atau jemaatNya.
Sedangkan yang kedua dalam konteks pertengkaran di dalam jemaat. Ekklesia di
dalam PB menjadi ungkapan dominan mengenai kelompok yang merasa menjadi umat
khusus karena dipanggil oleh Tuhan, padahal sebenarnya istilah ini istilah umum
yang dapat dipakai juga secara sekular misalnya untuk majelis kota ataupun
sebuah klub olahraga. Kemudian dalam Mat 22:14 ,dan 24:22, 24 dan 31 muncul
istilah eklektos, “orang pilihan”. Berarti mereka merasa dipanggil karena
dipilih oleh “Anak-Manusia”. Tetapi keterpilihan ini tidak dapat diartikan
triumfalistik, eksklusifistik ataupun intoleran seperti yang kita lihat pada
kitab Ulangan di atas. Keberadaan ekklesia dan eklektos harus dihubungkan
dengan konteks penguraian Injil Matius yang menyinggung mengenai Khotbah di Bukit
(fasa! 5-7), Ringkasan Taurat mengenai mengasihi Tuhan dan sesama (Mat
22:37-40) dan menolong mereka yang paling hina sebagai wujud pelayanan/ibadah
kepada Yesus sendiri (Mat 25:31-46). Apa yang kita lihat pada kitab Yesaya di
atas kembali muncul di sini. Orang dipilih supaya melayani, bukan supaya
dihormati.
Tetapi dalam tahap selanjutnya paradoks di atas juga
kembali muncul. Idea mengenai umat kudus di dalam kitab Ulangan mendapat tempat
dalam merumuskan keberadaan murid-murid Tuhan, yang tadinya justru dikumpulkan
supaya ke luar dari umat yang lama dengan sistem-sistemnya yang dianggap sudah
tidak relevan. “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani
(kerajaan imam), bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu
memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu
keluar dari kegelapan kepada terangNya yang ajaib” (I Petrus 2:9). Dan dalam
kitab Wahyu, umat yang menderita penganiayaan dan mati sahid di masa
pemerintahan kaisar Diocletianus dari imperium Romawi akan dibangkitkan lagi dan
dapat melihat kesahidan mereka sebagai tanda keterpilihan mereka. Dunia telah
menolak mereka dan karena itu maka Yesus yang digambarkan sebagai anak domba
Allah dalam Injil-Injil, yang menurut saja ketika dibawa ke pembantaian, kali
ini akan membalaskan kematian orang-orang pilihanNya (“The wrath of the Lamb”). Dari kelompok terpilih yang melayani
dunia, pemahamannya berubah menjadi kelompok terpilih yang menghakimi dunia.
Dan karena menghakimi dunia, pelayanannya bukan lagi terhadap dunia melainkan
terhadap Yesus saja, padahal ini jelas bukan yang dikehendaki oleh Yesus di
dalam Markus 10:45! Maka benar pendapat banyak teolog dewasa ini, terutama di
dunia ketiga, bahwa kita harus membuat pembedaan antara gereja dan kerajaan
Allah. Gereja memang termasuk ke dalam kerajaan Allah, namun kerajaan Allah
masih lebih luas daripada gereja. Dalam Injil-Injil Yesus, memberitakan
kerajaan Allah, dalam surat-surat gereja perdana sebagai umat terpilih
memberitakan Yesus. Kita sekarang tidak dapat berbuat lain daripada memberitakan
Yesus dan kerajaan Allah. Tidak mungkin Yesus tanpa kerajaan Allah namun tidak
mungkin kerajaan Allah tanpa Yesus (seperti mau dicoba oleh beberapa orang).
Yesus menjadi kriterion bagi kita untuk membedakan umat terpilih dari dunia.
Tetapi Yesus yang memisahkan adalah Yesus yang sekaligus mempersatukan. Ia
kepala jemaah sekaligus kepala segala sesuatu (alam semesta) (surat Efesus
1:23). Dengan mempertahankan ketegangan yang dialektis sifatnya ini saya
berharap unsur yang potensial negatif dalam sikap gereja perdana ini dapat
dinetralisir, sedangkan seginya yang positif dapat dimanfaatkan. Alternatif
lain adalah membuang sama sekali pemahaman umat terpilih. Tetapi saya tidak
setuju dan tidak menganjurkan hal ini. Dengan meminjam pandangan Raimundo Panikkar
saya mau melihat makna keterpilihan umat sebagai yang melayani seperti Hamba
Tuhan yang melayani, tetapi bukan tanpa tujuan. Seseorang atau sekelompok orang
dipilih untuk melayani dalam rangka mematahkan status-quo. Patahnya statuS-quo
ini akan membebaskan seluruh dunia. Itulah makna panggilan Abraham di dalam
Kejadian fasal 12:3. Supaya bangsa-bangsa lain memperoleh berkat. Dari
keyakinan bahwa seseorang dipilih tentu akan timbul suatu sense of mission. Tetapi semuanya ini tidak akan berguna bahkan merusak
kalau si terpilih itu tidak mau melakukan sesuatu yang normalnya tidak akan ia
lakukan. Hanya dengan melakukan apa yang di luar kebiasaan dan status-quo, ia dapat memelihara
otentisitas dan kemurnian dari perasaan keterpilihannya.
Akhirnya bagaimana dengan Calvin dan Calvinisme?
Calvin sangat terkesan dengan idea umat kudus yang seluruhnya terdiri dari
imam-imam seperti kita lihat dalam surat 1 Petrus di atas. Pandangannya
mengenai teokrasi yang diuji-cobakan di kota Geneva merupakan perkembangan dari
idea ini. Umat yang terpilih adalah umat yang tidak bisa membanggakan jasa-jasa
mereka sebagai faktor keterpilihannya. Mereka dipilih oleh Tuhan berdasarkan
rencana Tuhan sejak semula, sejak dunia ini diciptakan. Idea ini disebut “predestinasi”.
Sejak semula ada orang yang ditentukan terpilih karena itu selamat dan ada yang
ditentukan tidak terpilih karena itu tidak selamat. Ada yang mengatakan idea
predestinasi ini hanya merupakan suatu pemikiran kemudian, suatu afterthought dari Calvin dalam rangka memikirkan
mengenai konsekwensi dari mereka yang tidak dipilih. Barulah Calvinisme
ortodoks sebagai penerus Calvin yang membuat predestinasi menjadi ajaran Calvin
yang paling menonjol. Kebenarannya menurut saya mungkin berada di
tengah-tengah. Predestinasi bukan suatu pemikiran kemudian melainkan berada
dalam kerangka pembicaraan mengenai penyataan (wahyu) Ilahi. Tetapi Calvin
berulangkali mengingatkan agar mengenai predestinasi ini kita tidak
berspekulasi dalam arti mulai menentukan sendiri siapa selamat siapa terkutuk.
Predestinasi itu sebenarnya harus dilihat dalam rangka anugerah atau rahmat
Tuhan: saya yang demikian berdosanya ini ternyata boleh hidup di hadapan
kekudusan Tuhan. Jadi berfungsi sebagai hiburan yang memberi harapan. Seperti
gejala yang telah kita lihat di atas, pokok ini memang bisa juga ditarik ke
arah yang negatif: atau saya tidak pasti bahwa saya selamat, atau saya sangat
pasti saya selamat maka tidak perlu berbuat sesuatu apapun lagi. Menurut Calvin
yang wajar-wajar sajalah; saya selamat. Menyadari bahwa kita berada dalam
lingkungan keselamatan ilahi (baca : terpilih) tidak berarti kita tidak
berusaha meningkatkan mutu kehidupan kita. Peraturan kota Geneva sebagai contoh
teokrasi dengan pelbagai sanksi menunjukkan keseriusan Calvin pada hidup sesuai
dengan tuntutan keterpilihan. Kekeliruannya adalah bahwa hidup yang berdisiplin
seperti ini lalu dianggap ukuran selamat-tidaknya seseorang. Setelah eksperimen
kota Geneva ini gagal, umat Protestan Calvinis tidak pernah lagi mencoba hal ini
sampai sekecil-kecilnya. Yang diperhatikan hanya prinsip-prinsipnya saja. Di
satu pihak orang Kristen adalah terpilih, di pihak lain ia harus menjaga
keterpilihannya jangan sampai “dari yang terdahulu ia menjadi yang terkemudian”.
Idea umat terpilih tapi dengan syarat ini seperti telah kita lihat ada juga di
dalam PL, yaitu pada Keluaran 19:4-6 di atas. Jika keterpilihan ini dilihat
sebagai sesuatu ideal yang mau dikejar dan bukan suatu status yang sudah
mengandung segala sesuatu, maka saya tidak berkeberatan sama sekali dianggap
sebagai orang Calvinis. Meskipun demikian saya harus mengakui bahwa idea Calvin
mengenai orang terpilih ini masih kalah jika dibandingkan dengan pemahaman umat
terpilih di dalam kitab Yesaya. Sebab di dalam kitab Yesaya kita melihat
bagaimana ideal yang mau dikejar itu diperjuangkan dalam relasi dengan orang
lain, dengan dunia dan bukan hanya bagi diri sendiri. Orang Kristen bukanlah
orang yang hanya menghindarkan diri dari hal yang jahat (sikap pasif), tetapi
juga orang yang melakukan tindakan yang baik dan melawan yang jahat, baik
terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain (sikap aktif). Maka terhadap
warisan Calvin ini saya mau mengusulkan penambahan idea umat terpilih yang
melayani dunia. Atau dengan kata lain, menjalankan ajaran Calvin tapi dengan
menyorotinya di bawah terang pesan Hamba Tuhan di dalam kitab Yesaya.
Karangan
ini ditulis guna memenuhi permintaan teman-teman dari DIAN untuk mengisi
antologi ini sebagai sumbangan dari kalangan Kristen Protestan. Saya tidak
berani menganggap diri sebagai "mewakili" pandangan Protestan, tetapi
saya memang menulis sebagai orang Protestan yang ingin setia pada tradisinya
namun sekaligus juga ingin agar tradisinya bersifat terbuka dan dapat di interpretasikan kembali guna
menjawab tantangan zaman. Tradisinya bersumber dari Perjanjian Lama. Maka
tekanannya adalah pemeriksaan sumber Perjanjian Lama ini. Tetapi dari sudut
pandang seorang Protestan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar