Rabu, 01 Juli 2020

HANS NAWIASKY DAN KEDUDUKAN HUKUM PANCASILA

Oleh
Prof.Dr.Jimly Asshiddiqie, S.H. dan Muchamad Ali Safa'at

Salah satu teori Hans Kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie). Salah satu tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Namun karya dari Hans Nawiasky, yaitu Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe, tidak banyak dibahas dalam literatur-literatur berbahasa Inggris.


Teori Nawiasky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah:
1.
Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm);
2.
Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);
3.
Undang-undang formal (formell gesetz); dan
4.
Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome satzung).

Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari kons titusi suatu negara.

Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan Staats fundamentalnorm, atau norma fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.

Berdasarkan teori Nawiasky tersebut, A. Hamid S. Attamimi membandingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Hamid menggambarkan perbandingan antara Kelsen dan Nawiaski tersebut dalam bentuk piramida.

Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:
1.
Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945);
2.
Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan;
3.
Formell gesetz: Undang-Undang; dan
4.
Verordnung en Autonome Satzung: Secara hirarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.

Penempatan Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm pertama kali disampaikan oleh Notonagoro. Pancasila di lihat sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan bintang pemandu. Posisi ini  mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat di gunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila.

Namun, dengan penempatan Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm berarti menempatkannya di atas Undang-Undang Dasar. Jika demikian, Pancasila tidak termasuk dalam pengertian konstitusi, karena berada di atas konstitusi. Untuk membahas permasalahan ini dapat dilakukan dengan melacak kembali konsepsi norma dasar dan konstitusi menurut Kelsen dan pengembangan yang dibuat oleh Nawiasky, serta melihat hubungan antara Pancasila dan UUD 1945.

Kelsen membahas validitas norma-norma hukum dengan menggambarkannya sebagai suatu rantai validitas yang berujung pada konstitusi negara. Jika bertanya mengapa kons titusi itu valid, mungkin dapat menunjuk pada konstitusi lama. Akhirnya mencapai beberapa konstitusi hingga konstitusi per tama yang ditetapkan oleh individu atau semacam majelis. Validitas konstitusi pertama adalah presuposisi terakhir, postulat yang final, di mana validitas semua norma dalam ata aturan hukum bergantung. Dokumen yang merupakan wujud konstitusi pertama adalah konstitusi sesungguhnya, suatu norma mengikat, hanya dalam kondisi bahwa norma dasar di presuposisikan sebagai valid. Presuposisi inilah yang disebut dengan istilah trancendental logical pressuposition.

Semua norma hukum adalah milik satu tata aturan hukum yang sama karena validitasnya dapat dilacak kembali, secara langsung atau tidak, kepada konstitusi pertama. Bahwa konstitusi pertama adalah norma hukum yang mengikat adalah sesuatu yang dipreposisikan, dan formulasi preposisi tersebut adalah norma dasar dari tata aturan hukum ini.Kalimat terakhir jelas menunjukkan adanya dua hal, ya itu norma dasar dan presuposisi validitasnya sebagai konstitusi pertama. Norma dasar tidak dibuat dalam prosedur hukum oleh organ pembuat hukum. Norma ini valid tidak karena di buat dengan cara tindakan hukum, tetapi valid karena di presu posisikan valid, dan dipresuposisikan valid karena tanpa presuposisi ini tidak ada tindakan manusia dapat ditafsirkan sebagai hukum, khususnya norma pembuat hukum.

Logika Kelsen tersebut sering dipahami secara salah dengan mencampuradukkan antara presuposisi validitas dan konstitusi, manakah yang merupakan norma dasar (grundnorm)?. Hal inilah yang selanjutnya diselesaikan oleh Nawiasky dengan membedakan antara staatsfundamentalnorm dengan grundnorm dengan alasan bahwa grundnorm pada dasarnya tidak berubah sedangkan staatsfundamentalnorm dapat berubah seperti melalui kudeta atau revolusi.

Pendapat Nawiasky tersebut sebenarnya sejalan dengan pandangan Kelsen. Kelsen juga menyatakan bahwa Konstitusi memang dibuat sulit untuk diubah karena dengan demikian menjadi berbeda dengan norma hukum biasa.

Selain itu, Kelsen juga menyatakan bahwa suatu tata hukum kehilangan validitasnya secara keseluruhan jika terjadi kudeta atau revolusi. Kudeta atau revolusi adalah perubahan tata hukum selain dengan cara yang ditentukan oleh tata hukum itu sendiri. Kudeta atau revolusi menjadi fakta hilangnya presuposisi validitas konstitusi pertama dan digantikan dengan presuposisi yang lain. Tata hukum yang berlaku adalah sebuah tata hukum baru meskipun dengan materi yang sama dengan tata hukum lama.

Berdasarkan uraian antara pandangan Kelsen dan Nawiasky tersebut dapat disimpulkan bahwa staatsfundamental norm yang dikemukakan oleh nawiasky adalah presuposisi validitas norma dasarnya Kelsen. Sedangkan staatsgrundgesetz-nya Nawi asky adalah konstitusi atau grundnorm dalam pandangan Kelsen. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Pancasila merupakan staatsfundamentalnorm atau merupakan bagian dari kons titusi?

Pancasila lahir dan dirumuskan dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas dasar negara, khususnya dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Soekarno menyebut dasar negara sebagai Philosofische grondslag sebagai fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya yang di atasnya akan didirikan bangunan negara Indonesia. Soekarno juga menyebutnya dengan istilah Weltanschauung atau pandangan hidup. Pancasila adalah lima dasar atau lima asas.

Pidato yang dikemukakan Soekarno pada saat itu adalah rangkaian persidangan BPUPKI yang membahas dasar negara.Selain Soekarno, anggota-anggota yang lain juga mengemukakan pendapatnya baik secara lisan maupun tertulis. Dari berbagai pendapat yang dikemukakan dalam persidangan ter sebut, kemudian ditunjuk tim perumus yang terdiri dari 8 orang, yaitu: Ir. Soekarno, Drs. M.Hatta, Mr. M. Yamin, M. Soe tardjo Kartohadikoesoemo, R. Otto Iskandardinata, Mr. A. Maramis, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan K.H.Wachid Hasyim. Tim ini menghasilkan rumusan yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta dan diterima oleh BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945. Dokumen inilah yang menjadi Pembukaan UUD 1945 setelah terjadi kompromi dengan pencoretan tujuh kata. Walaupun pengaruh Soekarno cukup besar dalam perumusan dokumen ini, namun dokumen ini adalah hasil perumusan BPUPKI yang dengan sendirinya merepresentasi kan berbagai pemikiran anggota BPUPKI. Dokumen ini di samping memuat lima dasar negara yang dikemukakan oleh Soekarno, juga memuat pokok-pokok pikiran yang lain.

Jika masalah dasar negara disebutkan oleh Soekarno sebagai Philosofische grondslag ataupun Weltanschauung, maka hasil dari persidangan-persidangan tersebut, yaitu Piagam Jakarta yang selanjutnya menjadi dan disebut dengan Pembuka an UUD 1945, yang merupakan Philosofische grondslag dan Weltanschauung bangsa Indonesia. Seluruh nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam Pem bukaan UUD 1945 adalah dasar negara Indonesia, termasuk di dalamnya Pancasila.

Selain Pancasila, telah banyak dikenal adanya empat pokok pikiran Pembukaan UUD 1945, yaitu; (1) bahwa negara Indonesia adalah negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta mencakupi segala paham golongan dan paham perseorangan; (2) bahwa negara Indonesia hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warganya; (3) bahwa negara Indonesia me ng anut paham kedaulatan rakyat. Negara dibentuk dan di selenggarakan berdasarkan kedaulatan rakyat; dan (4) bahwa negara Indonesia adalah negara yang berke-Tuhan-an Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.ika mencermati Pembukaan UUD 1945, masing-masing alenia mengandung pula cita-cita luhur dan filosofis yang harus menjiwai keseluruhan sistem berpikir materi Undang-Undang Dasar. Alenia pertama menegaskan keyakinan bangsa Indonesia bahwa kemerdekaan adalah hak asasi segala bangsa, dan karena itu segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri keadilan. Alenia kedua menggambarkan proses perjuangan bangsa Indonesia yang panjang dan penuh penderitaan yang akhirnya berhasil mengantarkan bangsa Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Alenia ketiga menegaskan pengakuan bangsa Indonesia akan ke-Maha Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang memberikan dorongan spiritual kepada segenap bangsa untuk memperjuangkan perwujudan cita-cita luhurnya sehingga rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Terakhir alenia keempat menggambarkan visi bangsa Indonesia mengenai bangunan kenegaraan yang hendak dibentuk dan diselenggarakan dalam rangka melembagakan keseluruhan cita-cita bangsa untuk merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dalam wadah Negara Indonesia. Dalam alenia keempat inilah disebutkan tujuan negara dan dasar negara.

Keseluruhan Pembukaan UUD 1945 yang berisi latar belakang kemerdekaan, pandangan hidup, tujuan negara, dan dasar negara dalam bentuk pokok-pokok pikiran sebagaimana telah diuraikan tersebutlah yang dalam bahasa Soekarno disebut sebagai Philosofische grondslag atau dasar negara secara umum. Jelas bahwa Pembukaan UUD 1945 sebagai ideologi bangsa tidak hanya berisi Pancasila. Dalam ilmu politik, Pembukaan UUD 1945 tersebut dapat disebut sebagai ideologi bangsa Indonesia.

Pertanyaan selanjutnya, apakah Pembukaan UUD 1945 merupakan staatsfundamentalnorm di Indonesia? Jika merupakan staatsfundamentalnorm maka Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian terpisah dari pasal-pasal dalam UUD 1945 karena sebagai staatsfundamentalnorm Pembukaan UUD 1945 merupakan norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung), atau dalam bahasa Kelsen Pembukaan UUD 1945 adalah yang mempresuposisikan validitas UUD 1945.

Penjelasan UUD 1945 yang merupakan bagian dari keseluruhan UUD 1945 menyatakan bahwa “Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang tidak tertulis. Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya”. Bahkan para founding fathers juga menyadari akan perkembangan masyarakat sehingga tidak tergesa-gesa memberi kristalisasi, memberi bentuk (Gelstaltung). Penjelasan ini sebenarnya memberi ruang perubahan terhadap perwujudan pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945.

Berdasarkan penjelasan tersebut, terlihat bahwa Pembukaan UUD 1945 merupakan kesatuan dengan pasal-pasal UUD 1945. Hal ini juga dapat dilihat dari proses penyusunan Pembukaan UUD 1945 yang merupakan satu kesatuan dengan pembahasan masalah lain dalam Undang-Undang Dasar oleh BPUPKI, yaitu masalah bentuk negara, daerah negara, badan perwakilan rakyat, dan badan penasehat. Status Pembukaan UUD 1945 sebagai satu kesatuan dengan pasal-pasalnya menjadi sangat tegas berdasarkan Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 yang berbunyi: “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.”

Jika Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasalnya merupakan satu kesatuan, tentu tidak dapat memisahkannya dengan menempatkan Pembukaan UUD 1945 sebagai staatsfundamentalnorms yang lebih tinggi dari pasal-pasalnya sebagai staatsverfassung. Apalagi dengan menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 adalah dasar pembentukan pasal-pasal UUD 1945 sebagai konstitusi, atau Pembukaan UUD 1945 adalah presuposisi bagi validitas pasal-pasal UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 (termasuk di dalamnya Pancasila) dan pasal-pasalnya adalah konstitusi tertulis bangsa Indonesia. Pembukaan UUD 1945 walaupun merupakan pokok-pokok pikiran yang abstraksinya tinggi dan dijabarkan dalam pasal-pasalnya, tetapi bukan merupakan dasar keberlakuan pasal-pasal UUD 1945 dan berarti bukan pula presuposisi validitas pasal-pasal tersebut. UUD 1945 secara keseluruhan ditetapkan sebagai konstitusi (staatsverfassung) yang mengikat dalam satu tindakan hukum, yaitu keputusan PPKI tanggal 18 Agustus 1945.

Penempatan Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari Konstitusi sekaligus menempatkannya sebagai norma abstrak yang dapat dijadikan sebagai standar valuasi konstitusionalitas norma hukum yang lebih rendah. Bahkan juga dapat digunakan sebagai prinsip-prinsip dalam menafsirkan konstitusi. Dengan posisi Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari konstitusi, maka pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalamnya, termasuk Pancasila, benar-benar dapat menjadi rechtsidee dalam pembangunan tata hukum Indonesia.

Jika Pancasila bukan merupakan staatsfundamentalnorms, lalu apa yang menjadi dasar keberlakuan UUD 1945 sebagai konstitusi? Apa yang mempresuposisikan validitas UUD 1945? Proklamasi 17 Agustus 1945. Proklamasi menurut hukum yang berlaku pada saat itu bukan merupakan tindakan hukum karena dilakukan bukan oleh organ hukum dan tidak sesuai dengan prosedur hukum. Proklamasi 17 Agustus 1945 yang menandai berdirinya Negara Republik Indonesia, yang berarti terbentuknya suatu tata hukum baru (New Legal Order). Adanya Negara Indonesia setelah diproklamasikan merupakan dasar keberlakuan UUD 1945 sebagai konstitusi Negara Indonesia, sebagai presuposisi validitas tata hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Bagaimana penjelasan saudara soal RUU HIP? apakah ada PKI di dalamnya? apaan pancasila kok di peras2 segala...HIP dikecilkan jadi ekasila,,