Oleh
Eusebius Purwadi
Sering kita mendengar banyak pernyataan atau klaim
yang muncul di telinga maupun mata kita dalam pergaulan sehari-hari. Bahkan,
kita seringkali membuat pernyataan atau klaim yang mengalir begitu saja, tanpa
kita tahu apakah klaim yang kita sampaikan bersifat empiris, apriori, atau
normatif.
Atau kita memang tidak perlu atau tidak peduli
untuk mengetahui jenis klaim seperti apakah yang kita sampaikan tersebut.
Faktanya, ketika tidak peduli terhadap jenis klaim yang kita sampaikan
tersebut, masih saja kita menganggap klaim kita empiris, klaim kamu normatif,
klaim kamu apriori. Padahal tidak semuanya kita tahu apa perbedaan klaim
empiris, klaim normatif, dan klaim apriori. Di tengah ketidaktahuan tersebut,
tetap saja kita ngotot berdebat dengan orang tua, teman, sahabat, guru, dosen,
bahkan dengan diri sendiri, yang ujung-ujungnya berakhir dengan “pokoknya” yang
penuh “kebencian”.
Baru saja kita mendengar dan membaca informasi
bahwa telah terjadi gizi buruk yang dialami Suku Asmat. Lalu ada kejadian
banjir yang melanda Jakarta. Beberapa jam kemudian kita mendengar Murid
menganiayai guru sampai tewas. Dan besoknya kita mendengar guru mencabuli 8
murid perempuan sekolah dasar. Setelah mendengar itu semua, kita sering membuat
klaim: “Setiap kejadian memiliki sebab”. Apakah klaim tersebut empiris?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), empiris
adalah segala hal yang diketahui berdasarkan pengalaman (terutama yang
diperoleh dari penemuan, percobaan, pengamatan yang telah dilakukan).
Berdasarkan KBBI tersebut, sebuah klaim dapat difalsifikasi atau dibuktikan
salah dengan fakta-fakta hasil pengamatan atau percobaan maka klaim tersebut
dikatakan empiris. Atau sebaliknya, jika klaim tersebut dapat dibuktikan dengan
fakta-fakta hasil pengamatan atau percobaan maka klaim tersebut juga dikatakan
empiris. Jadi empirik tidak sama dengan kebenaran.
Berangkat dari pengertian empiris tersebut, apakah
klaim “Setiap kejadian memiliki sebab” merupakan klaim empiris? Sepintas memang
empiris karena kita sering mengalami situasi dimana setelah makan perut menjadi
tidak lapar dan dapat dibuktikan sebaliknya, tidak makan perut menjadi lapar.
Oleh karena itu, untuk membuktikan klaim “Setiap kejadian memiliki sebab”
adalah salah maka harus ada bukti sebuah kejadian yang sungguh-sungguh tidak
memiliki sebab. Mungkinkah ada kejadian tanpa sebab? Apakah klaim “Setiap
kejadian memiliki sebab” dapat dibuktikan sebaliknya atau difalsifikasi seperti
perut lapar karena tidak makan atau karena makan menyebabkan perut tidak lapar.
Ternyata klaim “Setiap kejadian memiliki sebab” tidak dapat difalsifikasi
karena tidak bisa dibuktikan sebaliknya dimana tidak ada sebuah kejadian yang
sungguh-sungguh tidak memiliki sebab. Jadi, nggak bisa dong, kalau klaim
“Setiap kejadian memiliki sebab” disebut golongan Klaim Empiris. Karena sudah
jelas, klaimnya tersebut tidak dapat difalsifikasi.
Dari sini ada benarnya yang dikatakan oleh Mark
B.Woodhouse, bahwa ketika kita menemukan adanya sebab-sebab, kita sesunguhnya
tidak meneguhkan kebenaran klaim tersebut dengan bukti-bukti empiris, melainkan
kita menginteprestasikan pengalaman dan segala peristiwa di dalamnya menurut
Prinsip Kausalitas. Padahal, prinsip tersebut berfungsi sebagai suatu kebenaran
konseptual, sebagai bagian dari jaringan ide-ide yang kita terapkan untuk
memahami pengalaman-pengalaman kita. Klaim
“Setiap kejadian memiliki sebab” sering kita contohkan dengan
fakta-fakta empiris, namun kita sering tersesat dan terjebak dimana .
Klaim “Setiap kejadian memiliki sebab”
menjadi suatu kesimpulan yang ditarik dari fakta-fakta empiris.
Kalau bukan klaim empiris, APAKAH klaim “Setiap kejadian memiliki sebab” termasuk
Klasim Apriori atau normatif?
Pengertian “Apriori” menurut KBBI adalah
berpraanggapan sebelum mengetahui (melihat, menyelidiki, dan sebagainya)
keadaan yang sebenarnya; atau metode pernalaran, dimulai dengan teori atau penyebab,
untuk kemudian memastikan penyebab atau ketentuan umum. Singkatnya, klaim
apriori adalah klaim yang kebenaran dan kesalahannya tidak ditentukan oleh
pengalaman (pengamatan). Benar atau salahnya klaim tersebut tidak bergantung
pada pengalaman atau eksperimen, melainkan hanya dapat diketahui oleh rasio
(pemikiran menurut akal sehat; akal budi) atau intuisi intelektual (daya atau
kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari).
Jadi, klaim apriori bersifat niscaya, yakni berisi keyakinan-keyakinan tentang
sesuatu yang pasti atau yang tidak
mungkin.
Kasarnya seperti ini, “Sekali benar, maka tetap
benar. Sangatlah sulit, kalau bukan mustahil, membayangkan sebaliknya”. Atau
seperti yang sudah kita bicarakan, “Segala kejadian memiliki sebab”. Mustahil
rasanya untuk menemukan kekeliruannya (falsifikasi) dimana sungguh-sungguh
kejadian yang tidak memiliki sebab. Benar adanya yang dikatakan banyak orang,
klaim apriori bisa saja bermula dari pengalaman dan dapat diisi dengan akta-fakta
empiris. Namun sekali ditemukan, klaim-klaim itu seakan-akan memiliki kehidupan
sendiri, tak bergantung pada penemuan-penemuan ilmiah.
Kesimpulannya, Klaim Apriori adalah pernyataan yang
mencakup keyakinan-keyakinan bahwa sesuatu niscaya demikian atau tidak
demikian. Keyakinan-keyakinan itu tidak didasarkan pada pengalaman dan tidak
dapat dibuktikan salah oleh pengalaman. Misalnya dengan klaim/pernyataan, “jika A=B dan B=C
maka A=C”. Klaim seperti ini, yaitu “jika A=B dan B=C maka A=C” termasuk Klaim Apriori
yang bersifat Tautologi, karena kesalahannya dan kebenarannya semata-mata
ditentukan oleh pengujian terhadap bentuk logisnya. Selain itu, ada Klaim
Apriori bersifat defenisi, yaitu suatu istilah dinyatakan secara eksplisit.
Kebenaran dan kesalahannya ditentukan oleh metode-metodenya. Contohnya defenisi
“Bujangan”, yaitu laki-laki yang belum menikah. Klaim apriori defenisi ini,
tidak dapat dibuktikan sebaliknya, seperti
“laki-laki yang belum menikah=Bujangan”.
Setelah mengetahui persamaan dan perbedaan Klaim
Apriori dan Klaim Empiris, selanjutnya kita sering mendengar Klaim Apriori
Normatif, yaitu klaim menggariskan apa yang seharusnya, bukan sekedar apa yang
diyakini, contohnya klaim, “orang tidak boleh membunuh orang lain, kecuali
untuk mempertahankan diri”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar