sebuah negara sewajibnya disusun berdasarkan
prinsip demokrasi, Hak Asasi Manusia, kesejahteraan umum, lingkungan hidup,
ketentuan hukum nasional, hukum internasional dan kebiasaan internasional,
terkait prinsip hidup berdampingan secara damai dengan memperhatikan kondisi
geografis. Pada konteks tersebut pertahanan Negara Republik Indonesia haruslah
mengacu pada politik luar negeri Indonesia yang Bebas-Aktif, serta Indonesia
sebagai negara kepulauan dan negara maritim. Secara strategis pertahanan Negara
Republik Indonesia bertujuan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara,
keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta keselamatan segenap
bangsa.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang
berbentuk republik, terletak di kawasan Asia Tenggara. Indonesia memiliki lebih
kurang 17.000 buah pulau dengan luas daratan 1.922.570 km2 dan luas perairan
3.257.483 km2. Berdasarkan posisi geografisnya, negara Indonesia memiliki
batas-batas: Utara – Negara Malaysia, Singapura, Filipina, Laut Cina Selatan.
Selatan – Negara Australia, Samudera Hindia. Barat – Samudera Hindia. Timur –
Negara Papua Nugini, Timor Leste, Samudera Pasifik. Dibutuhkan kerja keras
untuk menjaga langit dirgantara ibu pertiwi dari gangguan Negara asing. Pada
tahun 1960-an mungkin tidak begitu sulit AURI (Angkatan Udara Republik
Indonesia) untuk melaksanakan tugas pokoknya mengawal langit dirgantara
nasional.
Kekuatan udara kita ketika itu tercermin dimana
pada awal tahun 1950-an AURI memiliki 25 pembom B-25 Mitchell skuadron udara 1.
29 pesawat C-41 Dakota dan 30 pemburu P51 Mustang di lanud halim perdana kusuma
(waku itu lanud cililtan) 22 Fluster di skuadron udara 4 lanud Atang Sanjaya
bogor (waktu itu lanud semplak) dan PBY-50 Catalina di skadron udara 5 lanud
abdulrachaman saleh malang (waktu itu lanud bugis). Untuk pesawat latih
terdapat 62 pesawat latih L-4J Piper cup dan 46 pengebom latih BT-13 Valiant
serta 74 AT-16 Harvard di lanud Husein Sastranegara.
Selanjutnya pada periode 1960-an secara cepat
dibangun juga skadron-skadron baru antara lain, skadron 6 dengan 41 helikopter
Mi-4, Skadron 7 dengan 28 Bell 204B, Bell-47G dan S-61 serta skadron 8 dengan
sembilan helikopter raksasa Mi-6 lanud atang senjaya. Kekuatan peswat tempur
meliputi. Skadron 11 dengan 49 MiG-17, 30 MIG -15 serta 10 MIG 19 (skadron 12)
di pangkalan udara kemayoran jakarta, skadron 14 dengan 30 MIG-21 di lanud
iswahyudi. Untuk angkutan udara terdapat skadron 17 dengan 3 C-140 Jetstar, 21
il -14 Avia, C47, tujuh L 401/402 Cessna dan skadron 31 dengan C – 130 B
Hercules di lanud halim perdana kusuma, skadron 31 enam An-12B Antonov di lanud
huesein Bandung. Untuk bagian pesawat pembom ditempatkan di skadron 21 dengan
il-28 Beagle di lanud kemayoran, skadron 41 dengan 14 Tu Badger dan skadron 41
dengan 12 Tu 16/KS di lanud iswahyudi. Sehingga tak berlebihan kiranya pada era
itu kekuatan udara Indonesia menjadi yang terkuat di wilayah selatan dunia.
Pengalaman konflik konvensional modern telah
menempatkan kekuatan udara sebagai kekuatan pemukul dalam suatu perang
konvensional. Keunggulan udara (Air Supremacy) merupakan tujuan awal dari
setiap kampanye militer agar dapat melancarkan tahap operasi berikutnya yaitu
serangan darat. Untuk mencapai keunggulan udara, modernisasi Alutsista TNI
Angkatan Udara menjadi hal yang penting. Hal ini terutama dikaitkan dengan
potensi konflik di laut China Selatan sebagai potensi konflik yang
bersinggungan langsung dengan Indonesia. Kebijakan pemerintah dalam
mengembangkan Poros Maritim dunia juga menjadi kerawanan dalam pengamanan jalur
pelayaran laut dan udara. Kebijakan Poros Maritim, bertujuan untuk mengukuhkan
Indonesia sebagai poros maritim dunia. Dimana sebagai poros maritim dunia,
Indonesia tentu berkepentingan untuk ikut menentukan masa depan kawasan Pasifik
dan Samudera Hindia (the Pacific and Indian Ocean Region (PACINDO)). Indonesia
menginginkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik tetap damai dan aman bagi
perdagangan dunia, bukan dijadikan ajang perebutan sumber daya alam, pertikaian
wilayah dan supremasi maritim.
Perkembangan situasi keamanan di kawasan
Samudera Hindia dan Pasifik (Indo-Pasifik) termasuk Australia inilah yang
kemudian memicu banyak negara terutama di Asia, untuk memodernisasi kemampuan
militernya beriringan dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat. Saat ini belanja
militer di Asia menjadi lebih besar dibandingkan Eropa. Pada tahun 2014 belanja
militer Asia meningkat lima persen, mencapai sekitar USD 439 miliar
dibandingkan dengan Eropa yang hanya meningkat 0,6 persen yaitu sekitar USD 386
miliar. Pada satu sisi situasi strategis kawasan dan kebijakan poros maritim
dari pemerintah ini direspon dengan cepat oleh Kementerian Pertahanan (Kemhan)
dengan melakukan modernisasi alutsista TNI untuk mengawal jalur laut dan udara
nusantara. Terlebih untuk pertahanan udara,
situasinya dalam lima tahun kedepan akan semakin dinamis, dimana
sejumlah negara kawasan akan memodernisasi alutsista udaranya.
Kebijakan Kemhan untuk meningkatkan kekuatan
dan kemampuan TNI AU hingga mencapai kondisi Minimum Essential Force (MEF)
sejak tahun 2009 sangat tepat, untuk merespon dinamika strategis kawasan hingga
lima tahun ke depan. Terkait hal tersebut beberapa fokus kebijakan yang menjadi
prioritas adalah meningkatkan profesionalisme personel, modernisasi
Alutsista/Non Alutsista/Sarpras matra udara dan pengamanan wilayah perbatasan
dan pulau terdepan (terluar).
Mulai tahun 2009, modernisasi alutsista TNI AU
terus dilakukan secara sistematik dan terarah. Untuk pembangunan Rencana
Strategis (Renstra) tahap I (2009-2014) TNI AU sudah menyelesaikan modernisasi alutsista
hingga 48 persen, beberapa alutsista canggih sudah didatangkan seperti pesawat
tempur dan latih tempur (Sukhoi, F-16, T-50i dan EMB-314 Super Tucano), pesawat
angkut (C-130 Hercules dan CN-295), helikopter maupun radar dan rudal.
Sedangkan pada Renstra tahap II (2015-2019), TNI AU melakukan penambahan satu
Skadron tempur pesawat F-16 (Skadron 16) yang telah digelar di Lanud Rusmin
Nurjadin Pekan Baru, serta memodernisasi Alutsista pengganti pesawat tempur F-5
Tiger. Diikuti dengan 4 unit armada Drone (UAV) untuk operasi pemantauan
perbatasan yang dipusatkan di Skadron Udara 51, Lanud Supadio, Pontianak. Dan
juga TNI AU berencana menambah pesawat Combat SAR sebanyak 3 unit, Radar GCI
(Ground Control Interception) sebanyak 4 unit, Rudal jarak sedang sebanyak 2
Satbak, peralatan AEW dua paket, Helikopter angkut kelas berat sebanyak 3 unit,
satu pesawat jet tanker dual system, satu pesawat angkut berat sekelas C-17
atau A-400M buatan Perancis, dan enam helikopter EC-725 cougar. Sedangkan untuk
menyiapkan dan meningkatkan kualitas para penerbang, TNI AU juga telah
mengganti jenis pesawat latih T-34 C dan AS-202 Bravo dengan pesawat latih
dasar Grob G-120 TP dari Jerman. TNI AU
sebelumnya juga telah menerima pengoperasian pesawat latih KT-1B Woong Bee dari
Korea Selatan. Dalam Renstra II (2015-2019) TNI AU mengajukan 4 unit heli VVIP
dan 6 unit heli angkut. Tetapi karena Pinjaman Luar Negeri (PLN) hanya
mendapatkan pinjaman sebesar USD 440 Juta, maka pengajuan direvisi hanya
menjadi 2 heli VVIP dan 6 heli angkut saja.
Untuk pengadaan alutsista baru tentu membutuhkan anggaran yang besar,
sementara anggaran negara terbatas. Pada tahun 2017, anggaran untuk TNI AU
memang paling kecil. Dari rencana anggaran Rp 108 triliun matra udara hanya
mendapat alokasi Rp 13,8 triliun. Sementara pemerintah menaikkan anggaran
pertahanan sampai 2019 sebesar Rp 250 triliun. Sedangkan anggaran yang diterima
TNI AU pada TA 2016 adalah sebesar Rp.12,4 triliun. Jika kita melihat pagu
anggaran TA.2016 bagi TNI, maka sebagai berikut :
a. TNI
AD : Rp. 43,260,989,751,00
b. TNI
AL : Rp. 16,761,616,250,00
c. TNI
AU : Rp. 12,498,323,742,00
Dari sejumlah kegiatan modernisasi alutsista
TNI pada Renstra 2015-2019, pengadaan helikopter AW 101 mendapat perhatian
sangat besar dari media massa. Perhatian media massa pada akhirnya telah
menjadi sebuah kontroversi dan “kegaduhan” di ranah politik,yang berdampak
kurang menguntungkan terhadap pembangunan kekuatan TNI AU, dan pada akhirnya
akan merugikan TNI. Pengadaan helikopter AW 101 berawal dari direktif Presiden
Joko Widodo kepada KASAU ketika itu (Marsekal TNI Agus Supriatna) pada tanggal
27 Juli 2015. Terjadi kontroversi ketika Presiden Jokowi membatalkan rencana
pengadaan helikopter AW 101 atas pertimbangan keterbatasan keuangan Negara,
sedangkan kebutuhan anggaran sudah direncanakan untuk dialokasikan pada
TA.2016.
Kajian terhadap helikopter AW 101 telah
dilakukan oleh TNI AU secara mendalam dengan memperhatikan opsreq (Operational
Requirements)/ Kebutuhan Operasional dan Spektek (Technical Specifications)/
Spesifikasi Teknis, serta pengalaman pengoperasian helikopter selama ini.
Helikopter AW 101 memenuhi opsreq dan spektek yang diajukan oleh TNI AU, yaitu
antara lain mampu/memiliki : beroperasi di titik titik yang dipersiapkan maupun
tidak dipersiapkan, dengan kemampuan seperti : Hover out ground effect 3500
feet/1000 meter, Daya angkut 2 Ton, Dapat melaksanakan misi pada siang dan
malam hari, Dapat terbang spot to spot pada malam hari, Dapat melaksanakan
komunikasi dan navigasi berbasis satelit, Dapat beroperasi pada daerah
pegunungan, Dapat melakukan over sea operation, Dilengkapi automatic pilot 4
axis dan automatic hover, Dapat melaksanakan misi medis udara, Dapat dilengkapi
dengan self defense dan pernika ,serta kabinnya dilengkapi dengan peralatan
audio video center entertainment. Dan yang terpenting adalah memiliki tiga
mesin.
Sampai saat ini untuk tugas penerbangan
VIP/VVIP, Kementerian Sekretariat Negara menggunakan Heli AS-332 Super
Puma(Tail number H-3204) yang didatangkan langsung dari Perancis pada tahun
2002. Selain itu, TNI-AU juga mendatangkan helikopter Super Puma versi L-2 lainnya
yaitu H-3222. Sementara 2 buah jenis L-1 didatangkan dari PT Dirgantara (Tail
number H-3203 dan H-3206). Seluruh heli tersebut berada di Skadron Udara 45,
yang didirikan pada tahun 2011. Dalam pengoperasian dan pemeliharaan helikopter
VIP/VVIP, Skadron Udara 45 berkoordinasi dengan Kementerian Sekretariat Negara
dan Sekretariat Militer Presiden RI.
Selain helikopter yang dioperasikan di Skadron
Udara 45, TNI AU memiliki helikopter Puma, Super Puma dan Cougar yang
dioperasikan di Skadron Udara 6 dan Skadron Udara 8. Helikopter Puma, Super
Puma dan Cougar dilengkapi dengan 2 mesin, dan dalam beberapa tahun terakhir
kesiapan helikopter Puma dan Super Puma sangat rendah. Hal tersebut antara lain
disebabkan oleh sulitnya memperoleh suku cadang. Sedangkan spektek 3 mesin yang
dipilih adalah atas pertimbangan keamanan dan keselamatan terbang, mengingat
angka kecelakaan yang cukup tinggi selama pengoperasian helikopter Puma dan
Super Puma oleh TNI AU. Selain itu, keputusan TNI AU untuk lebih memilih AW 101
diperkuat dengan adanya fakta terjadinya kecelakaan yang dialami helikopter
Cougar di Norwegia pada April 2016. Kecelakaan itu menyebabkan helikopter
Cougar di-grounded oleh Negara-negara penggunanya selama beberapa waktu.
Pemberitaan mengenai pembelian heli AW 101
mencapai puncaknya tatkala Harian Kompas memuat gambar foto AW 101 sedang uji
coba terbang di sebuah bandara di Yeofil, Inggris. Dan menjadikan berita
tersebut menjadi tajuk utama pada tanggal 27 Desember 2016 lalu. Foto
helikopter tersebut muncul pertama kalinya di situs militer rotorblur.co.uk
dimana memperlihatkan helikopter yang sudah dicat dengan warna khas hijau
loreng, tak lupa logo segi lima milik TNI AU dan bendera Indonesia dipasang di
ekor helikopter. Dalam informasi di situs rotorblur, fotografer Rich Pittman
menyebut helikopter yang didatangkan adalah helikopter bekas India yang tidak
jadi dibeli karena tersandung kasus korupsi. Sejumlah isu beredar terkait
dengan heli tersebut, misalnya heli tersebut adalah heli yang sedianya pesanan
pemerintah India pada tahun 2010-2013, namun karena terdapat indikasi korupsi
maka heli tersebut urung dikirimkan oleh AgustaWestland. Meskipun pada akhirnya
pemerintah India menyatakan bahwa tidak ada indikasi korupsi dalam pembelian AW
101 oleh Angkatan Udara mereka. Adapula isu yang menyatakan bahwa heli tersebut
sempat digunakan oleh PM Inggris David Cameron dalam sejumlah lawatan tugasnya.
Tentu sejumlah isu tersebut perlu diklarifikasi, karena varian yang dipesan
oleh pemerintah India adalah varian 641. Sedangkan yang dipesan oleh TNI AU
adalah varian 646. Sangat disayangkan beredarnya isu negatif tersebut tak
dilakukan Counter balanced oleh pihak TNI AU. Sehingga cenderung merugikan
citra dan reputasi TNI AU selaku alat negara.
Pada tanggal 29 Desember 2016, Panglima TNI
membuat surat perintah kepada KASAU untuk membentuk tim investigasi soal
pembelian heli AW 101. Perkembangannya kemudian Panglima TNI pada tanggal 24
Februari 2017, menjalin kerjasama dengan Polri, BPK, PPATK dan KPK untuk
mengusut pembelian helikopter tersebut. Sehingga pada akhirnya tanggal 26 Mei
2017, Panglima TNI bersama Ketua KPK dan KASAU melakukan konferensi pers
bersama di kantor KPK. Dan menyebutkan adanya tiga tersangka terkait pembelian
heli AW 101, diantaranya Marsma FA, Letkol WW dan Pelda SS. Pada kesempatan
tersebut, Panglima menyebutkan adanya potensi kerugian sebesar Rp. 220 Miliar
dalam pembelian heli dengan nilai proyek Rp. 738 Miliar.
Berikutnya tanggal 16 Juni 2017, KPK menetapkan
tersangka dari kalangan sipil yakni Dirut PT. Diratama Jaya Mandiri Irfan
Kurnia Saleh sebagai pihak ketiga yang mengadakan pembelian heli AW 101.
Bersamaan dengan itu, Dan Puspom TNI pun menyampaikan adanya satu tersangka
baru yakni Kolonel FTS sebagai Kepala Unit Layanan Pengadaan TNI AU. Sehingga
sampai saat ini sudah ada setidaknya 4 tersangka dari TNI AU dan 1 dari sipil
dalam dugaan adanya tindak pidana korupsi dalam pembelian heli AW 101. Puspom
TNI juga pada perkembangan nya melakukan blokir atas rekening dari PT DJM
sebesar Rp. 139 Miliar.
PEMBAHASAN
Kebijakan modernisasi alutsista selain terkait
dengan aspek strategis, juga terkait dengan aspek teknis pengadaan barang dan
jasa sebagaimana diatur dalam Perpres No 4/2015 tentang Pengadaan Barang dan
Jasa Pemerintah, beserta peraturan-peraturan pelaksanaanya yaitu : Pada
pembelian Heli AW 101 didasari pada seperangkat aturan yang terdiri dari:
Permenhan No 17/2014, KepKasau No KEP/149/IV/2013 dan Surat Perintah Pengadaan
No Sprin/241-UP/V/2016. Secara prosedur maka akan dijelaskan sebagaimana data
administrasi yang ada di bawah ini:
1.
Penganggaran
Pembelian satu unit heli AW 101 untuk kebutuhan
VVIP Didasarkan pada Surat Menteri Keuangan Nomor S-564/MK.02/2015 tanggal 27
Juli 2015 (Tentang Pemutakhiran Pagu Kementerian Negara/Lembaga Tahun Anggaran
2016) dan Surat Kementerian Pertahanan No B/1266/18/05/5/Dirjen tanggal 28 Juli
2015 (Tentang Pemutakhiran Pagu Anggaran Kemhan dan TNI TA 2016). Pada surat
Kemhan tersebut disebutkan bahwa pengadaan Helikopter VVIP Presiden sebesar Rp.
742.500.000.000.00, masuk sebagai tambahan penyesuaian anggaran prioritas.
Dimana sebelumnya pada Surat Kemkeu No 288/MK.02/2015 dan Surat Bappenas No
082/M.PPN/04/2015 (Tentang Pagu Indikatif dan Rancangan Awal Rencana Kerja)
dinyatakan bahwa TNI AU menerima Pagu Indikatif sebesar Rp
12.510.616.240.000,-, dan belum terdapat anggaran pengadaan Helikopter VVIP
Presiden.
Menanggapi hal tersebut, KASAU mengajukan
permohonan tambahan anggaran TNI AU kepada Panglima TNI, melalui Surat No
R/22/VI/2015 tertanggal 29 Juni 2015 (Up Asrenum). Disebutkan bahwa pengadaan
Heli AW 101 VIP/VVIP direncanakan sebanyak 3 unit, melalui pendanaan Pinjaman
Luar Negeri (PLN). Untuk menambah kemampuan dukungan kegiatan VIP/VVIP maka
dibutuhkan penambahan 1 unit heli lagi melalui pembiayaan APBN sebesar Rp.
742.500.000.000,-. Atas hal itu pula, KASAU mengirimkan surat kepada Menhan
tertanggal 2 September melalui Surat No B/1606/IX/2015. Dimana disampaikan
alasan penggantian dari heli sebelumnya (NAS-332) dan harapan TNI AU bahwa heli
VVIP pengganti dapat ditampilkan pada peringatan HUT TNI AU ke-70 pada tanggal
9 April 2016. KASAU juga mengajukan permohonan tambahan anggaran kepada
Mensesneg melalui Surat No R/35/IX/2015 tertanggal 23 September 2015.
Disebutkan bahwa TNI AU merencanakan pengadaan Heli AW 101 VIP/VVIP sebanyak 2
unit. Adapun bahwa sesuai standar yang berlaku dalam penerbangan VIP/VVIP
adalah sebanyak 3 unit, sehingga diperlukan tambahan 1 unit dan untuk itu
diajukan penambahan melalui anggaran Kementerian Sekretariat Negara sebesar Rp.
829.500.000.000,- (Menggunakan kurs 1 USD = Rp. 15.000,-).
2. Perubahan Kegiatan Pengadaan Heli VVIP
Menjadi Heli Angkut Setelah Adanya DIPA TA 2016
Berdasarkan hasil rapat kabinet terbatas
tanggal 3 Desember 2015, sebagaimana tertuang dalam risalah rapat No
R-288/Seskab/DKK/12/2015, dalam poin 6 disebutkan bahwa jika kondisi ekonomi
sudah normal maka pembelian helikopter AW 101 VVIP dapat dilakukan, tetapi
apabila kondisi ekonomi seperti saat ini maka jangan dibeli dahulu. Sedangkan
pada poin 10, disebutkan bahwa pembelian helikopter AW 101 agar dilakukan
dengan kerangka kerjasama Government to Government (G to G).
Mersepon hal itu, KASAU mengajukan usulan
perubahan pengadaan heli VIP/VVIP menjadi heli angkut berat kepada Dirjen
Renhan Kemhan, melalui surat No B/101-09/20/61/Srenaau tertanggal 25 Januari
2016. Dilengkapi dengan data Kajian, Daftar harga dan Brosur, serta Operational
requirements dan Spesifikasi Teknis. Seluruh prosedur internal dan eksternal
ditempuh TNI AU untuk dapat merealisasikan pengadaan heli AW 101 untuk
kebutuhan angkut. Berdasarkan surat Kemkeu No.S-868/MK.02/2015 tentang
Penyampaian Pagu Alokasi Anggaran Kementerian/Lembaga TA.2016, dinyatakan bahwa
anggaran pengadaan Heli AW 101 VIP/VVIP dalam posisi blokir dan masih
diperlukan informasi lanjutan.
Pengadaan heli angkut dapat dilaksanakan oleh
TNI AU setelah mendapatkan persetujuan dari Kementerian Keuangan, dimana
melalui Surat pengesahan DIPA Petikan TA 2016 Nomor : SP
DIPA-012.24.1.579297/2016 (Kode digital stamp 2945-8105-9039-3697 Revisi ke 04
tanggal 27 Juni 2016), melepas tanda blokir pengadaan helikopter TA 2016
sebesar Rp. 742.500.000.000,-. Sehingga Kadisaeroau melanjutkan pengadaan heli
tersebut dan segala prosedur administrasi layaknya pengadaan barang dan jasa
pemerintah dilaksanakan oleh TNI AU melalui proses Usul Pesanan (UP).
3. Usul Pesanan
Prosedur berikutnya yang ditempuh untuk
pengadaan heli AW 101 adalah melakukan Usul Pesanan di tingkat internal TNI AU.
Untuk itu Asops KASAU melalui surat
No.B/655/IV/2016 tertanggal 15 April 2016, ditujukan kepada Asrena
KASAU, menyampaikan Opsreq (Operational Requierements) dari heli VVIP, heli
angkut dan heli medis. Menyusul kemudian pada tanggal 21 April 2016, Asops
KASAU juga mengirimkan surat No. B/59/IV/2016 (Berikut satu bundel Spektek heli
angkut), dimana berdasarkan berita acara rapat Tim Spesifikasi Teknik No.
BA/05/IV/2016/Slogau (Rapat tanggal 18 April 2016), memutuskan bahwa heli
angkut yang diharapkan adalah sebagaimana sesuai dengan data lampiran.
Perubahan pun juga dilakukan melalui surat
Asrena KASAU No. B/543-18/03/32/Srena yang ditujukan kepada Aslog KASAU,
terkait dengan mengubah sasaran kegiatan belanja modal satuan kerja Disaeroau
yang semula pengadaan heli angkut berat menjadi pengadaan heli angkut,
tertanggal 22 April 2016. Sehingga pada tanggal 29 April 2016 keluarlah Usul
Pesanan (UP) dari Disaeroau dengan harga dugaan heli standar, alat kelengkapan
dan layanan dukungan sebesar Rp. 742.475.410.040.00, terdiri dari :
a. Basic
Helicopter
: Rp. 541,908,926,020,00
b.
Floatation System dan Rafts : Rp. 10,150,812,000,00
c.
Defence Air System : Rp. 9,774,856,000,00
d.
Training 4 Pilot & 8 Technicians : Rp. 57,216,072,034,00
e.
Initial Spares :
Rp. 79,890,650,000,00
f.
Flyway Kit : Rp. 3,393,137,160,00
g.
General tools + Special tools : Rp. 12,614,263,760,00
h.
Technical Publication : Rp. 13,187,999,440,00
i.
Field Service Rep 1 Year in Indonesia : Rp.
14,338,693,320,00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar