Islam, Pluralisme Agama dan Kepercayaan
Dengan kata yang jelas Islam tegas-tegas memberikan
kebebasan sepenuhnya kepada manusia dalam masalah agama dan keberagamaan. “Tak ada paksaan dalam agama”, tandas Al Qur'an (QS: II,
Al-Baqarah, 156). Bahkan lebih dari itu, Tuhan pun mempersilakan siapa saja
yang mau entah beriman atau kufur terhadap-Nya.(QS: XVIII, Al-Kahli, 29).
Sesuai
dengan misi yang diembannya tentulah wajar sekali jika Nabi Muhammad SAW
mengharapkan agar semua orang menerima risalah yang dibawanya. Beliau ingin
agar setiap orang bersedia menerima lslam sebagai anutan mereka. Maka itu Tuhan
mewanti-wanti agar beliau jangan sampai memaksakan orang agar beriman kepadaNya
sebab Tuhan sendiri tidak memaksakan untuk itu, sebab kalau Ia mau tak ada
kesukaran bagi-Nya. (QS: X, Yunus, 99).
Terhadap
agama-agama yang ada Islam sama sekali tidak menafikan begitu saja. Islam
mengakui eksistensi agama-agama yang ada dan tidak menolak nilai-nilai
ajarannya. Secara eksplisit Al-Qur'an menegaskan bahwa orang-orang yang beriman
(muslim), orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin,
siapa saja yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian serta melakukan amal
kebaikan, mereka akan memperoleh ganjaran dari Tuhan, bebas dari rasa takut dan
kesedihan. (QS: II, Al-Baqarah, 62). Sikap menghormati kepercayaan orang lain
sebagaimana yang diajarkan Al-Qur'an begitu hias, termasuk larangan mencerca
berhala yang menjadi sesembahan orang lain. Sembari menantang keras segala
bentuk kemusyrikan Islam menekankan kepada kita untuk tetap menjaga perasaan
orang-orang musyrik. (QS: IV, AloAn'am, 109). Kebebasan beragama dan respek terhadap
agama dan kepercayaan orang lain, apapun wujudnya, bukan saja penting bagi
sebuah masyarakat majemuk akan tetapi bagi seorang muslim merupakan ajaran
agama. Karena itu membela kebebasan beragama bagi siapa saja dan menghormati
agama dan kepercayaan orang lain merupakan bagian dari kemusliman. Keharusan
untuk membela kebebasan beragama memang diisyaratkan oleh Al-Qur'an sendiri,
yang disimbolkan dalam sikap mempertahankan rumah-rumah peribadatan seperti
biara-biara dan gereja-gereja, sinagog-sinagog dan majid-masjid. (QS XXII,
AiHajj, 40).
Kesatuan Nubuwwah
Salah
satu konsep yang ada gayutannya dengan masalah pluralisme agama dan kepercayaan
tersebut adalah konsep tentang kesatuan kenabian. Iman kepada para nabi dan
rasul adalah bagian dari aqidah Islam. Dalam kerangka iman kepada para nabi dan
rasul itu AI-Qur'an mengajarkan agar kita tidak membeda-bedakan mereka satu
sama lain. (QS: II, Al-,Baqarah 136).
Dalam
kata-kata Nabi Muhammad SAW para nabi digambarkan sebagai bersaudara. Mereka
bersaudara bukan karena berasal dari . keturunan yang sama melainkan karena
membawa risalah yang sama, agama perdamaian yang berlandaskan pada kepasrahan
kepada Tuhan. “Para nabi itu bersaudara,
ibu-ibu mereka berlainan namun agama mereka satu.” (Al-Hadits). Sabda Nabi
itu mungkin bisa kita pahami sebagai penjelasan terhadap pernyataan Al-Qur'an
dalam surat XLII ,(Asy-Syura, 13).
Islam
mengakui adanya titik-titik temu yang sifatnya esensial dari berbagai agama
khususnya agama-agama samawi, yakni kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
sebagai landasan untuk hidup bersama. (QS: III, Ali Imran, 63).
Ka'bah
Lambang Kesatuan Nubuwwah
Dalam
konteks ini, ada baiknya bila kita mencoba melihat dan memahami posisi simbolik
Ka'bah dalam kerangka konsep kesatuan nubuwwah. Ka'bah atau baitullah yang
menjadi kiblat kita dalam sembahyang dan pusat yang dikitari jemaah haji dalam thawaf menjadi sasaran kritik dan
pertanyaan dari kalangan nonmuslim. Tidak sedikit orang menjadi kikuk
menghadapi pertanyaan kritis semacam itu.
Ka'
bah sebenarnya melambangkan ide kesatuan Nubuwwah. Ia melambangkan himpunan
para Nabi yang diutus dari zaman ke zaman diberbagai tempat di muka bumi ini,
yang mencapai puncaknya dalam kedatangan Muhammad SAW. Perlambang ini dapat
kita tarik dari sabda Nabi:
”Sesungguhnya
perumpamaan antara aku dengan para nabi sebelum itu adalah ibarat seseorang
yang membangun sebuah gedung; Ia bangun gedung itu dengan baik dan indah
kecuali kurang sebuah batu-bata di salah satu pojok gedung itu. Lalu
Orang-orang yang berkeliling mengitari gedung itu sambil mengaguminya berkata:
'kenapa kau tinggal satu batu bata lagi'. Maka akulah batu-bata itu, akulah
penutup segala Nabi." (Al-Hadist).
Batu-bata
terakhir yang mengisi kekosongan di pojok bangunan yang indah itu adalah fungsi
Nabi Muhammad SAW sebagai khatamu 'l-nabiyyin. ltulah yang dilambangkan oleh
hajaru 'l-aswad, Karena itu perbuatan mencium hajaru 'l-aswad ketika
melaksanakan thawaf adalah perlambang
komitmen kita kepada agama yang dibawa oleh nabi. Tidak jelas apakah Umar Ibnu
'l-Khattab menghayati makna perlambang itu, namun kata-kata yang terlontar,
dari mulut beliau ketika akan mencium hajaru 'l-aswad memperlihatkan komitmen itu.
“Hai batu hitam," kata beliau, “sebenarnya kamu saja nilainya dengan batu-batu
lain yang berserakan di jalanan. Aku, tak akan mencium kau kalau saja aku tak
melihat Nabi mencium kau.”
Sikap
Nabi Terhadap Umat Lain
"Barang
siapa mengganggu kaum dzimmi (minoritas non-Muslim) maka ia telah mengganggu
aku, " kata Nabi. Ucapan tersebut memperlihatkan betapa besar rasa
tanggungjawab Nabi terhadap keamanan dan keselamatan mereka yang bukan Muslim
yang hidup di bawah kekuasaan kaum Muslimin. Hal ini terlihat semenjak Nabi
mulai membangun masyarakat di Medinah setelah hijrah. Penting untuk dicatat
bahwa sejak semula kelihatan sekali bahwa Nabi tidak bermaksud untuk membangun
sebuah masyarakat Muslim yang eksklusif. Piagam Medinah yang menjadi landasan
pembangunan masyarakat baru di Medinah membuktikan bahwa Nabi tidak ingin menyingkirkan
umat-umat lain. Piagam Medinah menggambarkan semangat hidup berdampingan secara
rukun yang diikat oleh kesediaan untuk bekerjasama dan saling membela. Dalam
hal ini perlu dicatat bahwa tersingkirnya orang-orang Yahudi dari Medinah bukan
karena perlakuan tidak semena-mena, tetapi karena pengkhianatan mereka sendiri
terhadap piagam tersebut .
Salah
satu peristiwa lain yang sangat penting untuk kita simak adalah penerimaan Nabi
Muhammad SAW terhadap delegasi Kristen dari Najran. Suatu ketika Nabi
kedatangan serombongan delegasi yang berjumlah sekitar 60 orang. Mereka
penganut agama Katolik yang dipimpin oleh Abdu 'l-Masih al-Ayham dan Abu
Haritsa bin 'Al-qama. Yang disebut terakhir ini adalah seorang Uskup tokoh agama
mereka. Mereka tinggal beberapa hari di Medinah, dan di tampung di Masjid
Nabawi dan rumah-umah sahabat Nabi. Selama beberapa hari itu terjadilah dialog
antar agama antara; Nabi dengan mereka: Suatu ketika pimpinan delegasi itu
mohon pamit kepada Nabi untuk meninggalkan Masjid Nabawi beberapa saat. Ketika
Nabi menanyakan apa keperluan mereka sehingga harus pergi meninggalkan masjid,
mereka menjawab bahwa mereka ingin melakukan kebaktian. Nabi mencegah mereka
pergi keluar dari masjid dan mempersilakan mereka melakukan kebaktian di mesjid
Nabawi. Peristiwa itu diceritakan oleh sejarawan Islam dalam buku Sirah Ibn
Ishaq (85 -151 H).
Refleksi
Sikap
Nabi seperti tergambar di atas kalau kita tarik ke dalam konteks kehidupan sekarang
mungkin menimbulkan dilema antara komitmen kepada nilai-nilai luhur Islam
sebagaimana diteladankan oleh Nabi dengan kepentingan politik yang lebih
ditentukan oleh tuntunan kondisional. Hirarki dari sistem nilai yang dianut
seseorang seringkali tidak jelas sehingga mengakibatkan komitmennya tidak jarang
lebih kepada kepentingan temporal daripada nilai eternal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar