Sabtu, 15 September 2018

KECAKAPAN MENALAR, BERPIKIR DENGAN TEPAT

Oleh 
Eusebius Purwadi

Berpikir/Menalar
Dengan kata lain ditunjuk sasaran atau bidang logika, yaitu kegiatan pikiran atau akal budi manusia. Dengan berpikir dimaksudkan kegiatan akal untuk "mengolah" pengetahuan yang telah kita terima melalui panca indra, dan ditunjukan untuk mencapai suatu kebenaran.

Jadi, dengan istilah "berpikir" ditunjukkan suatu bentuk kegiatan akal yang khas dan terarah. "Melamun" tidaklah sama dengan berpikir, demikian pula merasakan, pekerjaan panca indera (melihat, mendengar, dan sebagainya), dan kegiatan ingatan dan khayalan, meskipun ini semua penting sekali untuk dapat berpikir (dan menghasilkan buah pikiran yang berarti). Tetapi berpikir juga dapat berarti kegiatan kenyataan yang menggerakkan pikiran. Kenyataan yang memegang inisiatif.

Dengan kata-kata yang lebih sederhana dapat dikatakan berpikir adalah "bicara dengan dirinya sendiri di dalam batin" (Plato, Aristoteles); mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis, membuktikan sesuatu, menunjukan alasan-alasan, menarik kesimpulan, meneliti suatu jalan pikiran, mencari berbagai hal yang berhubungan satu sama lain, mengapa atau untuk apa sesuatu terjadi, serta membahas suatu realitas.


BERPIKIR DENGAN TEPAT
Dengan ini ditunjukkan segi khusus yang diperhatikan dalam logika, yaitu tepatnya pemikiran kita. Suatu jalan pikiran yang tepat dan jitu, yang sesuai dengan patokan-patokan seperti yang dikemukakan dalam logika, disebut "logis". Jalan pikiran yang tidak mengindahkan patokanpatokan logika itu tentu "berantakan" dan sesat - dan dari pikiran yang tersesat akan timbul tindakan yang sesat pula.

 ILMU

Ilmu, dirumuskan secara sederhana, adalah suatu kumpulan pengetahuan mengenai suatu bidang tertentu, yang merupakan suatu kesatuan yang tersusun secara sistematis, serta memberikan penjelasan yang dipertanggungjawabkan dengan menunjukkan sebab-sebabnya.

Setiap cabang ilmu membatasi diri pada salah satu bidang tertentu, dan mempelajari bidangnya itu dari segi tertentu. Pertanyaan yang terusmenerus diajukan dalam setiap ilmu adalah: apa yang terjadi, bagaimana, dan mengapa. Menjelaskan sesuatu berarti menunjukkan bagaimana hal yang satu berhubungan dengan hal-hal lain.

Logika adalah cabang ilmu, tetapi juga kondisi dan tuntutan fundamental mutlak eksistensi ilmu, yang secara sistematis menyelidiki, merumuskan, dan menerangkan asas-asas yang harus ditaati agar orang dapat berpikir dengan tepat, lurus dan teratur.

KECAKAPAN

Logika sebagai ilmu merumuskan aturan-aturan untuk pemikiran yang tepat. Kita mempelajari aturan-aturan tersebut untuk dapat menerapkannya, seperti misalnya dalam membuktikan sesuatu atau menganalisis suatu persoalan. Maksud pelajaran logika sangat praktis. Yang kita pentingkan dalam studi ini ialah: kecakapan menerapkan aturanaturan pemikiran yang tepat terhadap persoalan-persoalan konkret yang kita hadapi setiap hari, serta pembentukan sikap ilmiah, kritis, dan objektif.

PEMBAGIAN MATERI LOGIKA

Untuk menentukan aturan-aturan pemikiran yang tepat, logika menganalisis unsur-unsur pemikiran manusia. Apa unsur-unsur pemikiran itu? Mari kita lihat sebuah contoh.

"AKU TAK DAPAT MEMBELI MOBIL ITU KARENA MAHAL"

Dalam kalimat tersebut di atas terkandung unsur-unsur pokok pemikiran, yang sekaligus menjadi bagian materi-materi logika:

  1. Aku menangkap apa arti 'aku', 'mobil', 'membeli', dan sebagainya. Pekerjaan pikiran yang pertama ialah mengerti kenyataan (misalnya aku menangkap apa itu yang disebut mobil) serta membentuk pengertian-pengertian atas dasar pengetahuan keinderaan. Aku melihat suatu hubungan antara harga mobil tersebut (jumlah uang yang harus kubayar untuk membelinya) dengan keadaan keuanganku, yang hubungannya aku sebut 'mahal'.
  2. Pekerjaan akal yang kedua adalah menyatakan hubungan yang ada antara pengertian-pengertian yang telah ditangkap itu, dengan mengatakan 'ini adalah demikian'(S=P), atau memisahkan/ memungkiri dengan mengatakan 'ini tidaklah demikian' (S # P). Misalnya: mobil itu mahal; mobil itu tidak murah. Pernyataan demikian itu dalam logika disebut putusan, dan biasanya dinyatakan dalam bentuk kalimat berita. Atas dasar itu kutarik kesimpulan bahwa mobil (yang mungkin sangat kubutuhkan) tidak dapat kubeli.
  3. Pekerjaan akal yang ketiga adalah menyimpulkan, yaitu menghubungkan berbagai hal yang diketahui itu sedemikian rupa sehingga kita sampai pada suatu kesimpulan. Pekerjaan akal ini disebut penyimpulan.

Jalan pikiran semacam ini tidak perlu diucapkan dengan kata-kata. Cukup dipikirkan dalam batin. (Berpikir=bicara dengan dirinya sendiri di dalam batin). Tetapi dalam berpikir itu, kita mesti mempergunakan kata-kata tertentu, walaupun tidak diucapkan (maka disebut pengertian-pengertian atau konsep-konsep). Dan bila apa yang dipikirkan itu hendak diberitahukan pada orang lain (komunikasi), isi pikiran itu harus dikatakan atau dilahirkan dalam kata-kata (bahasa), term (istilah), atau tanda lain.

Dalam studi ini dipentingkan pekerjaan akal yang ketiga, yakni penyimpulan. Kita akan belajar menganalisis suatu jalan pikiran, bagaimana dan atas dasar apa orang sampai pada suatu kesimpulan. Lagipula, bagaimana menyusun sendiri suatu pemikiran atau pembuktian yang 'logis'. Tetapi untuk itu pekerjaan-pekerjaan akal yang lain perlu kita pelajari juga.

PEMIKIRAN
Pengetahuan manusia bermula dari pengalaman-pengalaman konkret, pengalaman sensitivo-rasional: fakta, objek-objek, kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiva vang di'ihat atau dialami. Tetapi akal kita tidak puas hanya dengan fakta saja. Akal kita ingin mengerti mengapa sesuatu itu demikian adanya. Maka kita bertanya terus dan mencari bagaimana hal-hal yang kita ketahui itu saling berhubungan satu dan lainnya, hubungan apa yang terdapat antara gejala-gejala yang kita alami, bagaimana kejadian yang satu mempengaruhi, menyebabkan atau ditentukan oleh kejadian yang lain. Mengerti sungguh-sungguh berarti mengerti bagaimana dan mengapa sesuatu itu demikian.

Contoh:

Dalam surat kabar dimuat sebuah foto yang mengerikan, yaitu suatu pandangan alam dengan pohon-pohon yang tumbang, awan yang tebal hitam, dan pada latar belakang tampak puncak sebuah gunung-api dengan asapnya yang kelabu.

Kalau kita bertanya: apa yang kita lihat, maka jawabannya ialah: objek-objek, barang-barang, fakta: pohon yang tumbang, awan yang tebal, puncak gunung api, dan sebagainya.

Sekarang kita bertanya lebih lanjut: Apa arti dari fakta yang kita lihat itu? Mengapa keadaan itu demikian? Apa yang terjadi di sana? Apakan ada hubungan tertentu antara fakta yang dilihat itu? ini jeias merupakan pertanyaan lain!

Sekarang kita tanyakan penjelasan dari fakta, yaitu apa sebab-sebab terjadinya fakta tersebut. Di sini baru mulai dibutuhkan pemikiran dalam arti sebenarnya dan dengan segala lika-likunya. Sebab, sangat mungkin kita sependapat tentang fakta itu sendiri (bahwa memang ada pohon-pohon yang tumbang, dan sebagainya), tetapi mungkin tidak sependapat tentang penjelasan fakta itu, yaitu mengapa terjadi demikian.

Misalnya ada yang mengatakan bahwa semua itu adalah akibat letusan gunung api! Dengan demikian, ia menunjukkan suatu hubungan tertentu antara fakta tersebut; yakni karena letusan gunung api, maka pohon-pohon tumbang. Tetapi mungkin juga pohon-pohon tumbang akibat terkena angin taufan, tanah longsor, atau akibat hujan lebat. Atau mungkin juga pohon-pohon itu memang sengaja ditebang karena di tempat itu orang membuka hutan untuk membangun jalan raya, tempat transmigrasi, dan lain-lain.

Suatu penjelasan, yang menunjukkan kaitan atau hubungan antara dua hal atau lebih, yang atas dasar alasan-alasan tertentu dan dengan langkah-langkah tertentu sampai pada suatu kesimpulan kita sebut sebagai suatu penalaran/pemikiran/penyimpulan. Salah satu target pokok pelajaran logika adalah menganalisis jalan pikiran dari suatu penalaran/ pemikiran/penyimpulan.

HUBUNGAN

Hubungan antara dua hal dapat dinyatakan dengan berbagai cara: 

Kalimat berita atau putusan

Hubungan antara dua hal diucapkan secara positif: 'ini adalah demikian' atau 'ini tidak demikian'. Misalnya: pohon-pohon tumbang; gunung api tidak meletus.

Hubungan sebab akibat

ini demikian karena...! misalnya: pohon-pohon tumbang karena tanah longsor.

Hubungan maksud tujuan (final)

Ini demikian untuk ... ! Misalnya: pohon-pohon ditebang untuk membuat jalan.

Hubungan bersyarat (kondisional)

Kalau ini begini, maka itu begitu. Misalnya: kalau orang membanguan jalan di sana, maka pohon-pohon perlu ditebang.

IMPLISIT-EKSPLISIT

Hubungan tersebut tidak selalu dinyatakan dengan terang-terangan atau eksplisit ('tersurat'); seringkali hanya secara implisit ('tersirat') saja.

Misalnya kalau dikatakan: pohon-pohon tumbang karena letusan gunung api,' sebenarnya ada suatu jalan pikiran yang di dalamnya, terdapat langkah-langkah tertentu yang mengaitkan 'pohon-pohon tumbang' dengan letusan gunung api' - tetapi tidak diutarakan dengan jelas, lengkap, dan terurai.

Untuk menganalisis jalan pikiran maka hal-hal yang hanya secara implisit terkandung di dalam suatu pemikiran kerapkali perlu dieksplisitkan, artinya dirumuskan secara terurai dan lengkap. Mampu melihat yang masih serba implisit atau mampu melihat implikasi suatu pernyataan atau proposisi dan mampu membukanya eksplisit, merupakan hal yang sangat penting dalam pemikiran deduktif.

Menguji Suatu Penalaran atau Suatu Jalan Pikiran

Tujuan pemikiran manusia adalah mencapai pengetahuan yang benar dan sedapat mungkin pasti. Tetapi dalam kenyataannya hasil pemikiran (=kesimpulan) maupun alasan-alasan yang diajukan belum tentu sclalu benar!

Benar = Sesuai dengan kenyataan. Jadi, apabila yang dipikirkan itu hetul-betul demikian, cocok dengan realitas. Salah = tidak sesuai dengan Kenyataan. Jadi, apabila apa yang dipikirkan atau dikatakan itu tidak cocok dengan realitas yang sebenarnya.

Jadi, ukuran untuk menentukan apakah suatu pemikiran atau ucapan itu benar atau tidak benar, bukanlah rasa senang atau tidak senang, didengar atau tidak enak didengar, melainkan cocok atau tidak dengan realitas atau fakta; suatu hal atau peristiwa dibahas dengan semestinya atau tidak. Misalnya dalam contoh di atas, bila dikatakan: 'Ini terjadi karena tanah longsor,' padahal dalam kenyataan tidak terjadi tanah longsor, maka ucapan atau penjelasan tersebut tidak benar, alias salah (betapapun saya merasa yakin atas ucapan tersebut, atau biarpun dikemukakan dengan penuh keyakinan, dengan suara keras, dan sebagainya). Sebab, faktanya atau kenyataannya tidak ada tanah longsor di tempat itu.

EMPAT PERTANYAAN

Untuk menguji suatu pemikiran, paling sedikit ada empat pertanyaan yang mesti diajukan:

  1. Apa yang hendak ditegaskan, atau apa pokok pernyataan (statement) yang diajukan? Ini selanjutnya kita sebut kesimpulan.
  2. Bagaimana hal itu: Atas dasar apa orang sampai pada kesimpulan atau pertanyaan itu? Apa titik pangkalnya? Apa alasan-alasannya? (Dengan istilah teknis disebut premis-premisnya).
  3. Bagaimana jalan pikiran yang mengaitkan alasan-alasan yang diajukan dan kesimpulan yang ditarik? Bagaimana langkah-langkahnya?
  4. Apakah kesimpulan itu 'sah' (memang dapat ditarik dari alasan-alasan itu?) Apakah kesimpulan atau penjelasan itu benar? Apakah pasti? Atau hanya mungkin benar? Sangat mungkin tidak benar?

Sebagai alat pembantu menguji atau menganalisis suatu pemikiran, maka berguna sekali menyusun jalan pikirannya dalam bentuk sebuah skema sehingga tampak jelas mana merupakan kesimpulan, mana yang alasan, serta bagaimana orang tertentu menarik kesimpulan tertentu dari alasan-alasan.

contoh:

Seseorang anak ternggelam di sungai; dalam keadaan pingsan ia ditarik keluar dari air. Tetangga yang melihatnya berkata: "Ia tidak bernafas lagi". Ibunya mulai menangis, "Anakku mati !". Dirumuskan secara singkat: "Dia tidak bernafas lagi. Berarti (Jadi) ia mati".

Pokok pernyataan/kesimpulan:

Dia = Mati
Alasan/Premis:

Dia = tak bernafas lagi


Hubungan :

Karena ia tak bernafas lagi, maka ia dikatakan sudah mati. Titik pangkal (yang secara implisif menjadi landasan untuk menarik kesimpulan 'dia=sudah mati'): "barang siapa sudah tidak bernafas, berarti dia sudah mati" (bernafas = tanda hidup, maka bila sudah tidak bernafas sudah mati).

Sekarang dapat dianalisis dengan lebih teliti: Apakah kesimpulan tersebut benar? Apakah pasti? kalau tidak, mengapa? apakah titik pangkalnya tepat? apakah alasannya cukup kuat? apakah jalan pikirannya sudah logis?.

Alasn sebenarnya mengapa 'dia' dikatakan (=) 'mati' (= kesimpulan) ialah : hubungan antara tak bernafas lagi dan mati. Hubungan tersebut tidak diutarakan secara terang-terangan atau eksplisit, tetapi secara diam-diam atau implisit (tersirat) merupakan landasan atau dasar mengapa dia dikatakan sudah mati Jika kebenaran kesimpulan disangsikan, maka yang dipersoalakan bukan benar 'dia tidak bernafas lagi', melainkan apakah 'tak bernafas lagi itu sudah pasti berarti 'sudah mati'? Belum tentu ! bergantung pada berbagai hal, antara lain, berapa lama ia tak bernafas lagi !.

Jadi, kesimpualn  'dia=mati' hanya benar, jika bahwa 'tak bernafas lagi' betul-betul berarti mati.

Tidak ada komentar: