Senin, 29 Januari 2018

Qua Vadis Modernisasi Alutista TNI AU: Data Dan Fakta Seputar Pembelian Helikopter Agusta Wesland 101 ( BAGIAN II )

ANALISA

Pertama, Pengadaan Helikopter AW 101 berdasarkan kebutuhan modernisasi TNI AU yang tercantum dalam Renstra II Minimum Essential Forces (2015-2019). Dimana TNI AU merencanakan untuk membeli tiga unit Helikopter AW 101 untuk kebutuhan VVIP dan enam unit Helikopter AW 101 untuk kebutuhan angkut/Combat SAR. Adapun kebijakan penolakan pembelian Helikopter AW 101 oleh Presiden RI untuk kebutuhan VVIP dialihkan menjadi Helikopter AW 101 untuk kebutuhan angkut/Combat SAR, masih sangat relevan dikaitkan dengan postur TNI AU ke depan mengingat adanya kebutuhan atas empat skuadron heli angkut.

Kedua, Sampai saat ini terdapat tujuh lanud yang memiliki kebutuhan akan adanya Heli angkut dengan kemampuan SAR, yakni : Madiun, Malang, Makasar, Pekanbaru, Pontianak, Medan dan Halim. Untuk kebutuhan SAR beberapa lanud masih menggunakan Helikopter jenis EC120 Colibri.  Adapun heli tersebut berspesifikasi sebagai heli jenis ringan dengan lima tempat duduk dan mesin tunggal. Sehingga selain tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan angkut dan juga tidak layak.

Ketiga, proses pembelian Helikopter AW 101 sudah sesuai dengan prosedur administrasi, mulai dari perencanaan, penganggaran, usulan pembelian dan pengadaan, serta telah mendapatkan persetujuan dari Menteri Pertahanan tanggal 7 November 2016 (berdasarkan surat no 535/M/XI/2016 kepada Bappenas). Serta telah mendapatkan persetujuan dari Panglima TNI tanggal 19 September 2016 (berdasarkan surat no 1589-18/07/25). Pembelian Helikopter AW 101 oleh TNI AU dapat dikategorikan sebagai bentuk diversifikasi produk industri pertahanan, sehingga kelak tidak terjadi ketergantungan operasional hanya pada satu produk saja. Selama ini TNI AU menggunakan Heli EC275 Cougar (Super Puma) produksi dari Airbus yang dirakit oleh PT DI, untuk memenuhi kebutuhan angkut dan angkut berat.

KESIMPULAN
Pertama, terkait dengan adanya pernyataan dari Panglima TNI soal insubordinasi (Ketidaktaatan, Ketidakpatuhan) TNI AU terhadap Presiden RI sebagai Panglima Tertinggi dan Panglima TNI, dalam proses pembelian Helikopter AW 101, maka hal tersebut sepenuhnya adalah tidak benar. Tatkala Presiden membatalkan untuk melakukan pengadaan heli AW 101 guna kebutuhan VVIP, maka seketika itu pula TNI AU merespon dengan membatalkan pengadaan heli AW 101 untuk kebutuhan VIP/VVIP, dan mengubah pengadaan menjadi heli angkut sesuai serta sebagaimana tercantum dalam Renstra II Minimum Essential Forces (2015-2019). Seluruh prosedur pengubahan ini pun telah ditempuh dan juga diketahui oleh Menhan dan Panglima TNI. Sehingga tidaklah mungkin apabila Menhan dan Panglima TNI tidak mengetahui rencana pengadaan heli AW 101, baik untuk kebutuhan VIP/VVIP maupun kebutuhan angkut/combat SAR. Terlebih pengadaan tersebut telah juga disetujui secara Trilateral antara Kemkeu, Bappenas dan Kemhan, menggunakan anggaran dari TNI AU (Bukan anggaran dari Kemensetkab).

Penggunaan istilah “Insubordinasi” dalam kaitannya dengan pengadaan heli AW 101 oleh TNI AU sangatlah tidak tepat dan tidak berdasar. Insubordinasi dalam hukum pidana militer merupakan tindak pidana militer murni (Zuiver militaire delict) , yakni suatu tindak pidana yang hanya dilakukan oleh seorang militer, karena sifatnya khusus untuk militer. Tindak pidana Insubordinasi diatur di dalam Pasal 106 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) sebagai berikut: “Militer, yang sengaja dengan tindakan nyata menyerang seorang atasan, melawannya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, merampas kemerdekaanya untutk bertindak, ataupun memaksanya dengan kekerasan dan ancaman kekerasan untuk melaksanakan atau mengabaikan suatau pekerjaan dinas, diancam karena Insubordinasi dengan tindakan nyata dengan pidana penjara maksimum sembilan tahun”. Unsur Tindak Pidana Insubordinasi yang berkaitan dalam Pasal 106 KUHPM adalah:

1) Unsur Ke-1 : Militer
2) Unsur Ke-2 : yang sengaja dengan tindak nyata, menyerang seorang atasan.
3) Unsur Ke-3 : yang sengaja dengan tindak nyata, menyerang seorang atasan,
                       Melawannya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, merampas
                       kemerdekaannya untuk bertindak ataupun memaksana dengan 
                       kekerasan atau ancaman kekerasan untuk melaksanakan atau 
                       mengabaikan suatu pekerjaan dinas.
4) Unsur Ke-4 : yang mengakibatkan luka.
5) Unsur Ke-5 : yang mengakibatkan mati.

Dari kelima unsur tindak pidana insubordinasi diatas, maka tak ada satu pun sama sekali yang dapat dikaitkan dengan kegiatan pengadaan heli AW 101 oleh TNI AU. Karena pengadaan heli tersebut merupakan kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang diatur pelaksanaannya oleh aturan perundangan yang ada. Permenhan No 28/2015 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Pertahanan Negara (Hanneg), yang mengacu pada UU No 3/2002 tentang Keuangan Negara, juga mengatur mengenai alur perencanaan dan pengadaan barang dan jasa, dimana Menhan selaku Pengguna Anggaran (PA) dan dibawahnya sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) terdiri dari Sekjen Kemhan (KPA Kemhan), Panglima TNI (KPA Mabes TNI), KASAD (KPA TNI AD), KASAL (KPA TNI AL) dan KASAU (KPA TNI AU). Dalam hal penyusunan anggaran TNI, Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan memberikan usulan. Hasil akhirnya bergantung persetujuan Menteri Pertahanan. Hal tersebut diatur dengan PP 90/2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja Anggaran, Keppres 42/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN, Peraturan Bersama Menkeu dan Menhan 67/PMK.05.Tahun 2015, dan PMK No 101/PMK.02/2011 tentang Klasifikasi Anggaran.

Kedua, terkait adanya dugaan tindak pidana korupsi berupa mark up harga dalam kegiatan pengadaan Heli AW 101 peruntukan angkut, sebaiknya pembahasan nya dilakukan secara seksama dan hati-hati. Tidak bisa secara gegabah, mengingat adanya unsur kerahasiaan pertahanan yang harus dijaga. Berdasarkan dokumen Usul Pesanan (UP) dari Dinas Aeronautika MBAU tertanggal 24 April 2016 (Berdasarkan surat No 54/AW101-1/AI-MDL-M/IV/2016/Disaeroau), maka akan didapati harga sebenarnya dari unit heli standar itu sendiri yakni Rp. 541,908,926,020,00,-. Harga inilah yang diketahui oleh khalayak luas dari harga unit heli. Sedangkan MBAU melakukan pengadaan unit heli tersebut berikut dengan Floatation System and Rafts, Defence Air System, Pelatihan untuk 4 pilot dan 8 teknisi, Suku cadang, Flyway kit, Peralatan khusus dan umum, Publikasi teknis dan After sales services selama 1 tahun di Indonesia. Sehingga apabila di total secara keseluruhan item alat kelengkapan dan dukungan akan berjumlah menjadi Rp. 742,475,410,040,-.  Selisih harga yang timbul antara harga Heli unit standar (Basic Helicopter) dengan Alat kelengkapan dan Layanan dukungan inilah yang disalah pahami sebagai upaya mark up yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Sebenarnya apabila kita cermati lagi, harga Usul Pesanan (UP) yang dilakukan oleh MBAU yakni Rp. 742,475,410,040,- masih dibawah nilai harga yang ditetapkan oleh Kemhan dalam dokumen penyesuaian pagu anggaran TA.2016 yang sebesar RP.742,500,000,000,- (Heli VVIP). Sangatlah disayangkan ketika publikasi negatif mencuat terhadap pembelian heli AW 101 ini, MBAU tidak melakukan klarifikasi atas Usul Pesanan (UP) yang terdiri dari Harga dasar heli, Alat kelengkapan dan Layanan dukungan. Pada sisi lain MBAU melihat ini sebagai rahasia pertahanan yang apabila dibuka kepada publik luas akan menyebabkan negara lain mengetahui spesifikasi teknis dan kekuatan dari alutsista udara yang dimiliki oleh Republik Indonesia. 

KetigaTNI atau militer merupakan kekuatan penggerak (driving force) bagi tumbuhnya industri pertahanan. Sehingga apa yang dibutuhkan dan diinginkan oleh TNI, maka spesifikasi alutsista itulah yang seharusnya diproduksi. Bukan sebaliknya, industri pertahanan yang justru mendikte dan memaksakan kebutuhan alutsista TNI berdasarkan spesifikasi dari produksinya. Salah satu tugas TNI adalah membangun kekuatan melalui upaya modernisasi alutsista secara terus menerus. Hal ini dimaknai sebagai upaya TNI dalam menghadapi tantangan dan dinamika strategis global ke depan.  Sehingga apabila TNI AU memilih heli AW101 untuk memperkuat jajaran armadanya maka hal tersebut adalah hal yang wajar, karena itu sudah dikaji secara mendalam dan dituangkan dalam renstra II (2015-2019), berdasarkan masukan dan sesuai dengan kondisi yang relevan saat ini juga lima tahun ke depan. Pada sisi lain, dinamika industri pertahanan sesungguhnya hanyalah salah satu bagian dari upaya kita untuk meningkatkan kapabilitas kekuatan pertahanan guna menghadapi berbagai ancaman yang akan terjadi. Membangun industri pertahanan itu sebuah keharusan. Akan tetapi, pada satu sisi membeli alutsista dari luar negeri pun bukan sesuatu yang tabu apabila industri di dalam negeri belum mampu membuatnya. Sementara dari sisi TNI, justru alutsista tersebut lah yang sebenarnya dibutuhkan. Undang-undang nomor 16 Tahun 2012  (pasal 43 ayat 3) tidak mengharamkan pengadaan alutsista dari luar negeri. Hal ini dimungkinkan bila industri dalam negeri belum mampu membuat alutsista yang dibutuhkan.

Mewajibkan pengadaan alutsista dari industri pertahanan dalam negeri tentunya menjadi tujuan kita bersama, dalam konteks membangun kemandirian pertahanan kita. Karena industri pertahanan bagaimanapun tidak terlepas dari konstruksi kita dalam membangun postur pertahanan yang kuat, sekaligus mandiri. Namun sekarang pertanyaannya, apakah memang betul industri pertahanan dalam negeri sudah mampu membuat dan memproduksi alutsista? Dalam kaitannya dengan pengadaan heli angkut dan combat SAR, maka secara jelas opsreq dan spektek yang diinginkan oleh TNI AU sangat tidak cocok dengan apa yang telah dirakit oleh PT DI, dalam hal ini heli Cougar. Selain faktor spesifikasi teknis, faktor keamanan juga menjadi perhatian penting dalam setiap pengadaan alutsista. Selama ini PT DI bekerja sama dengan Airbus dalam hal perakitan beberapa produk heli, salah satunya adalah Super Puma. Kerjasama ini telah berlangsung selama 40 tahun dan seakan memonopoli kerjasama antara PT DI dengan pihak luar. Sehingga diversifikasi penggunaan produk industri pertahanan tidak dapat terjadi. Tentu alangkah baiknya bila itu terjadi maka PT DI akan memiliki banyak transfer teknologi dari beragam pabrikan, yang kelak akan mempercepat mendapatkan pengakuan dunia internasional, dengan mampunya memproduksi pesawat sendiri. Tidak seperti saat ini yang hanya merakit produk dari pabrikan lainnya.

Adapun heli Cougar pernah dilarang terbang oleh badan Keamanan Udara Eropa (EASA) pada Juni 2016, menyusul kecelekaan yang terjadi di Bergen, Norwegia Barat dan menewaskan 13 orang. Menyusul hal itu pemerintah Singapura, memutuskan menunda kontrak sebesar USD $ 1 miliar dengan Airbus untuk pembelian helikopter Cougar. Keputusan penundaan itu diambil Singapura atas dampak dari kecelakaan pada 29 April di Norwegia. TNI AU sendiri pada Juni 2016 mengeluarkan larangan terbang sementara bagi seluruh armada heli NAS-332 L1 Super Puma yang ada pada jajaran TNI AU. Kebijakan yang sama juga diambil oleh pihak militer Thailand dan Malaysia. Sehingga kebijakan pengadaan heli AW 101 oleh TNI AU bisa dimaknai dalam tiga dimensi, yaitu : Merespon tantangan dinamika lingkungan strategis ke depan, Diversifikasi penggunaan produk alutsista dan Menjamin keamanan operasi penerbangan. Karena itu, sangat dipahami jika TNI AU kemudian memutuskan untuk tidak hanya menaruhkan kebergantungan pengadaan dan operasional helikopternya hanya pada satu varian saja, dengan mengikuti jejak BASARNAS yang sebelumnya hanya mengoperasionalkan Dauphin AS365 N3+ Eurocopter, sekarang juga memperkuat jajaran operasionalnya dengan menggunakan Helikopter AW-139 yang memiliki kemampuan daya angkut dan jelajah di atas Dauphin. Keberanian serta sikap tegas TNI AU dalam memilih AW 101 kiranya menjadi sesuatu yang harus dihargai dalam konteks pembangunan kekuatan industri pertahanan yang bertanggung jawab berbasis quadraplehelix, terutama mengingat TNI sebagai pengguna utama alutsista adalah elemen terpenting negara dalam rangka mewujudkan kesiapan alutsista pertahanan bagi negara.   

Tidak ada komentar: