Rabu, 01 Juli 2020

PANDEMI COVID-19: SOLIDARITAS SOSIAL DI TENGAH METAFORA PERANG

Oleh : 
Eusebius Purwadi, S.H.

Hingga 24 Juni 2020, sebanyak 215 negara dan wilayah telah melaporkan sebanyak 9.637.532 orang positif terinfeksi COVID-19.[1] Dari jumlah orang yang positif tersebut, sebanyak 487.639 orang meninggal dunia dan 5.235.032 orang masih dalam pemulihan atau perawatan. 
Karena belum ada vaksin yang bisa menghentikan penularan Covid-19, hampir semua negara melakukan lockdown dengan metodenya masing-masing. Namun, ditengah proses lockdown, muncul kesadaran bahwa tidak mungkin menghentikan aktivitas ekonomi dan politik secara ketat dengan alasan belum ditemukan vaksin. Akhirnya, beberapa negara sudah melonggarkan lockdown dan memasuki fase new normal dengan diikuti protokol kesehatan. Hal ini sudah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Walaupun demikian, upaya pelonggaran tersebut tidak mempercepat roda ekonomi karena lantara masih diliputi kecemasan gelombang kedua pandemi covid-19. Kecemasan seakan-akan menjadi kenyataan ketika banyak informasi muncul gelombang pandemik kedua di Tiongkok, Korea Selatan dan beberapa negara eropa lainnya. Dibuktikan pemerintah setempat Tiongkok membatalkan sejumlah penerbangan domestik, melarang perjalanan keluar, dan memberlakukan kembali lockdown di beberapa wilayah.[2] Bahkan Korea Selatan tidak mengira, bahwa datangnya gelombang kedua virus corona lebih cepat.[3] Begitu juga yang terjadi Amerika Serikat, Brazil, dan Jerman yang faktanya sudah menghadapi gelombang kedua virus corona.[4]

Situasi kecemasan masyarakat semakin menguat ketika para pejabat dan tokoh-tokoh masyarakat melihat situasi saat ini digambarkan situasi perang. Dan perang saya maksud, tidaklah lebih hanya sebuat metafora atau ‘metafora perang’. Metafora perang ini keluar dari pernyataan pejabat Kementerian Pertahanan (Wamenhan) Sakti Wahyu Trenggono yang menggambarkan situasi pandemi sebagai situasi perang atau sedang bertempur dengan virus covid-19.[5]  Menariknya, Presiden Amerika Serikat Donald Trumph menggunakan metafora dalam menghadapi pandemi covid-19. Presiden Prancis Emmanuel Macron juga tidak mau kalah membangun wacara metafora perang dalam menghadapi pandemi covid-19 sebagai situasi/keadaan perang.[6]  Bahkan, seorang tenaga medis, seperti dokter sekaligus Ahli Racun dari Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Sarosa, dr. Tri Maharani juga membangun sebuah metafora perang, katanya: “Lebih baik fokus menyiapkan diri dalam peperangan yang panjang,”[7] Tokoh muda Kota Surabaya seperti Seno Bagaskoro pun membangun wacana metafora perang: "Kalau kita anak muda mau memenangkan ‘perang’ ini, mari berempati dengan kawan-kawan di garis medis, mereka yang dikorbankan waktu dan pikiran, sampai ke keluarganya,"[8]

Perang pasti dibutuhkan korban, dan korban itu adalah pahlawan. Maka konsekuensi logis metafora perang membutuhkan pula seorang pahlawan. Dan saat ini, banyak yang menilai, bahwa tenaga medis adalah pahlawan. Padahal, virus jenis covid-19 menjangkit kepada siapapun, tidak peduli itu kaya atau miskin, pejabat atau bukan pejabat, tenaga medis atau bukan tenaga medis. Tapi, karena virus tidak kelihatan, metafora perang sepertinya cocok digunakan.  Sehingga dalam situasi metafora perang, tenaga medis adalah ‘pahlawan’. Sedangkan mereka yang terjangkit covid-19 seperti tukang bakso, tukang pangsit, tukang becak, penjual sayuran bukanlah disebut korban, melainkan penghianat desersi. Disebut desersi karena tidak mematuhi aturan kondisi darurat ‘metafora perang’. Jadi, saya sengaja mohon maaf  dan tidak ada niat menyepelekan atau mengejek, namun apa yang dikatakan Achilles terhadap budaya ‘pahlawan’ di satu sisi ada benarnya: “Tetap di rumah atau berjuang paling keras - bagianmu akan sama. Pengecut dan pahlawan dihormati sama. Kematian tidak membedakan apa-apa dan apa-apa” (Iliad 9: 316-358).

Sekedar catatan, bukanlah pertama kalinya ketika dunia menghadapi pandemi, banyak tenaga medis menjadi korban lantaran ketidaksiapan dalam hal kapasitas medis. Contohnya ketika jadi wabah Ebola di Afrika, banyak dokter yang meninggal karena menangani pasien yang terjangkit ebola. Selain itu ada serangan mematikan malam hari oleh kelompok-kelompok bersenjata yang telah merenggut nyawa pekerja kesehatan garis depan yang membantu menghadapi virus Ebola yang mematikan di Republik Demokratik Kongo timur (DRC).[9] Selain serangan bersenjata, banyak dokter tertular ebola ketika menangani pasien ebola.[10] Kementerian Kesehatan Onyebuchi Chukwum, yang menyatakan hasil tes itu positif, mengatakan 70 orang lainnya yang diyakini telah melakukan kontak dengan dokter asal Liberia sedang dalam pengawasan.[11]  Bahkan sampai banyak dokter yang meninggal dunia akibat tertular ebola.[12] Apakah masyarakat dunia waktu itu bertepuk tangan buat para dokter yang menangangi ebola? Tidak. Apakah para dokter yang bekerja yang menghadapi bencana alam diberikan tepuk tangan sebagai Pahlawan?

Metafora perang analoginya membujuk warga negara untuk mematuhi langkah-langkah darurat  (Hartmann-Mahmud, 2002; Steinert, 2003). Kalau otoritas keamanan menggunakan istilah militeristik itu untuk mengkomunikasikan masalah pandemi covid-19 maka ada konsekuensi negatifnya. Apa itu? dengan menggunakan metafora perang, dampaknya krisis kesehatan masyarakat digambarkan sebagai konflik. Padahal, dalam prakteknya, perang dan penyakit menular sangat terkait erat (Hagopian, 2017; Ingram, 2009), di mana perang sebagai pintu penyebaran penyakit (Bashford, 2014).

Di sinilah, kita tidak perlu lagi membangun wacara militeristik seperti kata perang dalam menghadapi situasi pandemik covid-19. Yang dibutuhkan adalah solidaritas internasional. Internasional yang mana? Internasional yang berdasarkan perikemanusiaan. Itulah internasionalisme yang dimaksud Bung Karno, yaitu internasionalisme yang tidak bertentangan dengan nasionalisme yang berakar pada perikemanusiaan, seperti yang dikatakan Mahatma Gandhi: "Saya seorang nasionalis, akan tetapi nasionalisme saya adalah perikemanusiaan".

Kalau nasionalisme-nasionalisme tumbuh pada akar perikemanusiaan maka solidaritas internasional dapat tercapai. Mengapa demikian? Karena Bung Karno sudah menegaskan: “Internasionalisme tidak akan hidup subur kalau tidak berakar di dalam taman sarinya nasionalisme”. Hal ini disampaikan oleh Bung Karno dalam Sidang BPUPKI, dan dipertegas kembali dalam pidatonya di Sidang Umum PBB Ke XV tanggal 30 September 1960, dengan judul “To Build The World A New” : “Kamipun berkata demikian. Kami nasionalis, kami cinta kepada bangsa kami dan kepada semua bangsa. Kami nasionalis karena kami percaya bahwa bangsa-bangsa adalah sangat penting bagi dunia di masa sekarang ini, dan kami tetap demikian, sejauh mata dapat memandang ke masa depan. Karena kami nasionalis, maka kami mendukung dan menganjurkan nasionalisme di mana saja kami jumpainya.” Pernyataan ini memang perlu disampaikan oleh Bung Karno karena situasi dunia pada saat ini seperti yang dikatakan oleh Bertrand Russell, bahwa sebagian besar dunia telah terbagi menjadi dua golongan. Pertama, golongan yang menerima gagasan dan prinsip-prinsip Declaration of American Independence; dan kedua, adalah golongan yang menerima gagasan dan prinsip-prinsip Manifesto Komunis. Mereka menerima gagasan yang satu menolak gagasan yang lain, dan terdapatlah bentrokan atas dasar ideologis maupun praktis. Namun diantara perbedaan tersebut, Bung Karno memberikan jalan tengah atau Thirdway, yaitu perikemanusiaan.

Prinsip perikemanusiaan yang menjiwai solidaritas internasional dibutuhkan sikap atau nilai kesetaraan semua orang dalam martabat dan hak-hak serta jalan bersama individu-individu dan bangsa-bangsa menuju kesatuan yang semakin kokoh. Tidak pernah sebelumnya terdapat suatu kesadaran yang tersebar luas mengenai ikatan saling ketergantungan antara individu-individu dan bangsa-bangsa, yang ditemukan dalam setiap tingkatan sebelum terjadi Pandemi Covid-19. Perluasan informasi Pandemi Covid-19 yang “secara serta-merta” disajikan oleh teknologi informasi membawa kemajuan-kemajuan dan peluang-peluang untuk memapankan relasi di antara orang-orang yang dipisahkan oleh jarak yang sangat jauh dan tidak mengenal satu sama lain. Misalnya melalui Webinar, Ketua DPR RI Puan Maharani dalam Diskusi Panel bertajuk Internasional Cooperation To Defeat Covid-19 mengatakan: “Masyarakat dunia saat ini membutuhkan ‘physical distancing’ untuk mencegah penyebaran Covid-19 sedangkan hubungan antar negara yang dibutuhkan saat ini adalah nations uniting atau bangsa-bangsa bersatu untuk melawan musuh bersama kita, yaitu Covid-19”[13] Dan untuk pertama kalinya, Indonesia bersama Ghana, Liechtenstein, Norwegia, Singapura dan Swiss telah meloloskan resolusi Majelis Umum PBB berjudul “Global Solidarity to Fight COVID-19”, yang diputuskan secara aklamasi pada  2 April 2020 di Markas Besar PBB di New York.[14]

Perikemanusiaan yang melandasi solidaritas internasional harus menjadi kebajikan moral yang autentik, bukan suatu perasaan belas kasihan yang samar-samar atau rasa sedih yang dangkal karena nasib buruk sekian banyak orang, baik dekat maupun jauh. Sebaliknya, solidaritas ialah tekad yang teguh dan tabah untuk membaktikan diri kepada kesejahteraan umum, artinya kepada kesejahteraan semua orang dan setiap orang perorangan karena kita semua sungguh bertanggung jawab atas semua orang. Solidaritas naik ke jajaran kebajikan sosial karena ia menempatkan dirinya pada ranah keadilan. Solidaritas adalah sebuah kebajikan yang diarahkan secara tak berbanding kepada kesejahteraan umum. Jadi, prinsip perikemanusiaan yang mendasari solidaritas internasional terdapat sebuah ikatan yang sangat erat antara solidaritas dan kesejahteraan umum, antara solidaritas dan tujuan universal harta benda, antara solidaritas dan kesetaraan di antara semua manusia dan bangsa, antara solidaritas dan perdamaian di dalam dunia.

Sentralitas pribadi manusia dan kecenderungan kodrati orang perorangan serta bangsa-bangsa untuk memapankan relasi di antara mereka sendiri merupakan unsur-unsur hakiki untuk membangun suatu masyarakat internasional yang sejati, yang penataannya mesti ditujukan untuk menjamin kesejahteraan umum universal yang efektif. Walaupun ada hasrat yang tersebar luas di mana-mana untuk membangun suatu masyarakat internasional yang sejati, namun kesatuan keluarga umat manusia belum lagi menjadi sebuah kenyataan. Hal ini terjadi karena berbagai kendala yang berasal       dari ideologi materialistik dan ideologi nasionalistik yang bertentangan dengan nilai-nilai pribadi yang secara terpadu dikaji dalam segenap matranya yang berbeda-beda, jasmani dan rohani, individu dan masyarakat. Secara khusus setiap teori atau bentuk apa pun menyangkut rasialisme dan diskriminasi ras secara moral tidak dapat diterima.






[2] https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5063268/deretan-negara-asia-yang-berisiko-hadapi-gelombang-kedua-corona-termasuk-ri
[3] https://news.detik.com/bbc-world/d-5064450/gelombang-kedua-corona-di-korea-selatan-terjadi-lebih-awal-dari-perkiraan
[4] https://katadata.co.id/berita/2020/06/23/gelombang-kedua-corona-kasus-baru-melonjak-di-brazil-as-dan-jerman
[5] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200523130219-20-506173/wamenhan-nyatakan-perang-lawan-pandemi-covid-19
[6] https://uk.ambafrance.org/We-are-at-war-with-COVID-19-says-President-in-national-broadcast
[7] https://katadata.co.id/berita/2020/05/17/ketimbang-damai-dokter-minta-pemerintah-perang-panjang-lawan-corona
[8] https://nasional.okezone.com/read/2020/05/06/337/2210028/ikuti-anjuran-pemerintah-kunci-menangkan-perang-melawan-covid-19
[9] https://news.un.org/en/story/2019/11/1052421
[10] https://www.liputan6.com/health/read/2086654/dokter-tertular-ebola-rs-harus-terapkan-11-hal-ini
[11] https://www.beritasatu.com/dunia/200693-dokter-yang-tangani-pasien-ebola-tertular
[12] https://www.voaindonesia.com/a/dokter-liberia-meninggal-akibat-ebola-/2427517.html
[13] https://www.beritasatu.com/politik/623315-puan-serukan-solidaritas-internasional-atasi-pandemi-covid19
[14] https://kemlu.go.id/newyork-un/id/news/6076/indonesia-sukses-loloskan-resolusi-pbb-perdana-tentang-solidaritas-global-atasi-covid-19

Tidak ada komentar: