Jumat, 16 Februari 2018

KEMUSLIMAN DAN KEMAJEMUKAN AGAMA

Oleh

DJOHAN EFENDI


Kemajemukan adalah sebuah fenomena yang tidak mungkin kita hindari. Kita hidup di dalam kemajemukan dan merupakan bagian dari proses kemajemukan, aktif maupun pasif. la menyusup dan menyangkut dalam setiap dan seluruh ruang kehidupan kita, tak terkecuali juga "dalam hal kepercayaan. Kita menghadapi kenyataan adanya berbagai agama dengan umatnya masing-masing. Bahkan tidak hanya itu, kita pun menghadapi --kalau tidak di negeri kita tentu di negeri lain-orang yang tidak beragama atau tidak bertuhan. Dalam menghadapi kemajemukan seperti itu tentu saja kita tidak mungkin mengambil sikap anti pluralisme. Kita harus belajar toleran terhadap kemajemukan. Kita dituntut untuk hidup di atas dasar dan dalam semangat pluralisme. Persoalannya adalah bagaimanakah, dalam perspektif iman kita, fenomena kemajemukan itu kita terima? Dan bagaimana pula nilai-nilai pluralisme itu kita hayati?

Islam, Pluralisme Agama dan Kepercayaan
Dengan kata yang jelas Islam tegas-tegas memberikan kebebasan sepenuhnya kepada manusia dalam masalah agama dan keberagamaan. Tak ada paksaan dalam agama, tandas Al Qur'an (QS: II, Al-Baqarah, 156). Bahkan lebih dari itu, Tuhan pun mempersilakan siapa saja yang mau entah beriman atau kufur terhadap-Nya.(QS: XVIII, Al-Kahli, 29).

Sesuai dengan misi yang diembannya tentulah wajar sekali jika Nabi Muhammad SAW mengharapkan agar semua orang menerima risalah yang dibawanya. Beliau ingin agar setiap orang bersedia menerima lslam sebagai anutan mereka. Maka itu Tuhan mewanti-wanti agar beliau jangan sampai memaksakan orang agar beriman kepadaNya sebab Tuhan sendiri tidak memaksakan untuk itu, sebab kalau Ia mau tak ada kesukaran bagi-Nya. (QS: X, Yunus, 99).

Terhadap agama-agama yang ada Islam sama sekali tidak menafikan begitu saja. Islam mengakui eksistensi agama-agama yang ada dan tidak menolak nilai-nilai ajarannya. Secara eksplisit Al-Qur'an menegaskan bahwa orang-orang yang beriman (muslim), orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian serta melakukan amal kebaikan, mereka akan memperoleh ganjaran dari Tuhan, bebas dari rasa takut dan kesedihan. (QS: II, Al-Baqarah, 62). Sikap menghormati kepercayaan orang lain sebagaimana yang diajarkan Al-Qur'an begitu hias, termasuk larangan mencerca berhala yang menjadi sesembahan orang lain. Sembari menantang keras segala bentuk kemusyrikan Islam menekankan kepada kita untuk tetap menjaga perasaan orang-orang musyrik. (QS: IV, AloAn'am, 109). Kebebasan beragama dan respek terhadap agama dan kepercayaan orang lain, apapun wujudnya, bukan saja penting bagi sebuah masyarakat majemuk akan tetapi bagi seorang muslim merupakan ajaran agama. Karena itu membela kebebasan beragama bagi siapa saja dan menghormati agama dan kepercayaan orang lain merupakan bagian dari kemusliman. Keharusan untuk membela kebebasan beragama memang diisyaratkan oleh Al-Qur'an sendiri, yang disimbolkan dalam sikap mempertahankan rumah-rumah peribadatan seperti biara-biara dan gereja-gereja,  sinagog-sinagog dan majid-masjid. (QS XXII, AiHajj, 40).

Kesatuan Nubuwwah
Salah satu konsep yang ada gayutannya dengan masalah pluralisme agama dan kepercayaan tersebut adalah konsep tentang kesatuan kenabian. Iman kepada para nabi dan rasul adalah bagian dari aqidah Islam. Dalam kerangka iman kepada para nabi dan rasul itu AI-Qur'an mengajarkan agar kita tidak membeda-bedakan mereka satu sama lain. (QS: II, Al-,Baqarah 136).

Dalam kata-kata Nabi Muhammad SAW para nabi digambarkan sebagai bersaudara. Mereka bersaudara bukan karena berasal dari . keturunan yang sama melainkan karena membawa risalah yang sama, agama perdamaian yang berlandaskan pada kepasrahan kepada Tuhan. “Para nabi itu bersaudara, ibu-ibu mereka berlainan namun agama mereka satu.” (Al-Hadits). Sabda Nabi itu mungkin bisa kita pahami sebagai penjelasan terhadap pernyataan Al-Qur'an dalam surat XLII ,(Asy-Syura, 13).

Islam mengakui adanya titik-titik temu yang sifatnya esensial dari berbagai agama khususnya agama-agama samawi, yakni kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai landasan untuk hidup bersama. (QS: III, Ali Imran, 63).

Ka'bah Lambang Kesatuan Nubuwwah
Dalam konteks ini, ada baiknya bila kita mencoba melihat dan memahami posisi simbolik Ka'bah dalam kerangka konsep kesatuan nubuwwah. Ka'bah atau baitullah yang menjadi kiblat kita dalam sembahyang dan pusat yang dikitari jemaah haji dalam thawaf menjadi sasaran kritik dan pertanyaan dari kalangan nonmuslim. Tidak sedikit orang menjadi kikuk menghadapi pertanyaan kritis semacam itu.

Ka' bah sebenarnya melambangkan ide kesatuan Nubuwwah. Ia melambangkan himpunan para Nabi yang diutus dari zaman ke zaman diberbagai tempat di muka bumi ini, yang mencapai puncaknya dalam kedatangan Muhammad SAW. Perlambang ini dapat kita tarik dari sabda Nabi:

”Sesungguhnya perumpamaan antara aku dengan para nabi sebelum itu adalah ibarat seseorang yang membangun sebuah gedung; Ia bangun gedung itu dengan baik dan indah kecuali kurang sebuah batu-bata di salah satu pojok gedung itu. Lalu Orang-orang yang berkeliling mengitari gedung itu sambil mengaguminya berkata: 'kenapa kau tinggal satu batu bata lagi'. Maka akulah batu-bata itu, akulah penutup segala Nabi." (Al-Hadist).

Batu-bata terakhir yang mengisi kekosongan di pojok bangunan yang indah itu adalah fungsi Nabi Muhammad SAW sebagai khatamu 'l-nabiyyin. ltulah yang dilambangkan oleh hajaru 'l-aswad, Karena itu perbuatan mencium hajaru 'l-aswad ketika melaksanakan thawaf adalah perlambang komitmen kita kepada agama yang dibawa oleh nabi. Tidak jelas apakah Umar Ibnu 'l-Khattab menghayati makna perlambang itu, namun kata-kata yang terlontar, dari mulut beliau ketika akan mencium hajaru 'l-aswad memperlihatkan komitmen itu. “Hai batu hitam,kata beliau, “sebenarnya kamu saja nilainya dengan batu-batu lain yang berserakan di jalanan. Aku, tak akan mencium kau kalau saja aku tak melihat Nabi mencium kau.”

Sikap Nabi Terhadap Umat Lain
"Barang siapa mengganggu kaum dzimmi (minoritas non-Muslim) maka ia telah mengganggu aku, " kata Nabi. Ucapan tersebut memperlihatkan betapa besar rasa tanggungjawab Nabi terhadap keamanan dan keselamatan mereka yang bukan Muslim yang hidup di bawah kekuasaan kaum Muslimin. Hal ini terlihat semenjak Nabi mulai membangun masyarakat di Medinah setelah hijrah. Penting untuk dicatat bahwa sejak semula kelihatan sekali bahwa Nabi tidak bermaksud untuk membangun sebuah masyarakat Muslim yang eksklusif. Piagam Medinah yang menjadi landasan pembangunan masyarakat baru di Medinah membuktikan bahwa Nabi tidak ingin menyingkirkan umat-umat lain. Piagam Medinah menggambarkan semangat hidup berdampingan secara rukun yang diikat oleh kesediaan untuk bekerjasama dan saling membela. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa tersingkirnya orang-orang Yahudi dari Medinah bukan karena perlakuan tidak semena-mena, tetapi karena pengkhianatan mereka sendiri terhadap piagam tersebut .

Salah satu peristiwa lain yang sangat penting untuk kita simak adalah penerimaan Nabi Muhammad SAW terhadap delegasi Kristen dari Najran. Suatu ketika Nabi kedatangan serombongan delegasi yang berjumlah sekitar 60 orang. Mereka penganut agama Katolik yang dipimpin oleh Abdu 'l-Masih al-Ayham dan Abu Haritsa bin 'Al-qama. Yang disebut terakhir ini adalah seorang Uskup tokoh agama mereka. Mereka tinggal beberapa hari di Medinah, dan di tampung di Masjid Nabawi dan rumah-umah sahabat Nabi. Selama beberapa hari itu terjadilah dialog antar agama antara; Nabi dengan mereka: Suatu ketika pimpinan delegasi itu mohon pamit kepada Nabi untuk meninggalkan Masjid Nabawi beberapa saat. Ketika Nabi menanyakan apa keperluan mereka sehingga harus pergi meninggalkan masjid, mereka menjawab bahwa mereka ingin melakukan kebaktian. Nabi mencegah mereka pergi keluar dari masjid dan mempersilakan mereka melakukan kebaktian di mesjid Nabawi. Peristiwa itu diceritakan oleh sejarawan Islam dalam buku Sirah Ibn Ishaq (85 -151 H).

Refleksi
Sikap Nabi seperti tergambar di atas kalau kita tarik ke dalam konteks kehidupan sekarang mungkin menimbulkan dilema antara komitmen kepada nilai-nilai luhur Islam sebagaimana diteladankan oleh Nabi dengan kepentingan politik yang lebih ditentukan oleh tuntunan kondisional. Hirarki dari sistem nilai yang dianut seseorang seringkali tidak jelas sehingga mengakibatkan komitmennya tidak jarang lebih kepada kepentingan temporal daripada nilai eternal.

Tidak ada komentar: