Sudah pasti banyak mengira bahwa Jalur Gaza adalah
wilayah yang bebas dari Pandemi Covid-19 karena wilayah tersebut adalah adalah
wilayah yang terisolasi. Namun faktnya pada tanggal 22 Maret, ada sembilan
kasus yang terkonfirmasi positif Covid-19. Virus ini tiba di Gaza melalui dua pria yang terinfeksi, yang memasuki Gaza melalui Mesir setelah mengunjungi Pakistan. Respon terhadap keberadaan dua pria yang terinfeksi Covid-19, pemerintah
Hamas menutup restoran, ruang pernikahan dan sholat Jumat di Jalur Gaza.
Sekitar 2.000 warga Gaza melakukan karantina mandiri. Di sisi lain, beberapa
kilometer dari Gaza menuju perbatasan militer di Israel, jumlah pasien meledak
mencapai 9.404 kasus dan 72 kematian pada tanggal 8 April 2020. Benar-benar
ketinggalan zaman, pemerintah Netanyahu sedang mempersiapkan untuk Lockdown
total dan memberikan denda berat kepada yang mereka yang melakukan kegiatan
yang tidak penting.
Kehidupan di Tepi Barat, di mana penduduk telah
lama terbiasa dengan jam malam dan keadaan darurat, telah dihentikan oleh
Otoritas Palestina yang dipimpin Fatah dan pemerintah Israel sejak kasus
pertama COVID-19 dikonfirmasi di Bethlehem pada awal Maret. Pada 8 April,
provinsi yang diduduki telah mengkonfirmasi 192 kasus COVID-19 dan seorang
wanita lanjut usia meninggal. Namun, baik Fatah maupun Hamas tidak mampu
menangani apa yang terjadi. Dengan kondisi kehidupan yang sudah menyedihkan dan
sistem kesehatan yang hampir tidak ada, Gaza dan Tepi Barat akan dilanda virus
itu.
Negara Israel mengklaim khawatir tentang penyebaran
virus di Gaza. Meskipun kurangnya pengujian di Israel, pemerintah Netanyahu
telah berjanji untuk mengirim 200 tes ke Gaza. Coordination of Government
Activities in the Territories (COGAT), sebuah badan militer yang
berkoordinasi dengan Otoritas Palestina mengatakan: "Virus dan penyakit tidak memiliki batas, oleh karena itu mencegah epidemi COVID-19 di Gaza [dan diTepi Barat] adalah untuk kepentingan Israel. ” Namun faktanya tidak demikian, karena pada
akhir Maret angkatan bersenjata Israel menyerang tenda-tenda medis yangdidirikan di Gaza untuk mengatasi epidemi. Israel tidak punya harapan untuk
menahan epidemi apa pun di perbatasan Gaza, bahkan jika perlu mengorbankan
jutaan warga Palestina. Situasi ini akan menyebabkan krisis besar di
bulan-bulan mendatang karena garis panjang pengungsi akan berbaris di
perbatasan Israel mencari bantuan medis.
Sementara itu, Pemerintah Israel sedang memastikan
ekonominya selamat dari virus dengan kerusakan minimal. Sebanyak 70.000 pekerja
Arab yang ada di Israel ditempatkan di tempat kerja mereka masing-masing untuk
terus bekerja di bidang konstruksi dan pertanian. Kelas penguasa lebih suka
membahayakan nyawa para pekerja ini daripada terjadinya penurunan dalam bidang industri.
Buruh Palestina di Israel dilaporkan memiliki hasil tes positif dan dengan
alasan perawatan, mereka justru diturunkan di perbatasan Tepi Barat.
SUDAH TIDAK BISA DI HUNI
Kegagalan sistem perawatan kesehatan di Gaza sudah lama
melewati batas batasnya. Selama lima tahun setelah dimulainya blokade
Israel-Mesir pada 2007, PBB merilis sebuah laporan yang memperkirakan bahwa
Gaza akan dianggap wilayah yang tidak
dapat dihuni pada tahun 2020. Pada awal tahun ini, lebih dari setengah
obat-obatan penting adalah setengahnya dari stok yang diperlukan atau sudah
habis. Hanya ada 2.895 tempat tidur rumah sakit untuk populasi lebih dari 2
juta atau 1,3 tempat tidur per 1.000 populasi. WHO telah menyatakan bahwa minimal
5 tempat tidur per 1000 populasi diperlukan untuk mengatasi epidemi COVID-19.
Lebih buruk lagi, pemerintah hanya memiliki 62 respirator, 15 di antaranya
sudah digunakan. WHO telah mengatakan akan membutuhkan setidaknya 100
respirator lagi untuk mengatasi ledakan jumlah pasien, tetapi itu sama sekali
tidak siap untuk merawat mereka.
Meskipun demikian, WHO hanya menawarkan dukungan
dalam bentuk rumah sakit lapangan dengan tambahan 38 tempat tidur. Abdelnasser
Soboh, pemimpin WHO di Gaza, mengatakan ia hanya akan mampu menangani 100 kasus
pertama jika epidemi berlangsung lambat. Hamas telah menciptakan 20 fasilitas
karantina yang mampu menampung 1.200 orang. Tingkat keparahan krisis layanan
kesehatan semakin diperparah dengan kekurangan dokter. Sementara pada tahun
2012 PBB melaporkan bahwa Gaza akan membutuhkan 1.000 dokter baru pada tahun
2020, dan tiga tahun terakhir telah kehilangan 160 dokter, sementara ribuan
melarikan diri dari Jalur Gaza ke mencari kondisi kehidupan yang lebih baik.
Ini bukan kecelakaan, tetapi hasil dari serangan
imperialisme Israel selama bertahun-tahun. Standar hidup di Gaza semakin
menurun, menciptakan jurang yang semakin lebar antara kondisi kehidupan warga
Palestina dan Israel yang tinggal di kedua sisi perbatasan. Orang Israel hidup
rata-rata 10 tahun lebih lama daripada orang Palestina. Dengan COVID-19
mendekat, kondisi ini telah menciptakan situasi yang sangat berbahaya untuk
seluruh wilayah.
TERJEBAK
Dari beberapa alternatif, jarak sosial terbukti memperlambat
penyebaran COVID-19. Namun dalam prakteknya, tidak mungkin di lakukan pada
Jalur Gaza, yang mana tingkat kepadatan populasinya tertinggi di dunia, yaitu
6.028 orang per kilometer persegi. Di sisi lain kawat berduri, di Israel,
kepadatan populasi maksimum adalah 500 orang per kilometer persegi.
Satu-satunya tempat di dunia dengan kepadatan populasi lebih tinggi daripada di
Jalur Gaza adalah Hong Kong, di mana setidaknya ada kebebasan bergerak relatif.
Pusat-pusat populasi terbesar adalah kamp-kamp pengungsi, yang memiliki
kepadatan penduduk yang sangat tinggi dibandingkan dengan kota-kota. Di kamp
Jabalia, ada 140.000 pengungsi yang menempati area yang luasnya hanya 1,4 km².
Kamp Jabalia hanya memiliki tiga klinik dan rumah sakit. Dengan tingkat
kepadatan penduduk seperti itu lalu dikombinasikan dengan ketiadaan
infrastruktur yang nyata karena ada blokade dan pendudukan berkelanjutan oleh
negara Israel, maka tidak ada jalan keluar bagi Palestina di Gaza. Bagaimana
seseorang dapat dikurung dengan baik ketika keluarga, tetangga, teman, dan
sepupu semuanya tinggal di rumah kecil yang sama?
Kemiskinan ekstrem merajalela di seluruh wilayah,
dan tidak ada pekerjaan. Antara 2012 dan 2020, angka pengangguran resmi naik
dari 29% menjadi 53%, dan 67% dari pengangguran tersebut mayoritas kaum muda
Gaza. Bahkan kebutuhan paling mendasar - minum air bersih - tidak dijamin di
Gaza. Menurut PBB, sebanyak 97% air tanah telah dinyatakan tidak aman untuk
dikonsumsi. Hal ini bertentangan dengan semua yang diperlukan untuk menghadapi
krisis. Peralatan medis, obat-obatan, kebersihan dasar adalah prasyarat yang
diperlukan untuk mengelola penyakit apa pun, apalagi virus yang ganas seperti
COVID-19. Namun, di Gaza, pasti sebaliknya. Setiap penyakit akan menyebar
dengan cepat di antara populasi, dan karena blokade orang sakit akan dibiarkan
berjuang sendiri. Seringkali situasi di Gaza digambarkan sebagai krisis
kemanusiaan: situasi yang mengerikan tanpa solusi atau sebab. COVID-19 buktinya.
Tetapi kondisi-kondisi biadab ini murni merupakan ciptaan imperialisme Israel
dan sekutu "demokratis" Baratnya. Kengerian yang ditimbulkan oleh
penyebaran virus korona di antara warga Gaza juga akan menjadi kesalahan
mereka.
PENDUDUKAN DAN NEGARA ISRAEL
Bertahun-tahun agresi imperialis oleh Israel,
didukung oleh imperialisme Amerika dan Eropa, telah menjadikan Gaza salah satu
tempat paling rentan di planet ini jika terjadi epidemi serius. Buruh di Gaza
terperangkap di antara imperialisme dan faksi nasionalis borjuis yang sedang
bersaing, seperti Hamas dan PLO, yang gagal memberikan solusi apa pun.
Negara Israel telah membatasi akses warga Palestina
ke makanan, listrik, dan pasokan medis yang secara signifikan akan melemahkan
respons terhadap COVID-19. Ini bukan hal baru jika mengingat blokade terhadap bantuan
kemanusiaan yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Bahkan IDF tanpa pandang
bulu menembak mati para dokter yang merawat yang terluka dalam demonstrasi yang
baru-baru ini terjadi pada bulan. COGAT telah menghentikan siapapun yang masuk
ke Israel dari Gaza dan Tepi Barat. Meskipun demikian, pada tanggal 22 Maret, seorang
pejabat senior kesehatan Palestina mengatakan kepada harian Israel Hayom bahwa
kekhawatiran utamanya adalah jika virus menyebar ke Gaza dan sistem kesehatan
yang sudah rapuh runtuh, "ribuan Palestina akan berusaha mencapai
perbatasan Israel." Blokade itu bahkan menyebabkan eksodus petugas
kesehatan, mengubah rekomendasi dari 300 atau 400 dokter yang diperlukan untuk
mengelola epidemi menjadi mimpi utopis yang manis. Ini adalah krisis
kemanusiaan yang serius, karena berpotensi ratusan ribu warga Palestina yang
putus asa dapat mencari suaka dan perawatan medis dari Israel.
Pada saat yang sama, Palestina tidak dapat
mengandalkan para pemimpin nasional mereka untuk menghadapi krisis. Para
pemimpin borjuis menggunakan penderitaan kaum buruh untuk menyerang lawan
politik mereka. Otoritas Palestina yang dipimpin Fatah terus menghukum Gaza,
merampas pasien dari pasokan medis penting. Pada dasarnya, Fatah hari ini tidak
lebih dari agen imperialisme Israel, bertindak sebagai penjaga penjara untuk
Palestina. Hamas, yang telah lama berselisih dengan Fatah, sekarang menyerukan
"persatuan Palestina", mengisyaratkan beberapa bentuk kerjasama
dengan Fatah sebagai imbalan atas pencabutan sanksi terhadap Gaza. Tetapi
persatuan dua sayap borjuis Palestina ini tidak memiliki apa-apa untuk
ditawarkan kepada rakyat Palestina.
Selama beberapa dekade, borjuasi Palestina bekerja
berdampingan dengan imperialisme, dan menjual para pekerja sebagai imbalan atas
beberapa hasil eksploitasi massa Palestina. Hal ini kembali ke Oslo Accords
(1993), yang merupakan pengkhianatan Intifada. Dengan menolak melepaskan diri
dari kapitalisme, para pemimpin Palestina telah membawa massa ke jalan buntu.
Dalam hal ini, mereka didukung oleh para pemimpin Arab yang terlepas dari semua
pembicaraan mereka tentang pembebasan Palestina, selalu bersatu dengan kelas
penguasa Israel. Faktanya, kondisi kehidupan massa tidak pernah lebih buruk.
Dengan penyebaran COVID-19, proses ini hanya akan mempercepat.
Sementara Otoritas Palestina panik, menyatakan
keadaan darurat dan mengambil sedikit tindakan, para pekerja telah menunjukkan
bahwa mereka dapat mengelola diri mereka sendiri. Di Bethlehem, pusat COVID-19
di Tepi Barat, 3000 pekerja telah mengorganisir diri menjadi komite darurat.
Pengorganisasian dalam dewan adalah tradisi revolusioner panjang pekerja
Palestina, yang berasal dari Intifada Pertama, ketika kepemimpinan mereka
menelantarkan mereka dengan cara yang sama. Di sisi lain, kaum pekerja Israel
juga menderita karena kurangnya dana untuk layanan kesehatan, sementara
kekayaan cabul ada di negara itu. Ketika krisis semakin dalam di Israel, akan
ada ketidakpuasan besar-besaran. Oleh karena itu, cepat atau lambat, massa
Palestina akan dapat terhubung dengan pola pikir anti-sistem yang ada di
Israel, untuk sebuah front persatuan melawan penguasa Israel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar