ANALISA
Pertama, Pengadaan Helikopter AW 101
berdasarkan kebutuhan modernisasi TNI AU yang tercantum dalam Renstra II Minimum Essential Forces (2015-2019).
Dimana TNI AU merencanakan untuk membeli tiga unit Helikopter AW 101 untuk
kebutuhan VVIP dan enam unit Helikopter AW 101 untuk kebutuhan angkut/Combat
SAR. Adapun kebijakan penolakan pembelian Helikopter AW 101 oleh Presiden RI
untuk kebutuhan VVIP dialihkan menjadi Helikopter AW 101 untuk kebutuhan
angkut/Combat SAR, masih sangat relevan dikaitkan dengan postur TNI AU ke depan
mengingat adanya kebutuhan atas empat skuadron heli angkut.
Kedua, Sampai saat ini terdapat tujuh lanud
yang memiliki kebutuhan akan adanya Heli angkut dengan kemampuan SAR, yakni :
Madiun, Malang, Makasar, Pekanbaru, Pontianak, Medan dan Halim. Untuk kebutuhan
SAR beberapa lanud masih menggunakan Helikopter jenis EC120 Colibri. Adapun heli tersebut berspesifikasi sebagai heli
jenis ringan dengan lima tempat duduk dan mesin tunggal. Sehingga selain tidak
memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan angkut dan juga tidak layak.
Ketiga, proses pembelian Helikopter AW 101
sudah sesuai dengan prosedur administrasi, mulai dari perencanaan, penganggaran,
usulan pembelian dan pengadaan, serta telah mendapatkan persetujuan dari
Menteri Pertahanan tanggal 7 November 2016 (berdasarkan surat no 535/M/XI/2016
kepada Bappenas). Serta telah mendapatkan persetujuan dari Panglima TNI tanggal
19 September 2016 (berdasarkan surat no 1589-18/07/25). Pembelian Helikopter AW
101 oleh TNI AU dapat dikategorikan sebagai bentuk diversifikasi produk
industri pertahanan, sehingga kelak tidak terjadi ketergantungan operasional
hanya pada satu produk saja. Selama ini TNI AU menggunakan Heli EC275 Cougar
(Super Puma) produksi dari Airbus yang dirakit oleh PT DI, untuk memenuhi
kebutuhan angkut dan angkut berat.
KESIMPULAN
Pertama, terkait dengan adanya pernyataan dari
Panglima TNI soal insubordinasi (Ketidaktaatan, Ketidakpatuhan) TNI AU terhadap
Presiden RI sebagai Panglima Tertinggi dan Panglima TNI, dalam proses pembelian
Helikopter AW 101, maka hal tersebut sepenuhnya adalah tidak benar. Tatkala
Presiden membatalkan untuk melakukan pengadaan heli AW 101 guna kebutuhan VVIP,
maka seketika itu pula TNI AU merespon dengan membatalkan pengadaan heli AW 101
untuk kebutuhan VIP/VVIP, dan mengubah pengadaan menjadi heli angkut sesuai serta
sebagaimana tercantum dalam Renstra II Minimum
Essential Forces (2015-2019). Seluruh prosedur pengubahan ini pun telah
ditempuh dan juga diketahui oleh Menhan dan Panglima TNI. Sehingga tidaklah
mungkin apabila Menhan dan Panglima TNI tidak mengetahui rencana pengadaan heli
AW 101, baik untuk kebutuhan VIP/VVIP maupun kebutuhan angkut/combat SAR.
Terlebih pengadaan tersebut telah juga disetujui secara Trilateral antara Kemkeu, Bappenas dan Kemhan, menggunakan anggaran
dari TNI AU (Bukan anggaran dari Kemensetkab).
Penggunaan istilah
“Insubordinasi” dalam kaitannya dengan pengadaan heli AW 101 oleh TNI AU
sangatlah tidak tepat dan tidak berdasar. Insubordinasi dalam hukum pidana
militer merupakan tindak
pidana militer murni (Zuiver militaire
delict) , yakni suatu tindak pidana yang hanya dilakukan oleh seorang
militer, karena sifatnya khusus untuk militer. Tindak pidana Insubordinasi diatur di dalam Pasal 106 ayat 1 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) sebagai berikut: “Militer, yang
sengaja dengan tindakan nyata menyerang seorang atasan, melawannya dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan, merampas kemerdekaanya untutk bertindak,
ataupun memaksanya dengan kekerasan dan ancaman kekerasan untuk melaksanakan
atau mengabaikan suatau pekerjaan dinas, diancam karena Insubordinasi dengan
tindakan nyata dengan pidana penjara maksimum sembilan tahun”. Unsur Tindak
Pidana Insubordinasi yang berkaitan dalam Pasal 106 KUHPM adalah:
1) Unsur Ke-1 : Militer
2) Unsur Ke-2 : yang sengaja dengan tindak nyata, menyerang seorang atasan.
3) Unsur Ke-3 : yang sengaja dengan tindak nyata, menyerang seorang atasan,
Melawannya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, merampas
kemerdekaannya untuk bertindak ataupun memaksana dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan untuk melaksanakan atau
mengabaikan suatu pekerjaan dinas.
4) Unsur Ke-4 : yang mengakibatkan luka.
5) Unsur Ke-5 : yang mengakibatkan mati.
Dari kelima unsur
tindak pidana insubordinasi diatas, maka tak ada satu pun sama sekali yang
dapat dikaitkan dengan kegiatan pengadaan heli AW 101 oleh TNI AU. Karena
pengadaan heli tersebut merupakan kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah
yang diatur pelaksanaannya oleh aturan perundangan yang ada. Permenhan No
28/2015 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Pertahanan Negara (Hanneg), yang
mengacu pada UU No 3/2002 tentang Keuangan Negara, juga mengatur mengenai alur
perencanaan dan pengadaan barang dan jasa, dimana Menhan selaku Pengguna
Anggaran (PA) dan dibawahnya sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) terdiri dari
Sekjen Kemhan (KPA Kemhan), Panglima TNI (KPA Mabes TNI), KASAD (KPA TNI AD),
KASAL (KPA TNI AL) dan KASAU (KPA TNI AU). Dalam hal penyusunan anggaran TNI, Panglima
TNI dan Kepala Staf Angkatan memberikan usulan. Hasil akhirnya bergantung
persetujuan Menteri Pertahanan. Hal
tersebut diatur dengan PP 90/2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja Anggaran,
Keppres 42/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN, Peraturan Bersama Menkeu dan
Menhan 67/PMK.05.Tahun 2015, dan PMK No 101/PMK.02/2011 tentang Klasifikasi
Anggaran.
Kedua, terkait
adanya dugaan tindak pidana korupsi berupa mark
up harga dalam kegiatan pengadaan Heli AW 101 peruntukan angkut, sebaiknya
pembahasan nya dilakukan secara seksama dan hati-hati. Tidak bisa secara
gegabah, mengingat adanya unsur kerahasiaan pertahanan yang harus dijaga. Berdasarkan
dokumen Usul Pesanan (UP) dari Dinas Aeronautika MBAU tertanggal 24 April 2016
(Berdasarkan surat No 54/AW101-1/AI-MDL-M/IV/2016/Disaeroau), maka akan didapati
harga sebenarnya dari unit heli standar itu sendiri yakni Rp.
541,908,926,020,00,-. Harga inilah yang diketahui oleh khalayak luas dari harga
unit heli. Sedangkan MBAU melakukan pengadaan unit heli tersebut berikut dengan
Floatation System and Rafts, Defence Air System, Pelatihan untuk 4
pilot dan 8 teknisi, Suku cadang, Flyway
kit, Peralatan khusus dan umum, Publikasi teknis dan After sales services selama 1 tahun di Indonesia. Sehingga apabila
di total secara keseluruhan item alat kelengkapan dan dukungan akan berjumlah
menjadi Rp. 742,475,410,040,-. Selisih harga
yang timbul antara harga Heli unit standar (Basic
Helicopter) dengan Alat kelengkapan dan Layanan dukungan inilah yang
disalah pahami sebagai upaya mark up
yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Sebenarnya apabila kita
cermati lagi, harga Usul Pesanan (UP) yang dilakukan oleh MBAU yakni Rp.
742,475,410,040,- masih dibawah nilai harga yang ditetapkan oleh Kemhan dalam
dokumen penyesuaian pagu anggaran TA.2016 yang sebesar RP.742,500,000,000,- (Heli
VVIP). Sangatlah disayangkan ketika publikasi negatif mencuat terhadap
pembelian heli AW 101 ini, MBAU tidak melakukan klarifikasi atas Usul Pesanan
(UP) yang terdiri dari Harga dasar heli, Alat kelengkapan dan Layanan dukungan.
Pada sisi lain MBAU melihat ini sebagai rahasia pertahanan yang apabila dibuka
kepada publik luas akan menyebabkan negara lain mengetahui spesifikasi teknis
dan kekuatan dari alutsista udara yang dimiliki oleh Republik Indonesia.
Ketiga, TNI
atau militer merupakan kekuatan penggerak (driving force)
bagi tumbuhnya industri pertahanan. Sehingga apa yang dibutuhkan dan diinginkan
oleh TNI, maka spesifikasi alutsista itulah yang seharusnya diproduksi. Bukan
sebaliknya, industri pertahanan yang justru mendikte dan memaksakan kebutuhan
alutsista TNI berdasarkan spesifikasi dari produksinya. Salah satu tugas TNI adalah
membangun kekuatan melalui upaya modernisasi alutsista secara terus menerus.
Hal ini dimaknai sebagai upaya TNI dalam menghadapi tantangan dan dinamika strategis
global ke depan. Sehingga apabila TNI AU
memilih heli AW101 untuk memperkuat jajaran armadanya maka hal tersebut adalah
hal yang wajar, karena itu sudah dikaji secara mendalam dan dituangkan dalam
renstra II (2015-2019), berdasarkan masukan dan sesuai dengan kondisi yang
relevan saat ini juga lima tahun ke depan. Pada sisi lain, dinamika industri pertahanan sesungguhnya
hanyalah salah satu bagian dari upaya kita untuk meningkatkan kapabilitas
kekuatan pertahanan guna menghadapi berbagai ancaman yang akan terjadi. Membangun industri pertahanan itu sebuah
keharusan. Akan tetapi, pada satu sisi membeli alutsista dari luar negeri pun
bukan sesuatu yang tabu apabila industri di dalam negeri belum mampu membuatnya.
Sementara dari sisi TNI, justru alutsista tersebut lah yang sebenarnya
dibutuhkan. Undang-undang nomor 16 Tahun 2012 (pasal 43 ayat 3) tidak mengharamkan pengadaan
alutsista dari luar negeri. Hal ini dimungkinkan bila industri dalam negeri
belum mampu membuat alutsista yang dibutuhkan.
Mewajibkan
pengadaan alutsista dari industri pertahanan dalam negeri tentunya menjadi
tujuan kita bersama, dalam konteks membangun kemandirian pertahanan kita. Karena
industri pertahanan bagaimanapun tidak terlepas dari konstruksi kita dalam
membangun postur pertahanan yang kuat, sekaligus mandiri. Namun sekarang pertanyaannya,
apakah memang betul industri pertahanan dalam negeri sudah mampu membuat dan
memproduksi alutsista? Dalam kaitannya dengan pengadaan heli angkut dan combat
SAR, maka secara jelas opsreq dan
spektek yang diinginkan oleh TNI AU sangat tidak cocok dengan apa yang telah dirakit
oleh PT DI, dalam hal ini heli Cougar. Selain faktor spesifikasi teknis, faktor
keamanan juga menjadi perhatian penting dalam setiap pengadaan alutsista. Selama
ini PT DI bekerja sama dengan Airbus dalam hal perakitan beberapa produk heli,
salah satunya adalah Super Puma. Kerjasama ini telah berlangsung selama 40
tahun dan seakan memonopoli kerjasama antara PT DI dengan pihak luar. Sehingga
diversifikasi penggunaan produk industri pertahanan tidak dapat terjadi. Tentu
alangkah baiknya bila itu terjadi maka PT DI akan memiliki banyak transfer teknologi
dari beragam pabrikan, yang kelak akan mempercepat mendapatkan pengakuan dunia
internasional, dengan mampunya memproduksi pesawat sendiri. Tidak seperti saat
ini yang hanya merakit produk dari pabrikan lainnya.
Adapun heli Cougar
pernah dilarang terbang oleh badan Keamanan Udara Eropa (EASA) pada Juni 2016, menyusul
kecelekaan yang terjadi di Bergen, Norwegia Barat dan menewaskan 13 orang.
Menyusul hal itu pemerintah
Singapura, memutuskan menunda kontrak sebesar USD $ 1 miliar dengan Airbus
untuk pembelian helikopter Cougar. Keputusan penundaan itu diambil Singapura
atas dampak dari kecelakaan pada 29 April di Norwegia. TNI AU sendiri pada Juni
2016 mengeluarkan larangan terbang sementara bagi seluruh armada heli NAS-332
L1 Super Puma yang ada pada jajaran TNI AU. Kebijakan yang sama juga diambil
oleh pihak militer Thailand dan Malaysia. Sehingga kebijakan pengadaan heli AW
101 oleh TNI AU bisa dimaknai dalam tiga dimensi, yaitu : Merespon tantangan dinamika
lingkungan strategis ke depan, Diversifikasi penggunaan produk alutsista dan
Menjamin keamanan operasi penerbangan. Karena itu, sangat dipahami jika TNI AU
kemudian memutuskan untuk tidak hanya menaruhkan kebergantungan pengadaan dan
operasional helikopternya hanya pada satu varian saja, dengan mengikuti jejak
BASARNAS yang sebelumnya hanya mengoperasionalkan Dauphin AS365 N3+ Eurocopter,
sekarang juga memperkuat jajaran operasionalnya dengan menggunakan Helikopter
AW-139 yang memiliki kemampuan daya angkut dan jelajah di atas Dauphin.
Keberanian serta sikap tegas TNI AU dalam memilih AW 101 kiranya menjadi
sesuatu yang harus dihargai dalam konteks pembangunan kekuatan industri
pertahanan yang bertanggung jawab berbasis quadraplehelix,
terutama mengingat TNI sebagai pengguna utama alutsista adalah elemen
terpenting negara dalam rangka mewujudkan kesiapan alutsista pertahanan bagi
negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar