Oleh
Eusebius Purwadi
Berpikir/Menalar
Dengan kata lain ditunjuk sasaran atau bidang
logika, yaitu kegiatan pikiran atau akal budi manusia. Dengan berpikir
dimaksudkan kegiatan akal untuk "mengolah" pengetahuan yang telah
kita terima melalui panca indra, dan ditunjukan untuk mencapai suatu kebenaran.
Jadi, dengan istilah "berpikir"
ditunjukkan suatu bentuk kegiatan akal yang khas dan terarah.
"Melamun" tidaklah sama dengan berpikir, demikian pula merasakan,
pekerjaan panca indera (melihat, mendengar, dan sebagainya), dan kegiatan ingatan
dan khayalan, meskipun ini semua penting sekali untuk dapat berpikir (dan
menghasilkan buah pikiran yang berarti). Tetapi berpikir juga dapat berarti
kegiatan kenyataan yang menggerakkan pikiran. Kenyataan yang memegang
inisiatif.
Dengan kata-kata yang lebih sederhana dapat
dikatakan berpikir adalah "bicara dengan dirinya sendiri di dalam
batin" (Plato, Aristoteles); mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis,
membuktikan sesuatu, menunjukan alasan-alasan, menarik kesimpulan, meneliti
suatu jalan pikiran, mencari berbagai hal yang berhubungan satu sama lain,
mengapa atau untuk apa sesuatu terjadi, serta membahas suatu realitas.
BERPIKIR DENGAN TEPAT
Dengan ini ditunjukkan segi khusus yang
diperhatikan dalam logika, yaitu tepatnya pemikiran kita. Suatu jalan pikiran
yang tepat dan jitu, yang sesuai dengan patokan-patokan seperti yang
dikemukakan dalam logika, disebut "logis". Jalan pikiran yang tidak
mengindahkan patokanpatokan logika itu tentu "berantakan" dan sesat -
dan dari pikiran yang tersesat akan timbul tindakan yang sesat pula.
Ilmu, dirumuskan secara sederhana, adalah suatu
kumpulan pengetahuan mengenai suatu bidang tertentu, yang merupakan suatu
kesatuan yang tersusun secara sistematis, serta memberikan penjelasan yang
dipertanggungjawabkan dengan menunjukkan sebab-sebabnya.
Setiap cabang ilmu membatasi diri pada salah satu
bidang tertentu, dan mempelajari bidangnya itu dari segi tertentu. Pertanyaan
yang terusmenerus diajukan dalam setiap ilmu adalah: apa yang terjadi,
bagaimana, dan mengapa. Menjelaskan sesuatu berarti menunjukkan bagaimana hal
yang satu berhubungan dengan hal-hal lain.
Logika adalah cabang ilmu, tetapi juga kondisi dan
tuntutan fundamental mutlak eksistensi ilmu, yang secara sistematis
menyelidiki, merumuskan, dan menerangkan asas-asas yang harus ditaati agar
orang dapat berpikir dengan tepat, lurus dan teratur.
KECAKAPAN
Logika sebagai ilmu merumuskan aturan-aturan untuk
pemikiran yang tepat. Kita mempelajari aturan-aturan tersebut untuk dapat
menerapkannya, seperti misalnya dalam membuktikan sesuatu atau menganalisis
suatu persoalan. Maksud pelajaran logika sangat praktis. Yang kita pentingkan
dalam studi ini ialah: kecakapan menerapkan aturanaturan pemikiran yang tepat
terhadap persoalan-persoalan konkret yang kita hadapi setiap hari, serta
pembentukan sikap ilmiah, kritis, dan objektif.
PEMBAGIAN MATERI LOGIKA
Untuk menentukan aturan-aturan pemikiran yang
tepat, logika menganalisis unsur-unsur pemikiran manusia. Apa unsur-unsur
pemikiran itu? Mari kita lihat sebuah contoh.
"AKU TAK DAPAT MEMBELI MOBIL ITU KARENA MAHAL"
Dalam kalimat tersebut di atas terkandung
unsur-unsur pokok pemikiran, yang sekaligus menjadi bagian materi-materi
logika:
- Aku menangkap apa arti 'aku', 'mobil', 'membeli', dan sebagainya. Pekerjaan pikiran yang pertama ialah mengerti kenyataan (misalnya aku menangkap apa itu yang disebut mobil) serta membentuk pengertian-pengertian atas dasar pengetahuan keinderaan. Aku melihat suatu hubungan antara harga mobil tersebut (jumlah uang yang harus kubayar untuk membelinya) dengan keadaan keuanganku, yang hubungannya aku sebut 'mahal'.
- Pekerjaan akal yang kedua adalah menyatakan hubungan yang ada antara pengertian-pengertian yang telah ditangkap itu, dengan mengatakan 'ini adalah demikian'(S=P), atau memisahkan/ memungkiri dengan mengatakan 'ini tidaklah demikian' (S # P). Misalnya: mobil itu mahal; mobil itu tidak murah. Pernyataan demikian itu dalam logika disebut putusan, dan biasanya dinyatakan dalam bentuk kalimat berita. Atas dasar itu kutarik kesimpulan bahwa mobil (yang mungkin sangat kubutuhkan) tidak dapat kubeli.
- Pekerjaan akal yang ketiga adalah menyimpulkan, yaitu menghubungkan berbagai hal yang diketahui itu sedemikian rupa sehingga kita sampai pada suatu kesimpulan. Pekerjaan akal ini disebut penyimpulan.
Jalan pikiran semacam ini tidak perlu diucapkan
dengan kata-kata. Cukup dipikirkan dalam batin. (Berpikir=bicara dengan dirinya
sendiri di dalam batin). Tetapi dalam berpikir itu, kita mesti mempergunakan
kata-kata tertentu, walaupun tidak diucapkan (maka disebut
pengertian-pengertian atau konsep-konsep). Dan bila apa yang dipikirkan itu
hendak diberitahukan pada orang lain (komunikasi), isi pikiran itu harus
dikatakan atau dilahirkan dalam kata-kata (bahasa), term (istilah), atau tanda
lain.
Dalam studi ini dipentingkan pekerjaan akal yang
ketiga, yakni penyimpulan. Kita akan belajar menganalisis suatu jalan pikiran,
bagaimana dan atas dasar apa orang sampai pada suatu kesimpulan. Lagipula,
bagaimana menyusun sendiri suatu pemikiran atau pembuktian yang 'logis'. Tetapi
untuk itu pekerjaan-pekerjaan akal yang lain perlu kita pelajari juga.
Pengetahuan manusia bermula dari pengalaman-pengalaman
konkret, pengalaman sensitivo-rasional: fakta, objek-objek, kejadian-kejadian
atau peristiwa-peristiva vang di'ihat atau dialami. Tetapi akal kita tidak puas
hanya dengan fakta saja. Akal kita ingin mengerti mengapa sesuatu itu demikian
adanya. Maka kita bertanya terus dan mencari bagaimana hal-hal yang kita
ketahui itu saling berhubungan satu dan lainnya, hubungan apa yang terdapat
antara gejala-gejala yang kita alami, bagaimana kejadian yang satu
mempengaruhi, menyebabkan atau ditentukan oleh kejadian yang lain. Mengerti
sungguh-sungguh berarti mengerti bagaimana dan mengapa sesuatu itu demikian.
Contoh:
Dalam surat kabar dimuat sebuah foto yang
mengerikan, yaitu suatu pandangan alam dengan pohon-pohon yang tumbang, awan
yang tebal hitam, dan pada latar belakang tampak puncak sebuah gunung-api
dengan asapnya yang kelabu.
Kalau kita bertanya: apa yang kita lihat, maka
jawabannya ialah: objek-objek, barang-barang, fakta: pohon yang tumbang, awan
yang tebal, puncak gunung api, dan sebagainya.
Sekarang kita bertanya lebih lanjut: Apa arti dari
fakta yang kita lihat itu? Mengapa keadaan itu demikian? Apa yang terjadi di
sana? Apakan ada hubungan tertentu antara fakta yang dilihat itu? ini jeias
merupakan pertanyaan lain!
Sekarang kita tanyakan penjelasan dari fakta, yaitu
apa sebab-sebab terjadinya fakta tersebut. Di sini baru mulai dibutuhkan
pemikiran dalam arti sebenarnya dan dengan segala lika-likunya. Sebab, sangat
mungkin kita sependapat tentang fakta itu sendiri (bahwa memang ada pohon-pohon
yang tumbang, dan sebagainya), tetapi mungkin tidak sependapat tentang
penjelasan fakta itu, yaitu mengapa terjadi demikian.
Misalnya ada yang mengatakan bahwa semua itu adalah
akibat letusan gunung api! Dengan demikian, ia menunjukkan suatu hubungan tertentu
antara fakta tersebut; yakni karena letusan gunung api, maka pohon-pohon
tumbang. Tetapi mungkin juga pohon-pohon tumbang akibat terkena angin taufan,
tanah longsor, atau akibat hujan lebat. Atau mungkin juga pohon-pohon itu
memang sengaja ditebang karena di tempat itu orang membuka hutan untuk
membangun jalan raya, tempat transmigrasi, dan lain-lain.
Suatu penjelasan, yang menunjukkan kaitan atau
hubungan antara dua hal atau lebih, yang atas dasar alasan-alasan tertentu dan
dengan langkah-langkah tertentu sampai pada suatu kesimpulan kita sebut sebagai
suatu penalaran/pemikiran/penyimpulan. Salah satu target pokok pelajaran logika
adalah menganalisis jalan pikiran dari suatu penalaran/ pemikiran/penyimpulan.
HUBUNGAN
Hubungan antara dua hal dapat dinyatakan dengan
berbagai cara:
Kalimat berita atau putusan
Hubungan antara dua hal diucapkan secara positif:
'ini adalah demikian' atau 'ini tidak demikian'. Misalnya: pohon-pohon tumbang;
gunung api tidak meletus.
Hubungan sebab akibat
ini demikian karena...! misalnya: pohon-pohon
tumbang karena tanah longsor.
Hubungan maksud tujuan (final)
Ini demikian untuk ... ! Misalnya: pohon-pohon
ditebang untuk membuat jalan.
Hubungan bersyarat (kondisional)
Kalau ini begini, maka itu begitu. Misalnya: kalau
orang membanguan jalan di sana, maka pohon-pohon perlu ditebang.
IMPLISIT-EKSPLISIT
Hubungan tersebut tidak selalu dinyatakan dengan
terang-terangan atau eksplisit ('tersurat'); seringkali hanya secara implisit
('tersirat') saja.
Misalnya kalau dikatakan: pohon-pohon tumbang
karena letusan gunung api,' sebenarnya ada suatu jalan pikiran yang di
dalamnya, terdapat langkah-langkah tertentu yang mengaitkan 'pohon-pohon
tumbang' dengan letusan gunung api' - tetapi tidak diutarakan dengan jelas,
lengkap, dan terurai.
Untuk menganalisis jalan pikiran maka hal-hal yang
hanya secara implisit terkandung di dalam suatu pemikiran kerapkali perlu
dieksplisitkan, artinya dirumuskan secara terurai dan lengkap. Mampu melihat
yang masih serba implisit atau mampu melihat implikasi suatu pernyataan atau
proposisi dan mampu membukanya eksplisit, merupakan hal yang sangat penting
dalam pemikiran deduktif.
Menguji Suatu Penalaran atau Suatu Jalan Pikiran
Tujuan pemikiran manusia adalah mencapai
pengetahuan yang benar dan sedapat mungkin pasti. Tetapi dalam kenyataannya
hasil pemikiran (=kesimpulan) maupun alasan-alasan yang diajukan belum tentu
sclalu benar!
Benar = Sesuai dengan kenyataan. Jadi, apabila yang
dipikirkan itu hetul-betul demikian, cocok dengan realitas. Salah = tidak
sesuai dengan Kenyataan. Jadi, apabila apa yang dipikirkan atau dikatakan itu
tidak cocok dengan realitas yang sebenarnya.
Jadi, ukuran untuk menentukan apakah suatu
pemikiran atau ucapan itu benar atau tidak benar, bukanlah rasa senang atau
tidak senang, didengar atau tidak enak didengar, melainkan cocok atau tidak
dengan realitas atau fakta; suatu hal atau peristiwa dibahas dengan semestinya
atau tidak. Misalnya dalam contoh di atas, bila dikatakan: 'Ini terjadi karena
tanah longsor,' padahal dalam kenyataan tidak terjadi tanah longsor, maka
ucapan atau penjelasan tersebut tidak benar, alias salah (betapapun saya merasa
yakin atas ucapan tersebut, atau biarpun dikemukakan dengan penuh keyakinan,
dengan suara keras, dan sebagainya). Sebab, faktanya atau kenyataannya tidak
ada tanah longsor di tempat itu.
EMPAT PERTANYAAN
Untuk menguji suatu pemikiran, paling sedikit ada
empat pertanyaan yang mesti diajukan:
- Apa yang hendak ditegaskan, atau apa pokok pernyataan (statement) yang diajukan? Ini selanjutnya kita sebut kesimpulan.
- Bagaimana hal itu: Atas dasar apa orang sampai pada kesimpulan atau pertanyaan itu? Apa titik pangkalnya? Apa alasan-alasannya? (Dengan istilah teknis disebut premis-premisnya).
- Bagaimana jalan pikiran yang mengaitkan alasan-alasan yang diajukan dan kesimpulan yang ditarik? Bagaimana langkah-langkahnya?
- Apakah kesimpulan itu 'sah' (memang dapat ditarik dari alasan-alasan itu?) Apakah kesimpulan atau penjelasan itu benar? Apakah pasti? Atau hanya mungkin benar? Sangat mungkin tidak benar?
Sebagai alat pembantu menguji atau menganalisis
suatu pemikiran, maka berguna sekali menyusun jalan pikirannya dalam bentuk
sebuah skema sehingga tampak jelas mana merupakan kesimpulan, mana yang alasan,
serta bagaimana orang tertentu menarik kesimpulan tertentu dari alasan-alasan.
contoh:
Seseorang anak ternggelam di sungai; dalam keadaan
pingsan ia ditarik keluar dari air. Tetangga yang melihatnya berkata: "Ia
tidak bernafas lagi". Ibunya mulai menangis, "Anakku mati !".
Dirumuskan secara singkat: "Dia tidak bernafas lagi. Berarti (Jadi) ia
mati".
Pokok pernyataan/kesimpulan:
Dia = Mati
Alasan/Premis:
Dia = tak bernafas lagi
Hubungan :
Karena ia tak bernafas lagi, maka ia dikatakan
sudah mati. Titik pangkal (yang secara implisif menjadi landasan untuk menarik
kesimpulan 'dia=sudah mati'): "barang siapa sudah tidak bernafas, berarti
dia sudah mati" (bernafas = tanda hidup, maka bila sudah tidak bernafas sudah
mati).
Sekarang dapat dianalisis dengan lebih teliti:
Apakah kesimpulan tersebut benar? Apakah pasti? kalau tidak, mengapa? apakah
titik pangkalnya tepat? apakah alasannya cukup kuat? apakah jalan pikirannya
sudah logis?.
Alasn sebenarnya mengapa 'dia' dikatakan (=) 'mati'
(= kesimpulan) ialah : hubungan antara tak bernafas lagi dan mati. Hubungan
tersebut tidak diutarakan secara terang-terangan atau eksplisit, tetapi secara
diam-diam atau implisit (tersirat) merupakan landasan atau dasar mengapa dia
dikatakan sudah mati Jika kebenaran kesimpulan disangsikan, maka yang dipersoalakan
bukan benar 'dia tidak bernafas lagi', melainkan apakah 'tak bernafas lagi itu
sudah pasti berarti 'sudah mati'? Belum tentu ! bergantung pada berbagai hal,
antara lain, berapa lama ia tak bernafas lagi !.
Jadi, kesimpualn
'dia=mati' hanya benar, jika bahwa 'tak bernafas lagi' betul-betul
berarti mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar