Senin, 03 September 2018

PRINSIP KAUSALITAS BUKAN KLAIM EMPIRIS

Oleh 
Eusebius Purwadi

Sering kita mendengar banyak pernyataan atau klaim yang muncul di telinga maupun mata kita dalam pergaulan sehari-hari. Bahkan, kita seringkali membuat pernyataan atau klaim yang mengalir begitu saja, tanpa kita tahu apakah klaim yang kita sampaikan bersifat empiris, apriori, atau normatif.
Atau kita memang tidak perlu atau tidak peduli untuk mengetahui jenis klaim seperti apakah yang kita sampaikan tersebut. Faktanya, ketika tidak peduli terhadap jenis klaim yang kita sampaikan tersebut, masih saja kita menganggap klaim kita empiris, klaim kamu normatif, klaim kamu apriori. Padahal tidak semuanya kita tahu apa perbedaan klaim empiris, klaim normatif, dan klaim apriori. Di tengah ketidaktahuan tersebut, tetap saja kita ngotot berdebat dengan orang tua, teman, sahabat, guru, dosen, bahkan dengan diri sendiri, yang ujung-ujungnya berakhir dengan “pokoknya” yang penuh “kebencian”.

Baru saja kita mendengar dan membaca informasi bahwa telah terjadi gizi buruk yang dialami Suku Asmat. Lalu ada kejadian banjir yang melanda Jakarta. Beberapa jam kemudian kita mendengar Murid menganiayai guru sampai tewas. Dan besoknya kita mendengar guru mencabuli 8 murid perempuan sekolah dasar. Setelah mendengar itu semua, kita sering membuat klaim: “Setiap kejadian memiliki sebab”. Apakah klaim tersebut empiris?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), empiris adalah segala hal yang diketahui berdasarkan pengalaman (terutama yang diperoleh dari penemuan, percobaan, pengamatan yang telah dilakukan). Berdasarkan KBBI tersebut, sebuah klaim dapat difalsifikasi atau dibuktikan salah dengan fakta-fakta hasil pengamatan atau percobaan maka klaim tersebut dikatakan empiris. Atau sebaliknya, jika klaim tersebut dapat dibuktikan dengan fakta-fakta hasil pengamatan atau percobaan maka klaim tersebut juga dikatakan empiris. Jadi empirik tidak sama dengan kebenaran.

Berangkat dari pengertian empiris tersebut, apakah klaim “Setiap kejadian memiliki sebab” merupakan klaim empiris? Sepintas memang empiris karena kita sering mengalami situasi dimana setelah makan perut menjadi tidak lapar dan dapat dibuktikan sebaliknya, tidak makan perut menjadi lapar. Oleh karena itu, untuk membuktikan klaim “Setiap kejadian memiliki sebab” adalah salah maka harus ada bukti sebuah kejadian yang sungguh-sungguh tidak memiliki sebab. Mungkinkah ada kejadian tanpa sebab? Apakah klaim “Setiap kejadian memiliki sebab” dapat dibuktikan sebaliknya atau difalsifikasi seperti perut lapar karena tidak makan atau karena makan menyebabkan perut tidak lapar. Ternyata klaim “Setiap kejadian memiliki sebab” tidak dapat difalsifikasi karena tidak bisa dibuktikan sebaliknya dimana tidak ada sebuah kejadian yang sungguh-sungguh tidak memiliki sebab. Jadi, nggak bisa dong, kalau klaim “Setiap kejadian memiliki sebab” disebut golongan Klaim Empiris. Karena sudah jelas, klaimnya tersebut tidak dapat difalsifikasi.

Dari sini ada benarnya yang dikatakan oleh Mark B.Woodhouse, bahwa ketika kita menemukan adanya sebab-sebab, kita sesunguhnya tidak meneguhkan kebenaran klaim tersebut dengan bukti-bukti empiris, melainkan kita menginteprestasikan pengalaman dan segala peristiwa di dalamnya menurut Prinsip Kausalitas. Padahal, prinsip tersebut berfungsi sebagai suatu kebenaran konseptual, sebagai bagian dari jaringan ide-ide yang kita terapkan untuk memahami pengalaman-pengalaman kita. Klaim  “Setiap kejadian memiliki sebab” sering kita contohkan dengan fakta-fakta empiris, namun kita sering tersesat dan terjebak dimana . Klaim  “Setiap kejadian memiliki sebab” menjadi suatu kesimpulan yang ditarik dari fakta-fakta empiris.

Kalau bukan klaim empiris, APAKAH klaim  “Setiap kejadian memiliki sebab” termasuk Klasim Apriori atau normatif?

Pengertian “Apriori” menurut KBBI adalah berpraanggapan sebelum mengetahui (melihat, menyelidiki, dan sebagainya) keadaan yang sebenarnya; atau metode pernalaran, dimulai dengan teori atau penyebab, untuk kemudian memastikan penyebab atau ketentuan umum. Singkatnya, klaim apriori adalah klaim yang kebenaran dan kesalahannya tidak ditentukan oleh pengalaman (pengamatan). Benar atau salahnya klaim tersebut tidak bergantung pada pengalaman atau eksperimen, melainkan hanya dapat diketahui oleh rasio (pemikiran menurut akal sehat; akal budi) atau intuisi intelektual (daya atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari). Jadi, klaim apriori bersifat niscaya, yakni berisi keyakinan-keyakinan tentang sesuatu yang pasti atau yang  tidak mungkin.

Kasarnya seperti ini, “Sekali benar, maka tetap benar. Sangatlah sulit, kalau bukan mustahil, membayangkan sebaliknya”. Atau seperti yang sudah kita bicarakan, “Segala kejadian memiliki sebab”. Mustahil rasanya untuk menemukan kekeliruannya (falsifikasi) dimana sungguh-sungguh kejadian yang tidak memiliki sebab. Benar adanya yang dikatakan banyak orang, klaim apriori bisa saja bermula dari pengalaman dan dapat diisi dengan akta-fakta empiris. Namun sekali ditemukan, klaim-klaim itu seakan-akan memiliki kehidupan sendiri, tak bergantung pada penemuan-penemuan ilmiah.

Kesimpulannya, Klaim Apriori adalah pernyataan yang mencakup keyakinan-keyakinan bahwa sesuatu niscaya demikian atau tidak demikian. Keyakinan-keyakinan itu tidak didasarkan pada pengalaman dan tidak dapat dibuktikan salah oleh pengalaman. Misalnya  dengan klaim/pernyataan, “jika A=B dan B=C maka A=C”. Klaim seperti ini, yaitu “jika A=B dan B=C maka A=C” termasuk Klaim Apriori yang bersifat Tautologi, karena kesalahannya dan kebenarannya semata-mata ditentukan oleh pengujian terhadap bentuk logisnya. Selain itu, ada Klaim Apriori bersifat defenisi, yaitu suatu istilah dinyatakan secara eksplisit. Kebenaran dan kesalahannya ditentukan oleh metode-metodenya. Contohnya defenisi “Bujangan”, yaitu laki-laki yang belum menikah. Klaim apriori defenisi ini, tidak dapat dibuktikan sebaliknya, seperti  “laki-laki yang belum menikah=Bujangan”.

Setelah mengetahui persamaan dan perbedaan Klaim Apriori dan Klaim Empiris, selanjutnya kita sering mendengar Klaim Apriori Normatif, yaitu klaim menggariskan apa yang seharusnya, bukan sekedar apa yang diyakini, contohnya klaim, “orang tidak boleh membunuh orang lain, kecuali untuk mempertahankan diri”.

Tidak ada komentar: